Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)
Inilah satu bukti lagi, betapa arus globalisasi tren meniru mentah-mentah gaya hidup orang-orang dari Amerika dan Eropa yang sangat individualistis, telah melanda kota Solo, jantung kebudayaan Jawa yang mana warga masyarakatnya selama ini lekat dengan suasana guyub seperti layaknya karakteristik orang-orang Jawa pada umumnya.
Namun karakteristik sosial-budaya yang khas Solo tersebut dalam waktu dekat nampaknya akan segera punah dan hilang telah oleh sang waktu. Biang keladi dari semua itu adalah ulah dari Walikota Solo Joko Widodo yang telah mengeluarkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Solo Paragon, Center Point Solo dan Kusuma Mulia Tower.
Inilah tragedi sekaligus ironi dari kasus ini. Joko Widodo, Walikota Solo ini dikenal sebagai kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan pimpinan Megawati Sukarnoputri, dan menganut haluan politik Marhaenisme dan Tri Sakti.
Berarti, secara sosial-ekonomi Walikota Widodo seharusnya menganut haluan politik yang membela lapisan masyarakat ekonomi lemah sebagaimana amanat PDIP yang berpihak pada kaum wong cilik. Secara sosial-budaya, Walikota Widodo seharusnya menganut haluan TRI SAKTI yang menjadi ajaran pokok Bung Karno yang mana salah satu butirnya menegaskan bahwa Indoensia harus memiliki kepribadian dalam Budaya.
Ironisnya, justru rencana pembangunan gedung pencakar langit Apartemen Solo Paragon, Center Point dan Kusuma justru berhasil lolos melalui Walikota Joko Widodo sebagai pintu masuk.
Beruntunglah kota Solo memiliki dua insane sosial-budaya yang perduli dan peka terhadap bahaya punahnya budaya dan kearifan lokal kota Solo. Dan ini, telah dipertunjukkan oleh keduanya pada Senin 15 Juni 2009 lalu dalam persidangan kasus gugatan perdata Forum Penegak Keadilan dan kebenaran (FPKK) terhadap Walikota Solo Joko Widodo terkait pembangunan tiga apartemen di Solo sebagaimana diutarakan di atas.
Menarik kesaksian Eros Djarot, seorang seniman dan budayawan yang secara khsusus tampil sebagai saksi dalam persidangan ini. “Meski secara fisik bangunan tiga gedung tersebut kokoh dan kuat, namun dalam konteks budaya bangunan tiga gedung pencakar langit tersebut rapuh, karena akan menciptakan masyarakat individualis yang akan kehilangan ke-Jawaannya yang lekat dengan suasana guyub,” begitu pandangan Eros Djarot dari rawannya rencana pembangunan Apartemen Paragan dari sisi budaya.
Artinya, dengan dibangunnnya tiga gedung pencakar langit tersebut, Solo yang mengumandangkan motto SOLO KOTAKU SOLO BUDAYAKU, menjadi tidak relevan lagi. Lebih dari itu, kehadiran tiga gedung pencakar langit yang tidak sesuai dengan karakteristik warga masyarakat Solo, pada gilirannya bisa menghancurkan Solo baik terhadap warga masyarakatnya maupun terhadap ciri khas budaya Jawanya yang mana Solo merupakan masih tetap menjadi kiblat budaya Solo selain Yogyakarta.
Selain daripada itu, di Solo inilah dua keraton, Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran, masih tetap berdiri kokoh di sebelah timur dan utara kota Solo, dengan harapan kedua keraton tersebut masih tetap menjadi benteng utama dalam pelestarian sekaligus aktualisasi kebudayaan Jawa.
Nampaknya inipula yang menjadi dasar sikap Ismu Wardoyo, Ketua Forum Penegak Keadilan dan Kebenaran ketika melayangkan surat terbukanya kepada Walikota Solo pada 10 November 2008.
Dalam surat terbukanya kepada Walikota Joko Widodo yang tembusannya antara lain dilayangkan kepada Ketua DPP PDIP Megawati Sukarnoputri, Ketua DPR-RI, Gubernur Jawa Tengah, maupun para pemangku kepentingan (Stakeholders) kota Solo lainnya, Ismu Wardoyo selaku Ketua FPKK merasa perlu mengingatkan Walikota Solo yang kader PDIP tersebut terhadap beberapa pokok pemikiran melalui beberapa pertanyaan strategis antarai lain:
1.Apakah dengan didirikannya tiga gedung pencakar langit tersebut Walikota Solo bisa menjamin bahwa pasar tradisional, batik, makanan khas Solo dan tata perekonomian kerakyatan pada umumnya tidak akan mati?
2.Apakah dengan dibangunnya tiga gedung pencakar berikut dibangunnhya sumur artetis lingkungan di sekitarnya tidak akan terancam kehabisan sumber air? Dan jika sumber air habis gara-gara dibangunnya sumur artetis, lalu bagaimana Walikota Solo menanggulangi hal tersebut?
3.Apakah dengan dibangunnya tiga gedung tersebut berikut penanaman besi beton yang terlalu dalam, tidak akan bermuara pada rusaknnya konstruksi bangunan di lingkungan sekitarnya?
