Tak sedikit individu dan kelompok berpaham liberal di republik ini bicara demokrasi. Agendanya jelas mau men”demokrasi”-kan Indonesia dengan tata cara (ala) Barat di satu sisi, sedang pada sisi lain, mereka —kelompok liberal— justru kurang memahami filosofi demokrasi, bahkan tidak tahu hakiki demokrasi itu sendiri. Repot memang. Berkoar soal demokrasi, tetapi tidak memahami (hakiki) demokrasi.
Lalu, bagaimana model dan operasionalnya?
Kecenderungan core business berkisar pada prosedural demokrasi — bukannya substansi dari demokrasi. Hanya kampanye 11 pilar contohnya, atau 14 prinsip demokrasi yang plek dicomot dari belahan Bumi Barat. Itu materi utamanya.
Adapun 11 pilar demokrasi (ala Barat) dimaksud terdiri atas:
Pertama, kedaulatan rakyat (sovereignty of the people);
Kedua, pemerintahan dijalankan atas persetujuan yang dipimpin (government based upon the consent of the governed);
Ketiga, aturan berdasarkan kemenangan mayoritas (mayority rule);
Keempat, hak-hak minoritas (minority rights);
Kelima, jaminan hak asasi manusia/HAM (guarantee basic human right) yang meliputi 1) freedom of speech, expression and free press, 2) freedom of assembly and association, 3) freedom of religion, 4) equality before the law, 5) due process and fair trial.
Keenam, pemilu yang bebas dan adil (free and fair election);
Ketujuh, persamaan hak dalam hukum (equality before the law);
Kedelapan, persamaan hukum dalam proses peradilan (due process of the law);
Kesembilan, pembatasan kekuasaan secara konstitusi (constitutional limits of government);
Kesepuluh, pluralisme sosial, ekonomi dan politik (social, economy and political pluralism);
Kesebelas, pentingnya nilai-nilai pragmatisme, kerja sama, toleransi, dan kompromi (the importance values of tolerance, pragmatism, cooperation and compromise).
Sedang 14 prinsip demokrasi meliputi antara lain:
1. Partisipasi sipil (citizen participation);
2. Persamaan hak (equality);
3. Tanggung jawab terhadap publik (accountability);
4. Keterbukaan terhadap publik (transparancy);
5. Toleransi politik (political tolerance);
6. Kebebasan ekonomi (economic freedom/free market);
7. Kontrol terhadap penyalahgunaan kekuasaan (control over abuse of power);
8. Sistem multipartai (multy party system);
9. UU HAM (bill of rights);
10. HAM (human rights);
11. Pemilu yang bebas dan adil (regular free and fair election);
12. Penerimaan hasil pemilu (acceptance the result of election);
13. Aturan hukum (rule of law);
14. Pengadilan yang independen (free courts).
2. Persamaan hak (equality);
3. Tanggung jawab terhadap publik (accountability);
4. Keterbukaan terhadap publik (transparancy);
5. Toleransi politik (political tolerance);
6. Kebebasan ekonomi (economic freedom/free market);
7. Kontrol terhadap penyalahgunaan kekuasaan (control over abuse of power);
8. Sistem multipartai (multy party system);
9. UU HAM (bill of rights);
10. HAM (human rights);
11. Pemilu yang bebas dan adil (regular free and fair election);
12. Penerimaan hasil pemilu (acceptance the result of election);
13. Aturan hukum (rule of law);
14. Pengadilan yang independen (free courts).

Dalam praktik, Amerika Serikat (AS) selaku ‘mBah’-nya demokrasi —kiblat kaum liberal— justru kerap melanggar pilar dan prinsip demokrasi itu sendiri. Contoh di internal misalnya, masih adanya diskriminasi terhadap kulit berwarna, ataupun di eksternal alias di luar ia memakai standar ganda atas praktik HAM dan demokrasi, dan seterusnya.
