Quo Vadis 16 Tahun Reformasi: Mencari Negarawan Pada Pilpres 2014

Bagikan artikel ini

L.Tantri Kristiani Rahmatianing, alumnus Pascasarjana  UI,  peneliti muda pada Forum Kajian Masyarakat untuk Ketahanan Bangsa

Pada bulan  Mei 2014 ini,  kita  kembali merefleksi 16 Tahun perjalanan reformasi  di Indonesia. Era yang mengantarkan masyarakat pada kebebasan berekspresi. Sebagai sebuah proses, reformasi yang telah berjalan 16 tahun ini belum menjadikan bangsa meraih harapannya yaitu membangun masyarakat yang adil dan sejahterah, yang ada hanyalah semakin kompleksnya berbagai persoalan, yang kemudian muncul pertanyaan apakah 16 tahun perjalanan reformasi sudah sesuai dengan semangat membangun kualitas berbangsa dan bernegara dalam bingkai nusantara  Indonesia?

Apabila berkaca dari hasil pemilu legislatif 2014 kemarin, dapat di gambarkan bahwa cita-cita luhur akan sistem demokrasi di Indonesia masih belum tercapai dengan baik. Dalam prakteknya, demokrasi konstitusional sebagai amanat reformasi yang berjalan malah mengarah kepada ‘politik dagang sapi’. Uang memainkan peran utama dalam setiap perhelatan pesta demokrasi. Sehingga wajar masalah-masalah pelik muncul sebagai akibat praktek-praktek ini. Salah satunya adalah para pemimpin dan atau  wakil rakyat yang dipilih ternyata hanya memanfaatkan posisinya untuk memperkaya diri dan golonganya. Alhasil, korupsi yang menjadi musuh utama di era orde baru ternyata malah makin kronis, karena kini para pejabat publik di setiap tingkatan semuanya melakukan korupsi..

Merefleksikan reformasi seiring momentum pemilu yaitu pemilihan presiden yang akan digelar pada 9 Juli 2014, maka setiap warga negara Indonesia memiliki hak menentukan sosok yang layak memimpin bangsa ini. Pemimpin yang mampu melepaskan bangsa ini dari belenggu penjajahan gaya modern, seperti korupsi, kesejangangan pembangunan, kemiskinan hingga sabotase negara lain, terutama di wilayah perbatasan. Hal ini berarti, masa depan karir politik pejabat publik tergantung pada respon masyarakat terhadap gaya kepemimpinannya.

Menurut Saiful Mujani dalam bukunya Muslim Demokrat (2007), demokrasi dapat dipandang sebagai kontrol pemerintah oleh warga. Kontrol ini menurutnya, pada tingkat tertentu tergantung pada partisipasi politik warga negara. Negara yang menganut sistem demokrasi, partisipasi politik merupakan suatu hal yang sangat penting. Para ilmuwan sosial politik pun percaya bahwa partisipasi politik adalah inti demokrasi. Tanpa partisipasi politik, demokrasi tidak dapat berjalan dengan baik.

Terkait hal tersebut, kiranya saat ini bangsa Indonesia sedang menghadapi krisis negarawan di tengah muncul segudang politisi prag¬matis yang hanya berorientasi pada kekuasaan guna memenuhi kepentingan diri mereka.  Hal ini semakin di perparah oleh meka¬nisme rekrutmen partai politik yang buruk. Kaderisasi parpol tidak berjalan, sehingga hal yang tampak bahwa untuk menjadi pejabat publik melalui mekanisme Pemilu dan Pemilukada, seseorang harus menyediakan sejumlah uang untuk menjadi politisi tersebut. Imbasnya adalah meningkatnya jumlah politisi dengan jiwa kepemimpinan yang lemah, korup dan tidak memiliki visi untuk membangun bangsa dan negara.

Hasilnya, gaya kepemimpinan hanya mampu mem¬pertontonkan kesenangan, kemewahan dan menghambur-hamburkan uang, melupakan masalah sesungguhnya yang dihadapi masyarakat. Sesuai janji politik dan amanat yang di berikan rakyat menjelang pemilu. Dengan demikian, menjadi kewajaran ketika masyarakat merasa kehi¬langan harapan terhadap pemimpinnya. Sehingga menjadi kewajaran apabila ma¬syarakat lebih senang bertindak dengan caranya sendiri dalam menye¬lesaikan masalah.

