“Reformasi Belum Usai”

Bagikan artikel ini

M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)

Bung Karno (BK) sering mengatakan: Revolusi belum selesai. Maksudnya adalah revolusi terhadap karakter bangsa terkait dengan kemandirian politik, ekonomi, dan budaya (local wisdom) pasca penjajahan sekian abad –wajib terus digelorakan dan dibangkitkan– seperti cinta tanah air, babat perasaan minder berhadapan bangsa lain, kikis budaya enggah-nggih, “asal bapak senang”, sikap safety player (cari selamat), ketergantungan terhadap asing dan lain-lain.

Tercatat di banyak literatur, justru karena hal itu ia dijatuhkan dari kursi kekuasaan, oleh sebab cakrawalanya menjadi momok menakutkan bagi kelompok negara imperialis dan siapapun kaum yang ingin mengeruk kekayaan Indonesia.

Melacak nusantara dari awal kemerdekaan hingga kini, BK memang “banteng dan benteng kokoh” (penghalang) bagi kekuatan-kekuatan global yang hendak merampok sumber daya republik ini. Puncaknya tahun 1961, tatkala pemerintah memutus perihal perminyakan, dan 60 % laba harus diserahkan kepada Indonesia. Adalah Caltex sebagai salah satu dari tiga operator perminyakan di Indonesia terpukul atas kebijakan itu. Betapa berbagai korporasi raksasa menjadi geram, kemudian diciptakan skenario dan cara agar BK tersingkir dalam tempo sesingkat-singkatnya.

Singkat cerita, maka terjadilah …

Pasca BK jatuh, rancangan UU No 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing yang draft-nya didekte oleh Rockefeller di Jenewa-Swiss akhirnya diundangkan. Perusahaan asing pertama diteken ialah Freeport. Maka inilah babak baru sistem dan mekanisme pertambangan di republik ini.

Selanjutnya, tanpa berniat membandingkan para leluhur yang telah berjasa buat negeri ini –fakta hukum menyiratkan– di era BK, kontrak-kontrak dengan asing selalu menguntungkan, bahkan nasehatnya kepada Fidel Castro (1960) hingga kini masih diamalkan oleh Pemerintahan Kuba. Inilah isi petuahnya:

“Yang harus dilakukan pertama-tama harus menganalisa kekuatan modal, apa yang bisa dijadikan alat untuk mandiri, lalu gunakan modal itu 100% untuk kesejahteraan umum. Bagi saya kesejahteraan umum itu sumber kebahagiaan rakyat, negara tidak boleh menjadi tempat bagi penggarong atas nama kapital, atas nama komoditi!”.

Sekali lagi, mohon maaf — tak ada maksud membedakan jasa para leluhur yang telah membangun republik tercinta ini, semenjak BK turun panggung, maka kontrak-kontrak dengan asing seringkali malah merugikan pihak Indonesia selaku pemilik tambang. Itulah yang kini terjadi.

Sedang saat ini, ada 72 aturan telah diintervensi, karena keberpihakan terhadap asing lebih dominan daripada rakyat. Hal itu terjadi, selain akibat bantuan teknis (capicity building) dan pemberian utang, juga tak lepas dari keberadaan institusi luar dalam hal ini United Nations Development Programme (UNDP) di lingkungan MPR/DPR-RI sejak dekade 2000-an, yaitu ketika amandemen UUD 1945 tengah digodog.

Disinyalir, UNDP-lah pengawal amandemen dan operator berbagai produk undang-undang (UU) yang lahir atau direvisi di era reformasi. Kendati setelah diributkan banyak kalangan ia pergi, tetapi ruh dan konsepnya telah “tertancap” pada materi berbagai UU yang kini beroperasi, seperti UU Minyak dan Gas, UU Listrik, UU Telekomunikasi, UU Sumberdaya Air dan lain-lain. Tak hanya itu, bidang pendidikan dan kesehatan pun dirambah. Sekitar 49% pemain luar telah masuk ke ranah pendidikan, swastanisasi rumah-rumah sakit dan lainnya.

Indonesia terkepung kepentingan dan ideologi import dengan ragam kemasan (paham ) baru atas nama modernisasi, reformasi dan seterusnya, sedang anak bangsa ini tidak menyadari, atau ada yang memahami namun sedihnya malah larut dalam arus luar yang hendak mengeruk sumber daya negerinya. Fundamentalisme pasar, nilai dan paham asing kini tumbuh bak cendawan di musim hujan, menjadikan Pancasila terabaikan justru pada ranah dimana ia doeloe digali oleh pendirinya. Itulah yang kini terjadi. Yang tua-tua pancen kebacut! Yang muda membuat bunda kecewa!

