Reformasi Jalan Indonesia Menuju Negara Kapitalis

Bagikan artikel ini

Ferdiansyah Ali, Manager Program Global Future Institute (GFI)

Negeri ini harus mulai mengkhawatirkan kekuatan asing dalam perekonomian nasional karena melihat kenyataan bahwa berbagai bidang usaha di Tanah Air sudah dikuasai asing. Dominasi asing semakin kuat pada sektor-sektor strategis, seperti keuangan, energi dan sumber daya mineral, telekomunikasi, serta perkebunan. Dengan dominasi asing seperti itu, perekonomian sering kali terkesan tersandera oleh kepentingan mereka.

Perhatikan saja buah-buahan dari negara asing telah mengalahkan produk lokal akibat liberalisasi sektor pertanian sehingga terjadi serbuan produk buah dari berbagai negara, seperti China, Thailand, dan Australia.

Dalam sektor migas, pada Undang Undang No 30 tahun 2007 tentang Energi yang di dalamnya menyebutkan sektor pertambangan boleh dikuasai asing hingga 95 persen membuka peluang bagi perusahaan asing masuk menguasai sektor pertambangan nasional. Sangatlah tragis saat ini ketika porsi operator migas nasional hanya sekitar 25 persen, selebihnya 75 persen dikuasai pihak asing. Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM menetapkan target porsi operator oleh perusahaan nasional mencapai 50 persen pada 2025.

Kemudian Indonesia merupakan negara paling terbuka dalam kepemilikan asing di dunia perbankan, dimana aturan kepemilikan asing yang dapat mencapai 99 persen. Namun, keterbukaan itu tak dialami bank dari Indonesia saat akan masuk ke negara lain. Beberapa anggota Perhimpunan Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) hanya mematok kepemilikan asing 30-40 persen saham.

Dan bukan hanya bank asing yang masuk ke Indonesia melalui cabang atau anak perusahaan yang harus diwaspadai. Namun, bank asing semu juga harus diwaspadai yaitu bank di Indonesia, tetapi sahamnya dibeli 99 persen oleh asing.

Kemudian, untuk memperkuat cengkeraman asing sehingga penguasaannya terhadap kekayaan alam di Indonesia lebih mudah, mereka berusaha menguasai perekonomian Indonesia dengan cara membelokkan arah kebijakan ekonomi nasional. Salah satu modusnya adalah dengan menyuap para pejabat dan politisi agar membuat aturan perundangan yang pro-asing.

Lalu apa lagi senjata pamungkas republik ini untuk memenangi persaingan dalam era liberalisasi ini?

 

Paradigma Perdagangan Internasional Yang Selalu Baik Untuk Indonesia

Sejak awal ada paradigma yang selalu dikembangkan oleh pemerintah bahwa sebuah perdagangan internasional adalah hal yang sangat baik bagi pembangunan negeri ini. Pemerintah tidak pernah merasa curiga terhadap rezim perdagangan internasional yang selalu disebarkan oleh pihak asing. Sehingga jarang, atau bahkan tidak pernah kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan memang untuk melindungi industri lokal.

Kehadiran blok perdangan internasional, seperti WTO dan CAFTA justru menjadi pemicu deindustrialisasi di negeri ini. Perjanjian yang memang di design menjadi alat ‘legitimasi’ tangan-tangan asing untuk masuk ke pasar Indonesia tidak diimbangi dengan regulasi yang ketat untuk melindungi industri dalam negeri. Tidak adanya kebijakan yang dibuat agar pelaku industri dalam negeri mampu bertahan terhadap serangan produk-produk asing.

Alih-alih dibuatnya perjanjian perdagangan internasional untuk membuat sistem perdagangan yang berkeadilan akan tetapi yang terbentuk adalah perdagangan internasional yang bersifat monopolistik. Produk-produk dari negara-negara maju dengan leluasanya masuk ke pasar dalam negeri, sementara produk-produk dalam negeri mendapatkan kesulitan untuk memperluas pasarnya di luar negeri akibat hambatan perdagangan yang dijalankan negara-negara maju baik dalam bentuk hambatan tarif (tariff barrier) maupun hambatan non tariff (non tariff barrier).