Dalam konteks ini, pada Pilpres 2014 masyarakat sangat mengharapkan munculnya sosok negarawan. Meskipun kini banyak pemimpin yang dihasilkan setiap momen pemilu, namun sangat sedikit yang menjadi negarawan. kerapkali, kualitas negarawan, hanyalah “musiman”, yang secara ajaib muncul menjelang pemilu. Negarawan hanya dijadikan sebagai simbol dan stastus saja. Rakyat tidak mengetahui seberapa besar pengabdian yang telah dilakukan oleh orang tersebut kepada negara. Slogan-slogan yang dikumandangkan di masa kampanye hanya menjadi janji manis karena setelah pemilu berakhir dan kekuasaan didapatkan maka janji tersebut dianggap lunas tanpa perlu dibayar. Sosok negarawan yang digambarkan mendadak lenyap setelah kursi kekuasaan didapatkan.

Kehadiran seorang pemimpin yang tepat waktu, tepat jaman dan tepat karakter tentu akan melahirkan kemaslahatan bagi seluruh bangsa Indonesia. Memang setiap masa ada orangnya dan setiap orang ada masanya, maka reformasi telah mengamanatkan bahwa Presiden hanya berkuasa dua priode dan pemilihannya  dilakukan secara langsung melalui Pemilu Presiden yang dijamin jujur, bebas dan kridebel. Di Indonesia, contoh negarawan dapat dilihat dari karakter founding fathers yang dengan semangat tinggi bergerak maju untuk membangun Indonesia. Pemikiran mereka yang dirumuskan dalam pancasila memiliki visi yang melihat jauh ke depan. Mereka siap mengorbankan jiwa dan raganya demi kemerdekaan bangsa. Sedangkan, kepemimpinan “negarawan” musiman hanya akan membawa negara ini menjadi semakin terperosok. Negarawan musiman akan melepaskan tanggung jawabnya setelah kekuasaan didapatkan. Dia akan bertindak ketika tindakan yang dia lakukan memberikan keuntungan bagi diri atau kelompoknya.

Negarawan adalah orang yang rela berkorban secara tulus demi keutuhan dan kemajuan bangsanya, juga ikut serta secara aktif dalam mewujudkan cita-cita bangsa. Dia bukanlah orang yang menghitung-hitung untung rugi ketika tenaga dan pemikirannya dibutuhkan oleh negara. Dia juga bukan orang yang memilih untuk tutup mata saat kemiskinan dan ketidakadilan terjadi di hadapannya. Pandangannya dapat dilihat dari visi yang jelas tentang arah ekonomi, politik, keamanan dan pendidikan yang akan dia kembangkan. Visi yang dimilikinya adalah visi yang melihat jauh ke depan. Dia bukanlah sosok yang mementingkan kepentingan sesaat demi citra pribadi serta golongannya. Karakter negarawan sejati bisa dibuktikan secara langsung ketika kursi kekuasaan telah dia dapatkan, bertindak sebagai ratu adil yang fokus mensejahterahkan rakyatnya demi membawa bangsa dan negara menjadi terhormat dan disegani. James Freeman Clarke mengatakan bahwa perbedaan antara politisi dan negarawan adalah politisi memikirkan tentang pemilu berikutnya sedangkan negarawan berpikir tentang generasi berikutnya. Dengan demikian, seorang pemimpin negarawan akan dapat dilihat dari pandangan-pandangannya yang mempunyai komitmen tinggi terhadap kepentingan bangsa jauh ke depan.

Untuk itu, kiranya 16 Tahun Reformasi dan momentum Pemilihan Presiden 2014 ini  menjadi momentum bagi rakyat Indonesia untuk partisipasi memilih pemimpin berkarakter negarawan yang berani mengambil resiko di setiap kebijakan, jujur melaksanakan kewenangannya, dan ikhlas melayani rakyatnya. Dalam konteks ini golput hanya melemahkan demokrasi. Partisipasi politik masyarakat dalam Pilpres kali ini sangat menentukan kualitas demokrasi yang melahirkan sosok negarawan sejati. Semakin kecil tingkat partisipasi politik, legitimasi pemerintah akan semakin kecil. Dengan demikian golput bukanlah jalan keluar yang efektif untuk membuat demokrasi menjadi lebih baik. Sebaliknya, golput dalam tingkat tertentu akan menghancurkan demokrasi. Indonesia saat ini berada dalam keterbukaan politik. Setiap orang bebas mengekspresikan diri dalam politik, dengan mendirikan partai politik, menjadi anggota partai politik, atau setidaknya menjadi voter dalam pemilu. Bangsa Indonesia telah menerima sistem demokrasi sebagai sebuah pilihan reformasinya. Oleh karena itu, kita tidak punya pilihan selain menjalaninya dengan sepenuh hati dengan mencari sosok negarawan sejati guna membangun bangsa. Bukan negarawan karbitan dengan kepentingan pragmatis untuk memperkaya diri sendiri, keluarga dan kelompoknya. Semoga perjalanan reformasi yang telah memasuki 16 Tahun ini, pilihan rakyat Indonesia pada Pilpres 2014 tepat dan di berkahi oleh Tuhan yang Maha Esa.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com