Program Politik Mendukung Hak Kekayaan Intelektual, Keir Starmer Tetap Dalam Skema Neokolonialisme Inggris

Bagikan artikel ini

Setelah tenggelam dari pentas kepemimpinan politik nasional  Inggris  selama 14 tahun, Partai Buruh sekarang kembali menguasai mayoritas kursi di parlemen. Dari total 650 kursi  yang tersedia di Majelis Rendah ((House of Commons) Inggris), Partai Buruh meraih 393 kursi. sedangkan Partai Konservatif meraih 103 kursi. Dengan begitu, Partai Buruh menguasai 170 mayoritas terhadap Partai konservatif. Hal itu berarti, Keir Starmer, pemimpin Partai Buruh Inggris, terpilih sebagai Perdana Menteri dengan dukungan suara mutlak di parlemen.

Baca: Siapa Sir Keir Starmer, perdana menteri baru Inggris setelah Partai Buruh menang Pemilu 2024?

Namun, benarkah memang bakal ada perubahan substansial dalam orientasi kebijakan luar negeri Inggris?  Kalau dari jargon yang ia kumandangkan yaitu Memimpin Partai Buruh ke Era Baru dengan Keyakinan dan Harapan, sepertinya masih belum jelas untuk membaca orientasi politik luarnegeri Inggris di bawah kepemimpinannya. Apalagi dalam jargon yang dikumandangkan dalam frase kata “Change” sepertinya tidak memberi isyarat yang jelas ihwal agenda strategisnya. Apalagi dalam platform dan program politiknya hanya mengetengahkan beberapa isu seperti: ekonomi, Layanan Kesehatan, Imigrasi, Perumahan, Pendidikan. Isu-isu ini memang yang menjadi kekhawatiran utama para pemilih Inggris saat ini.

Namun menelisik fakta mengenai profilnya yang paradoks, rasanya sulit membaca langkah politiknya. Dalam reputasinya, Starmer memang termasuk politis sayap kiri-tengah Partai Buruh, pernah  menjadi seorang editor majalah Trotsky di masa mudanya yang berarti jelas haluan politiknya adalah sayap kiri, namun paradoksnya, dalam platform politik partainya, ia mendukungi kepentingan kaum kapitalis/pelaku ekonomi kuat dengan mendukung  Intelectual Property Right  atau undang-undang perlindungan paten dalam aturan Hak Kekayaan Intelektual. Ia merupakan anti-monarkis/kerajaan  namun kemudian bersedia diberi gelar kebangsawanan sebagai “Sir Keir.”

Baca: Profil Keir Starmer, PM Inggris Baru Pengganti Rishi Sunak yang Punya Gelar ‘Sir’

Adapun terkait dukungan partainya terhadap Hak Kekayaan Intelektual,  justru penerapan standar perlindungan paten dalam aturan Hak Kekayaan Intelektual sejatinya tetap melayani skema Neokolonialisme dan kapitalisme berbasis korporasi multinasional yang hingga kini masih dianut Inggris maupun Amerika Serikat. Apalagi jika platform politik Starmer tersebut ditujukan kepada negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, maka cukup beralasan jika pemerintahan Inggris di bawah kepemimpinan Starmer masih tetap dalam bingkai skema Neokolonialisme.

US President Joe Biden meets British PM Keir Starmer at White House
Betapa tidak. Dalam perspektif Indonesia, utamanya para stakeholders atau pemangku kepentingan sektor kesehatan, penerapan Hak Kekayaan Intelektual kiranya cukup beralasan untuk khawatir. Sebab jika skema HKI diterapkan di Indonesia di sektor kesehatan maka akan menghilangkan akses masyarakat untuk membeli obat-obatan dengan murah dan terjangkau.