Salamuddin Daeng dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, mengatakan akibat diberlakukannya FCTC (Framework Convention on Tobacco Control), sebuah perjanjian yang dinegosiasikan dibawah naungan WHO (Organisasi Kesehatan Dunia), merupakan konvensi tentang komoditi tembakau yang kebijakannya justru meregulasi dalam bentuk pembatasan baik dalam hal produksi, perdagangan, dan konsumsinya. Alasan utama adalah kesehatan, bukan ekonomi. Meski tembakau adalah komoditi penting secara ekonomi.

Adanya ratifikasi FCTC tersebut, yang menjadi dasar bagi pemberlakukan perdagangan bebas seperti CAFTA, beberapa perusahaan nasional bangkrut sebagai akibat dari kenaikan cukai. Dan jatuhnya perusahaan rokok nasional ke tangan perusahaan asing, seiring upaya pembatasan rokok dan tembakau. Perusahaan asing tampak semakin agresif mengambil alih perusahaan nasional.

Kemudian, akibat itu pula semakin tingginya impor tembakau dan rokok ke Indonesia. Dimana pada tahun 2003 impor tembakau sebanyak 29.579 ton, meningkat menjadi 35. 171 ton pada tahun 2004. Dan terus bertambah pada tahun 2005 menjadi 48.142 ton. Pada tahun 2010 impor tembakau mengalami peningkatan luar biasa menjadi 186.000 ton dengan nilai US$ 673,120 ribu (Bank Indonesia, 2011).

Meskipun dalam mengantisipasi serangan produk impor ini pemerintah telah mengeluarkan KEPRES No. 84 Tahun 2002 tentang Tindakan Pengamanan Industri Dalam Negeri dari Akibat Lomjakan Impor atau dikenal dengan safeguard, namun perlu dipertanyakan benarkah instrument ini dapat melindungi?

Menurut penilaian dari Institute for Global Justice, mekanisme safeguard yang didesakkan oleh rezim perdagangan internasional (WTO) yang diikuti dalam perjanjian perdagangan bebas (FTA) adalah tindakan gegabah. Karena mekanisme safeguard sangat sulit diterapkan oleh industri kecil atau industri lokal, sebab persyaratan yang ditetapkan sangat sulit. Seperti pembuktian ilmiah yang harus dilakukan melalui proses riset. Tidak semua perusahaan, khususnya perusahaan kecil menengah yang telah mempunyai database yang baik.

 

Kapitalisme Yang Menguat

Sejarah telah merekam jejak para founding father kalau negeri ini lahir dibidani oleh tokoh-tokoh muda yang berideolog sosialisme. Bung Karno dengan jelas mengatakan bahwa ajaran Marhaen adalah Marxisme ala Indonesia. Sementara Bung Hatta merupakan pelopor hadirnya koperasi di Indonesia, dimana dengan slogannya dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dan tidak ada yang mengingkari bahwa Tan Malaka adalah tokoh sosialis tulen Indonesia. Serta beberapa tokoh lainnya seperti HOS Cokroaminoto, Tirto Adisoerjo, dan sebagainya.

Namun semenjak peristiwa yang dinamakan sebagai G 30S PKI, narasi-narasi besar itu mulai dikesampingkan bahkan dilarang. Rakyat Indonesia seakan-akan memeliki ‘self-cencored’ terhadap hal-hal yang berbau sosialisme dan komunisme akibat trauma sejarah. Mereka digiring terhadap pemahaman bahwa ideologi sosialisme dan komunisme adalah paham yang haram untuk dipelajari di negeri ini. Jadi sangatlah pantas kalau paradigma yang terekam bangsa ini, terutama para penguasa, hanyalah paham kapitalisme.

Padahal, jelas-jelas konstitusi yang telah dihasilkan oleh founding father kita yang termaktub dalam pasal 33 UUD 1945 sebagai berikut:

1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan.

2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.

3. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Penjelasan pasal 33 menyebutkan bahwa “dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua dibawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang”. Selanjutnya dikatakan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Berdasarkan data yang disampaikan oleh pengamat ekonomi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Drs Revrisond Baswir MBA, bisa dilihat keberpihakan penguasa terhadap pihak asing dalam perusahaan perkebunan negara. Pada tahun 1957 dimana Bung Karno telah melakukan nasionalisasi terhadap seluruh kepemilikan perusahaan perkebunan dari Hindia Belanda.

Pada tahun 1989 di Era Soeharto kepemilikan perusahaan perkebunan negara masih 90%, meskipun melalui bantuan World Bank. Sementara pada tahun 1995 kepemilikan perusahaan perkebunan negara menurun menjadi 20%, sedangkan 42,5% adalah kepemilikan asing. Dan sangatlah ironis, pada tahun 2007 ini kepemilikan perusahaan perkebunan negara menurun secara drastis menjadi 7 – 8%

Kemudian kekuatan kapitalisme itu juga tergambarkan dari politik anggaran di negeri ini. Sebagai perbandingan, pada PELITA II Era Orde Baru, terlepas dari pelanggaran para oknum, alokasi untuk Belanja Pembangunan besarnya lebih dari 50% total APBN. Sementara APBN saat ini untuk Belanja Pembangunan dialokasi hanya sebesar 5 – 6 %. Bisa terlihat keberpihak negara terhadap rakyat.

Pada kondisi diatas apa yang terjadi di negeri ini? Keberpihakan apa yang dilakukan oleh para pengelola negara untuk kesejahteraan rakyatnya?

Globalisasi = Kapitalisme = Imperialisme

Ketika Adam Smith menghadirkan bukunya The Wealth of Nations mulailah paham kapitalisme diterapkan di dunia barat. Teori-teori Smith yang menggambarkan trend sejarah menjauh dari merkantilisme, menuju perdagangan-bebas, yang telah berkembang selama beberapa dekade, dan telah memiliki pengaruh yang nyata dalam kebijakan pemerintah negara-negara barat. Dan pada perkembangannya globalisasi adalah kapitalisme yang selalu dikomodifikasi dengan perkembangan masa kini. Dengan idiomnya ‘percaya pada pasar, jauhi campur tangan negara.’

Prinsip dari globalisasi adalah ‘siapa dapat apa’. Dengan mengeluarkan segala cara, penganut paham globalisasi merasa berhak untuk mendapatkan apa saja. Dus, hal tersebut berakibat pada kerusakan alam. Sehingga tampak terlihat sama dan sebangun antara globalisasi, kapitalisme, dan imperialisme.

Dalam kondisi di Indonesia saat ini, benar-benar terlihat globalisasi adalah pengejawantahan dari kapitalisme. Ketika mulai diberlakukannya perdagangan bebas Cina dan ASEAN (CAFTA), pemerintah benar-benar melepas industri lokal untuk bertarung dengan industri-industri negara maju tanpa adanya regulasi yang mampu melindunginya. Akibatnya, beberapa industri lokal rontok satu persatu atau diambil alih kepemilikannya. Dan sebagai pelajaran untuk evaluasi atas diberlakukannya perdagangan bebas, bisa dilihat neraca perdagangan secara umum pada periode 2008-2009 mengalami defisit.

Belum lagi berdasarkan data yang disampaikan Salamuddin Daeng dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, ketika para pihak asing yang berupaya mengoptimalkan keuntungannya, mereka mencoba menyusup dalam hukum nasional. Bisa dilihat Preambule WTO yang berhasil masuk ke dalam UU No. 25 Tahun 2005 tentang Penanaman Modal, dimana pihak asing dibenarkan untuk kepemilikan saham lebih dari 50%.

Kemudian penyelundupan pasal FCTC (Framework Convention on Tobacco Control) ke dalam UU Kesehatan dan beberapa peraturan daerah. Dan adanya pembiayaan amandemen UUD 1945 dan pembuatan beberapa UU berasal dari pinjaman Bank Dunia dan IMF.

Pada kondisi diatas yang terlihat sesungguhnya mencerminkan absennya negara. Padahal adalah menjadi tugas negara untuk menjaga kepentingan nasional untuk melindungi dan mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya dalam menghadapi persaingan dengan negara lain. Benar apa yang dikatakan Nugroho Dewanto, Jurnalis Majalah Tempo, “Absennya negara membuat globalisasi terasa tidak adil dan kejam.”

Dan reformasi benar-benar berhasil membawa republik ini menjadi negara kapitalis….

* Merupakan ulasan dari seminar ‘Meliputi Globalisasi” yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) pada tanggal 16 Juni 2011.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com