4.Lalu apakah Walikota bisa menjamin bahwa sektor pertahanan nasional kita bisa tetap kondusif dengan dibangunnya tiga gedung pencakar langit tersebut? Hal ini penting mengingat semakin meningkatnya himpitan dan kesulitan kehidupan ekonomi rakyat di lapisan masyarakat bawah dan menengah.
5.Apakah Walikota sudah berkoordinasi dengan TNI dan POLRI mengingat potensi tempat tersebut nantinya untuk diadakannya rapat-rapat gelap oleh pihak-pihak tertentu. Aspek ini penting untuk dikemukakan sebagai sistem peringantan dini sehingga rapuhnya ketahanan negara dan gangguan terhadap stabilitas lokal dan regional bisa diantisipasi sedini mungkin.
6.Mempertanyaakan konsisitensi Walikota Solo sebagai kader PDIP yang berpihak kepada wong cilik tapi kemudian 180 derajat banting stir dengan berpihak kepada kaum kapitalis yang jelas-jelas akan mengorbankan masyarakat kecil dan menengah Solo dnegan dibangunnya Solo Paragon, Center Point, dan Kusuma Mulia Tower.
Karena itu,sudah seharusnya berbagai elemen strategis sosial-budaya Jawa di kota Solo mulai angkat bicara. Menurut sumber informasi yang berhasil dihimpun Global Future Instutute, Ketua FPK Ismu Wardoyo sebenarnya sangat berharap Ibu Murtiyah dan Ibu Indriyah, kedua putri Almarhum Sunan Pangkubuwono XII, bisa memenuhi undangan untuk duduk sebagai saksi yang memperkuat gugatan FPKK terhadap Izin Mendirikan Bangunan bagi tiga gedung pencakar langit yang telah disetujui oleh Walikota Solo Joko Widodo.
Namun berdasarkan penelusuran Global Future Institute, kedua putrid Keraton Kasunanan Solo tersebut sampai tulisan ini dibuat, belum memberi kepastian kesediaannya sebagai saksi. Namun fakta yang tak bisa dielakkan adalah bahwa Ibu Murtiyah adalah Anggota DPR-RI terpilih dari Partai Demokrat yang mana Ketua Dewan Pembinannya adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sedangkan Ibu Indriyah, adalah anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD)Jawa Tengah yang tentunya juga keberhasilannya adalah berkat dukungan mesin dan jaringan Partai Demokrat.
Bagi Ismu Wardoyo, yang selama ini dikenal memiliki apreasisi terhadap budaya Jawa dan Solo pada khususnya, memang cukup beralasan untuk merasa prihatin. Dan surat terbukanya kepada Walikota Solo, secara jelas didasari oleh semangat untuk saling mengingatkan demi kebaikan bersama.
“Saya sebagai warga Solo merasa berkewajiban saling mengingatkan saudara Walikota jika ada hal-hal yang melenceng jauh dari roh kebatinan partai “sandal jepit” PDIP tersebut, demikian menurut Ismu dalam salah satu bagian dari surat terbukanya.”
Walikota Solo Seharusnya Membuat Perda Lestarikan Budaya Solo
Lebih lanjut, dalam bagian lain suratnya, Ismu Wardoyo mengingatkan Walikota Jolko Widodo bahwa seharusnya dia selaku pemegang otoritas kota Solo membuat Peraturan Daerah untuk melindungi produk-produk seni dan budaya yang telah menjadi ikon budaya Jawa dan Solo pada khususnya.
Melanggar TRISAKTI Ajaran Bung Karno
Bagi Ismu Wardoyo, tindakan Walikota mengizinkan berdirinya tiga gedung pencakar langit tersebut, merupakan sebuah kontradiksi. Pada satu sisi, Walikota Solo telah sukses sebagai Tuan Rumah menyelenggarakan World Heritage Cities Conference dan Solo International Ethnic Music pada Oktober dan November 2008. Dan melibatkan delegasi sebesar 150 kota dari 30 negara. Cukup mengagumkan sebenarnya.
Namun pada sisi lain, reputasi gemilang tersebut sekarang pupuslah sudah gara-gara Walikota Solo mengizinkan dibangunnya tiga gedung pencakar langit yang telah melecehkan Solo baik dari segi sosial-ekonomi maupun sosial-budaya. Dan lebih parah dari itu, Walikota Solo sebagai kader PDIP yang mengklaim sebagai partainya Wong Cilik atau rakyat miskin, ternyata telah melangar dua poin penting dari Ajaran Bung Karno dalam TRI SAKTI. Berdikari dalam Ekonomi dan Berkepribadian dalam budaya.
Karena itu, ahli waris Kasunan Surakarta yang seharusnya menjadi pusat kebudayaan dan kiblat dari nilai-nilai budaya Jawa di kota Solo, sudah waktunya untuk angkat bicara.