Di panggung geopolitik global lebih parah lagi, persepsi geostrategi AS terhadap demokrasi identik dengan emas, minyak dan gas bumi. Ketika sebuah negara ‘dituduh’ tidak demokratis, artinya di negara tersebut terdapat kandungan besar atas minyak, gas bumi atau mineral logam lainnya. Ya. Siap-siap saja ditaklukkan secara hard power atau soft power alias nirmiliter. Bahkan William Blum, sejarawan dan kritikus kebijakan luar negeri AS mengatakan:
“Demokrasi adalah ekspor AS yang paling mematikan”.
Beberapa sampel misalnya, seperti Negeri 1001 Malam —Irak— menjadi luluh lantak karena dituduh tidak demokratis (walau ‘pintu masuk’ lewat isu Sadam Hussein menyimpan senjata pemusnah massal), kemudian Syria pun bernasib sama, lanjut Libya dan lain-lain.
Lantas, apakah filosofi dan hakiki sebuah demokrasi?
Hakikat demokrasi itu bukanlah sistem pemerintahan yang sekadar menganut:
- Asas pemerintahan dari/oleh/dan untuk rakyat; atau
- Sistem negara yang menekankan kekuasaan tertinggi di tangan rakyat;
- Dan lain-lain.
Bukan! Beberapa poin di atas masih bisa dimanipulasi oleh kekuasaan itu sendiri. Memang sah-sah saja bila memakai definisi umum tadi. Namun, ada yang lebih dalam lagi. Lebih jeru. Bahwa hakikat dan filosofi demokrasi adalah kebebasan hidup di dalam kehidupan berbasis atau didasari atas prinsip utama untuk tidak membuat kekacauan. Itu poin intinya.
Bagaimana disebut negara demokrasi jika mengklaim diri ‘polisi dunia’ yang konotasinya penegak kekacauan, si superpower, atau menganggap sebagai adidaya?
Inilah yang kini berlangsung di pelbagai belahan bumi, bahwa demokrasi selain harus berkiblat pada 11 pilar dan 14 prinsip demokrasi, juga minimal membebek ke Barat.
Gilirannya, ketika wajah bangsa yang guyub, toleransi, gotong royong, tepo seliro dan seterusnya ‘dipaksa’ menganut demokrasi ala Barat (one man ove vote) seketika ‘wajah Indonesia’ berubah beringas, penuh caci maki, suka menebar hoax, bersikap intolerans, individualis lagi liberalis.
Merujuk salah satu poin penting dalam pidato kenegaraan pertama Presiden Prabowo Subianto pada Minggu, 20 Oktober 2024, Hari Pelantikan selaku Presiden RI ke-8:
” ..Demokrasi kita harus demokrasi yang santun, dimana berbeda pendapat harus tanpa permusuhan. Demokrasi yang kalau bertarung tanpa membenci, koreksi tanpa caci maki, menghindari kekerasan, adu domba, hasut – menghasut. Harus sejuk, damai, menghindari kemunafikan ..”
Membaca isyarat Prabowo tentang demokrasi pada pidato pertama di MPR RI, tampaknya Indonesia bakal mengalami perubahan dalam demokrasi, minimal pemilihan presiden/kepala daerah bakal kembali melalui MPR atau DPRD, dan maksimal balik ke UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1945 sesuai visi dan misi AD/ART Partai Gerindra.
Kenapa begitu?
Sebab, omong kosong bisa berdemokrasi secara santun dan beradab, sedang model demokrasi yang dianut ala Barat yang dalam praktik cenderung banyak-banyakan suara, pencitraan, serta biaya tinggi (high cost politics). Tanpa kembali dulu ke UUD45 Naskah Asli, tampaknya upaya membangun demokrasi yang santun dan beradab seperti bunyi peribahasa Jawa: “Kakean gludhug kurang udan“.
Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak kembang sore dan bunga-bunga sedap malam.
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments