Refleksi 66 Tahun Kemerdekaan Indonesia

Bagikan artikel ini

Ozy Rausyanfikr, Mahasiswa FISIP UNAS Jurusan Hubungan Internasional dan Kontributor The Global Review

Pada mulanya kita harus mengajukan pertanyaan dalam diri kita apakah yang dimaksud dengan merdeka? Dan apakah sebagai bangsa Indonesia kita telah merdeka sepenuhnya? Nampaknya pertanyaan itulah yang semestinya kita jawab terlebih dahulu untuk masuk kedalam penjelasan yang lebih jauh lagi.

Dalam ruangan yang gelap ini karena lampu dipadamkan oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) saya mencoba menuangkan banyaknya huruf dan kata-kata yang mengganjal dikepala saya melalui tulisan. Mengutip pemikiran Raden Adjeng Kartini (1998) yang berbunyi “Habis Gelap, Terbitlah Terang” saya mencoba memulai tulisan ini. Awalnya dengan keadaan yang gelap ini membuat saya berpikir bahwa kegelapan akan menghalangi kita melakukan suatu aktifitas karena penginderaan merupakan komponen esensial kita dalam melaksanakan kegiatan. Meskipun demikian, paling tidak indera penglihatan bukanlah komponen tunggal yang dikaruniai Tuhan kepada kita, bukankah kita masih memiliki akal yang mampu membuat kita berpikir walaupun keadaan disekeliling kita tanpa cahaya. Kendati demikian,  toh pikir saya nanti listriknyapun akan menyala juga  .

Pendidikan

Kegelapan memang melanda bangsa kita sejak era kolonialisme hingga merdeka seperti sekarang ini, namun bukan kegelapan seperti yang saya alami dan jelaskan diatas tadi, kali ini permasalahanya adalah rendahnya pendidikan yang dienyam oleh setiap warga negara sehingga mereka sulit keluar dari penjara kebodohannya dan mengalami kebutaan. Maka dari itu, peningkatan mutu pendidikan melalui kebijakan politis dirasa perlu agar setiap rakyat kita mampu menikmati pendidikan yang layak agar nantinya menghasilkan SDM yang berkualitas. Saat ini, pemerintah memang sudah menjalankan program wajib belajar 9 tahun, namun program tersebut rasanya masih jauh dari ekspektasi kita karena masih maraknya pungutan liar yang dilakukan oleh oknum pengajar sehingga menimbulkan asumsi kalau pemerintah belum sungguh-sungguh menjalankan program wajib belajar karena paling tidak pemerintah harus memberikan jaminan kesejahteraan bagi para pengajar terlebih dahulu agar para pengajar berlaku sesuai rencana pemerintah.

Kebijakan lainya yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam sektor pendidikan yaitu Bantuan Operasional Sekolah (BOS) tujuanya adalah agar dapat meringankan beban masyarakat yang kurang mampu terhadap pembiayaan pendidikan dalam rangka wajib belajar 9 tahun. Fokus utama dari BOS adalah supaya rakyat miskin mulai dari SD hingga SMP mampu mengenyam pendidikan tanpa dibebani biaya sepeser pun dari sekolahnya entah itu sekolah negeri maupun swasta. Meskipun pemerintah sudah menjamin biaya pendidikan gratis bagi rakyat miskin dan kurang mampu melalui BOS ternyata masih saja ditemukan praktek pungli di sekolah, Di Kota Malang contohnya, pada masa Penerimaan Siswa Baru (PSB) pada 2010-2011 lalu ditemukan 31 kasus pungli yang mewarnai pelaksanaan PSB di berbagai sekolah di Malang Raya (Kota Malang, Batu, dan Kabupaten Malang), Jawa Timur (Kompas). Potret ironi pendidikan ini merupakan bukti nyata dari kemerdekaan rakyat yang terjajah karena hak sebagai warga negara untuk mendapatkan pendidikan yang layak dicederai oleh oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.

Korupsi

Tak disangka negeri ini sudah cukup memasuki usia yang renta. Di usia yang ke-66 tahun ini Indonesia seakan tertatih dalam setiap langkah karena fisik yang sudah tidak dalam keadaan prima lagi sehingga terkesan lamban dalam bergerak kearah yang dinginkan. Terlebih lagi praktek-praktek korupsi masih marak dijumpai di negeri ini sebut saja dugaan korupsi pengadaan wisma atlet dalam proyek SEA GAMES di palembang baru-baru ini dan korupsi proyek stadion Hambalang oleh tersangka Nazaruddin, penangan kasus korupsi Bank Century yang merugikan negara senilai 6,7 triliun yang tidak tuntas, kasus suap kemenpora dsb. Praktek korupsi seakan membudaya di republik ini karena penyakit rakus yang menjangkiti setiap elemen waraga negara Indonesia. Alhasil, upaya pemerintah untuk mencegah dan mengadili para koruptor seakan menemui jalan buntu karena para penegak hukum yang ikut-ikutan korup bukanya menjadi garda terdepan dalam upaya pemberantasan korupsi.