Sebab penerapan Hak Kekayaan Intelektual yang oleh AS dan negara-negara blok Barat coba diupayakan dan dipaksakan kepada Indonesia dan negara-negara di Asia lewat Skema Trans Pacific Partnership (TPP) atau Kerja Sama Lintas Pacifik sejak 2007, TPP berhak menghapus ketentuan fleksibilitas The Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Right (TRIPS) dalam World Trade Organization (WTO).

Sebab malalui skema TRIPS inilah, banyak negara-negara berkembang dimungkinkan untuk membuat obat generik dari obat-obatan yang dipatenkan oleh Perusahaan Farmasi Amerika demi kepentingan publik. Maka dengan penghapusan ketentuan fleksibilitas TRIPS dalam TPP bisa berakibat terciptanya monopoli obat-obatan yang dilakukan oleh korporasi asing dengan harga yang cukup mahal.

Maka dengan penghapusan ketentuan fleksibilitas TRIPS dalam TPP bisa berakibat terciptanya monopoli obat-obatan yang dilakukan oleh korporasi asing dengan harga yang cukup mahal.

Lantas, bagaimana halnya di sektor pertanian khususnya di sektor pangan? Ternyata juga sama mengkhawatirkannya seperti juga di sektor farmasi dan obat-obatan.   Selama ini, perusahaan benih dan pestisida asing, seperti Bayer, Monsanto, maupun DuPont, telah memonopoli benih-benih ciptaannya. Karenanya, tidak memungkinkan petani kecil membudidayakan. Dengan jaminan perlindungan paten yang tinggi dalam skema TPP yang juga didukung AS dan Inggris, korban-korban kasus kriminalisasi benih akan meningkat akibat diberlakukannya TPP. Skema TPP memang sudah berubah seiring beralihnya pemerintahan dari Presiden Obama ke Presiden Donald Trump. Namun meski sejak 2017 TPP berubah jadi Strategi Indo-Pasifik AS, namun sejatinya skema TPP masih tetap tidak berubah. Bedanya, Strategi Indo-Pasifik AS diperluas lingkup kerja sama-nya, yaitu di bidang militer. Selain Kerja Sama di bidang Ekonomi dan Perdagangan.

Melalui konstruksi profil dan program politik Starmer, nampak jelas bahwa Inggris dalam kebijakan luarnegerinya masih menggunakan pendekatan Neokolonialisme terhadap negara-negara berkembang (Global South Countries). Jelasnya, meskipun Starmer dan Partai Buruh menggunakan jargon “liberal riset” dalam program politik partainya, kebijakan luarnegeri Inggris melalui Starmer, masih tetap bersikap eksploitatif terhadap negara-negara berkembang baik di kawassan Asia, Afrika, Timur Tengah, dan Amerika Latin. Dan seperti juga AS, berupaya memaksakan agenda dan kepentingan-kepentingan pelaku ekonomi dan pelaku usaha berskala besar dari korporasi multinanasional, kepada negara-negara berkembang (Global South Countries).

Baca: No Easy Decisions: Foreign and Defence Policy Under the UK’s New Government

Apalagi dengan adanya fakta bahwa pemerintahan baru Keir Starmer didesak untuk meningkatkan alokasi anggaran militer/pertahanannya di atas 2,5 persen dari total Gross Domestic Product-nya, untuk menutup adanya kesenjangan keuangan dalam program militer Inggris.

Sepertinya, skema Neokolonialisme Inggris tetap dipertahankan antara lain dipicu oleh krisis investasi dan keuangan yang melanda Inggris saat ini. Saat dorongan dan ambisi geopolitik dan kolonialisme suatu negara begitu kuat untuk melanggengkan ekspansi ekonomi ke negara-negara lain, maka kapitalisme monopoli bukan saja masih tetap dibutuhkan, meski dengan menggunakan retorika Skema Pasar Bebas. Bahkan lebih dari itu, perlu semakin memperkuat postur pertahanannya yang lebih agresif untuk mengamankan skema Pasar Bebas di perlbagai belahan dunia.

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com