Sayang sekali, Ibu Murtiyah dan Ibu Indriyah yang selama ini dikenal sebagai putri-putri dari almarhum Sunan Pakubuwono XII, dan mengklaim dirinya sebagai ahli waris utama Kasunanan, justru tetap bungkam seribu bahasa mengenai rencana pembangunan Solo Paragon tersebut. Dan menurut informasi terkini, keduanya tetap menolak untuk dihadirkans sebagai saksi dalam persidangan kasus ini. Padahal FPKK sangat berharap kehadiran kedua Putri Keraton tersebut.
Namun pada sisi lain , ada secercah harapan ketika Kolonel Tejo Wulan, yang juga putra kandung Pakubuwono XII dan mengklaim sebagai ahli waris bapaknya dan menjadi Sunan Pakbuwono XIII, ternyata punya sikap dan pendirian yang lebih kritis. ”Persoalannya dengan aji akal-akalan model sekarang, kita harus cerdik dan cerdas. Survei membuktikan, arta daya mendominasi media dengan opini. Kita lawan. Merdeka,” begitu ujar Tejowulan dalam dukungan moril yang dia nyatakan kepada Ismu Wardoyo dalam perjuangannya menggugat izin Walikota Solo kepada Solo Paragon.
Jika Tejowulan bersedia dan hadir sebagai saksi dalam persidangan kasus gugatan FPKK, maka sudah selayaknya warga Solo memberi acungan jempol setinggi-tingginya kepada Tejowulan. Karena itu berarti, waktu dan keadaan telah memperlihatkan siapa yang sebenarnya memiliki kualitas dan kapasitas sebagai seorang raja. Minimal, Tejowulan akan dikenang oleh sejarah sebagai perwira militer yang tetap menjunjung tinggi nilai-nilai dirinya sebagai kesatria yang di dalam budaya Jawa merupakan etika yang mendasari sikap dan perilaku perwira militer.
Forum Penegak Keadilan dan Kebenaran Harus Tetap Menjaga Gawang Pelestarian Budaya Jawa Solo
Warga masyarakat kota Solo sudah selayaknya berbangga masih ada insan-insan budaya yang perduli dan menaruh keperihatinan yang besar terhadap ancaman terkikisnya budaya dan kearifian lokal kota yang sempat menjadi kiblat budaya Jawa tersebut.
Betapa tidak. Di era 1980-an, ada seorang kandidat Doktor Amerika Serikat, Dr Nancy K. Florida, yang membuat studi tentang Keraton Solo berilkut aspek-aspek seni-budaya yang melekat di dalamnya. Poin menarik dari fakta ini adalah, bahwa Solo lah yang menjadi obyek studi DR Nancy K. Florida.
Penulis yakin, meski Dr Florida sudah kembali ke Amerika dan menjadi salah satu guru besar Program Studi Jawa di salah satu universitas terkenal di Amerika, dia akan sangat prihatin dengan semakin maraknya arus globalisasi dan westernisasi di Kota Solo dan bahkan di Yogyakarta.
Maka itu, hadirnya FPKK dalam kasus Solo Paragon, patut kita beri apresiasi yang setinggi-tingginya. Apalagi dari berbagai penelusuran Global Future Institute, kasus Solo Paragon bukanlah kiprahnya yang kali pertama.
Pada 1997, di tengah-tengah gencarnya ”Kuningisasi” kawasan alun-alun Kasunan Surakarta yang dilakukan oleh Partai Golkar yang ketika itu masih merupakan mesin politik mantan Presiden Suharto, FPKK telah mengambil prakarsa kultural dengan ”gerakan memutihkan” kembali kawasan tersebut.
Suatu bukti bahwa FPKK memiliki suatu visi kebudayaan untuk tetap menghormati kemandirian Keraton Kasunan Surakarta sebagai pusat kebudayaan Jawa, sehingga harus dibebaskan dari segala macam pengaruh-pengaruh politik.
Sebagaimana juga halnya dengan kasus Solo Paragon, FPKK pada perkembangannya harus berseberangan sikap dan pendirian dengan pemegang otoritas pemerintahan daerah kota Solo, yaitu Walikota.
Pada 2002, FPKK melakukan gugatan class action di Pengadilah Negeri Surakarta melawan Walikota Kotamadya DATI II Surakata karena mengizinkan dan membiarkan orang-orang dengan sengaja mendirikan bangunan di bantaran sungai. Dan merekomendasi pensertifikatan tanah-tanah bantaran sungai tersebut.
FKPP menggugat melalui class action dengan dasar bahwa Walikota Solo telah melanggar Peraturan Pemerintah No.35 tahun 1991.
Begitulah, di tengah-tengah semakin maraknya berbagai kalangan yang berorientasi uang dan jabatan, masih ada saja orang-orang yang perduli untuk memperjuangkan nasih warga masyarakat maupun pelestarian budaya kota-kota bersejarah seperti Solo, baik dari segi sosio-budaya maupun sosio-ekonomi.
Karena itu, Global Future Institute, sebuah think-thank yang menggeluti isu-isu global dalam bidang politik luar negeri, pertahanan dan strategi, dengan segala kerendahan hati menyatakan dukungan dan apreasasi yang setinggi-tingginya kepada Ketua Umum FPKK Ismu Wardoyo dan Sekretaris Jenderal Bambang J. Guntoro.