Kepungan asing itu terlihat pada 75 % di pertambangan, 50,6 % perbankan, 70 % jaringan telekomunikasi, dan 65 % agroindustri sudah dikuasai asing. Secara lebih rinci, kepemilikan asing itu antara lain jaringan telekomunikasi milik Kuwait, agroindustri yakni 65 % kecap dikuasai AS, 8 % sawit punya Singapura, dan 12 % sawit oleh Malaysia. Selain itu, 100 % teh dan makanan ringan merk tertentu dimiliki Inggris, lalu 74 % minuman ringan dikuasai Prancis dan sebagainya.

Dengan demikian, data-data pertumbuhan ekonomi perlu dicurigai. Artinya apabila ada kemajuan positif, jangan-jangan hanya “ngloco” (onani) saja –  sekedar menyenangkan diri sedang kenyataannya tak begitu. Maksudnya keuntungan pertumbuhan bukan dimiliki oleh bangsa dan pemerintah Indonesia, melainkan dinikmati oleh asing!

Jika Indonesia ingin BANGKIT, maka terapi tepat selain membangun kemandirian, back to Pancasila dan UUD 1945, maka dibutuhkan kesadaran nusantara dan “persenyawaan semangat” segenap komponen bangsa agar segera keluar dari jurang keterpurukan. Tak bisa tidak. Meski hal itu tak mudah di tengah penitrasi global yang merasuk ke tulang sumsum bangsa. Tapi harus bisa, dan Indonesia pasti BISA!

Kemandirian dimaksud ialah independensi guna menghadapi kapitalisme. Ini merupakan kata kunci untuk sebuah negara bangsa menolak hegemoni dan cengkramannya. Dan kemandirian bangsa bukanlah ujug-ujug (tiba-tiba), menurut Hendrajit (2010), jika menganalog kemandirian Republik Islam Iran, ia dapat diraih melalui tiga pilar, antara lain : (1) kuatnya independensi pemimpin bangsa, (2) dukungan rakyat terhadap pemimpinnya, dan (3) ketahanan nasional. Retorikanya: Bagaimana kondisi pilar-pilar kemandirian di republik tercinta?

Sedang “kesadaran nusantara” ialah semangat segenap tumpah darah Indonesia, secara gegap gempita rindu kearifan leluhur yang memang terbukti mampu dan telah membawa Kejayaan Bangsa (Nusantara I dan II) di masa lalu, lalu secepatnya melepas sistem asing yang justru meluluh-lantakkan etika dan tatanan berbangsa. Dan memberdayakan segala entitas kenegaraan yang ber-Ketuhanan dan ber-Keadilan Sosial.

Itulah sekilas pokok-pokok masalah HULU di negeri ini. Sungguh sayang bila energi bangsa –kini tengah berlangsung– digunakan hanya untuk memperjuangkan persoalan HILIR. Tanpa mengurangi rasa salut atas semangat yang berkobar, memerangi masalah HILIR tidak bakal tuntas mengurai permasalahan UTAMA keterpurukan bangsa.

Revolusi belum berakhir. Itu pesan BK. Tapi ingat, revolusi bukanlah pemberontakan. Ia adalah perubahan secara cepat guna merobohkan SISTEM dan tatanan penyebab kesengsaraan rakyat, lalu diubah dan dibangun dengan tatanan yang mampu membawa negeri ini pada kesejahteraan rakyat berbasis local wisdom. Ya, reformasi tidak kenal kata usai atau mati. Dan revolusi tak bisa dipercepat ataupun diperlambat, tetapi ia datang pada waktunya. Entah kapan.

 

Daftar Bacaan:

http://forum.kompas.com/showthread.php?32232-Negara-Amerika-Serikat-Dibangun-dari-Emas-Papua

http://id.wikipedia.org/wiki/Revolusi

http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=5172&type=1

http://www.kaskus.us/showthread.php?t=7978642&page=2

http://www.rakyatmerdekaonline.com/news.php?id=6253

http://32threvolusiiran.blogspot.com/2011/02/menggebuk-ular-kapitalismedarimana.html

http://www.antaranews.com/berita/264120/pengamat-72-undang-undang-diintervensi-asing

http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=5187&type=4

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com