Data Lembaga Transparancy Internasional menyebutkan tahun 2011 Indonesia memiliki indeks persepsi korupsi 2,8 % dengan skala 0 hingga 10, Indonesia dipersepsikan sangat korup. Indeks itu tidak berubah dari indeks tahun 2009 dan 2010. Dari 178 negara  yang disurvei, Indonesia berada di peringkat 110. Sedangkan di Asia, Indonesia menempati peringkat ke-empat negera terkorup.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga independen yang diberikan hak dan wewenang oleh negara pun dinilai mandul dalam memberantas korupsi. Hal ini tercermin dalam lambanya penanganan praktek korupsi yang dilakukan oleh KPK dan menumpuknya  ratusan berkas-berkas dugaan korupsi dari setiap institusi negara. Lantas, apakah sebenarnya yang terjadi dengan bangsa ini, mungkin bangsa kita mengalami penyakit mental yang sulit untuk disembuhkan akibat kolonialisme yang mendera bangsa ini begitu lama. Rakyat yang pada saat itu mengalami depresi akibat penindasan yang dilakukan oleh parah penjajah seakan menyimpan dendam dalam dirinya, sehingga pada saat mereka memimpin mereka meluapkan emosi dengan melakukan korupsi untuk memperkaya dirinya sendiri.

Kemiskinan

Dalam kedua konteks di atas tadi telah dijelaskan betapa pendidikan dan upaya pemberantasan korupsi merupakan komponen penting dalam upaya memperbaiki negeri ini, karena keduanya akan mengantarkan kita masuk ke dalam jurang kemiskinan. Merupakan sesuatu yang kontradiktif bila negara dengan populasi penduduk sebesar 222 juta jiwa ini 31,02 juta warganya berada dalam jurang kemiskinan, data ini dilansir oleh BPS pada tahun 2010 menurut pendapatan perkapita yang dikeluarkan perbulan.

Kemiskinan memang menyangkut masalah sulitnya akses dari setiap warga negara untuk memperoleh sesuatu yang dinginkan, meskipun tersedianya beberapa pilihan-pilhan yang variatif di dalamnya. Artinya, peningkatan kesejahteraan dengan upaya-upaya ekonomis dirasa perlu untuk meningkatkan akses wargs negara agar mampu menjangkau kebutuhan-kebutuhan yang diinginkanya.  Dengan demikian perluasan lapangan kerja dan kemandirian ekonomi melalui usaha bersama merupakan prasyarat untuk meningkatkan pertumbuhan kesejahteraan sehingga rakyat tidak berada dalam jurang pengangguran dan dapat bekerja agar mendapat penghasilan yang layak.

Dalam artian lain kemiskinan tidak hanya terkait kemampuan ekonomi dari suatu negara untuk mensejahteraan rakyatnya tetapi yang lebih mendasar lagi mengutip pemikiran Amartya sen (1999) “Bahwa kemiskinan bukan semata masalah materi Tetapi tentang terlucutinya kesempatan yang mendasar serta kebebasan untuk memilih [freedom from and freedom to]”. Paling tidak kutipan dari Amartya Sen seorang ekonom India tadi mampu  merasionalkan tentang makna kemerdekaan yang sesungguhnya bagi kita.

Merdeka adalah terbebas dari kebodohan, terbebas dari kemiskinan, terbebas dari penindasan dan juga bebas dalam berpikir. Mudah-mudahan itulah yang dikatakan merdeka. Namun, konteks merdeka pada saat ini tentunya berbeda dengan merdeka pada masa kolonialisme. Jika pada masa kolonialisasi para pendahulu kita memaknai merdeka dengan  cara menghunuskan pedangnya untuk mengusir para penjajah agar pergi meninggalkan tanah air kita, saat ini merdeka bagi kita adalah terbebas dari kesesatan berpikir. Artinya dengan berpikir bebas akan membuka ruang kreatifitas dalam menentukan nasib kita sendiri sebagai bangsa yang mandiri.

Saya berharap dalam momentum kemerdekaan ini kita mampu memperbaiki diri agar secara bersama-bersama menghilangkan kebiasaan buruk kita untuk menuju kemerdekaan sepenuhnya sehingga HUT kemerdekaan tidak hanya kita pahami sebagai ceremonial setahun sekali apalagi hanya sebatas Sloganistis.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com