Regime Change: Dalih AS Untuk Tetap Menguasai Kedaulatan Nicaragua

Bagikan artikel ini

Regime Change atau pergantian kekuasaan, boleh jadi merupakan istilah yang berkonotasi positif buat kalangan pro demokrasi. Namun ketika Washington mengumandarngkan frase kata tersebut dalam kasus Nicaragua, sejatinya mengisyaratkan niat AS untuk tetap mengatur dan mendikte negara di kawasan Amerika Tengah tersebut. Hal itu terlihat ketika melalui agen-agen proksinya, AS berusaha mempengaruhi hasil perhitungan suara pemilu yang cenderung mendukung pihak oposisi.

Margaret Kimberley dalam sebuah artikelnya yang bertajuk:

 

US Threatens  regime Change in Nicaragua 

 

Cerita tentang campurtangan, invasi militer, dan kudeta yang melibatkan pemerintah AS dari belakang layar maupun secara terbuka, bisa ditelisik 150 tahun yang lalu. Yang pada intinya, Washington berupaya agar pemerintahan yang berkuasa di Nicaragua, merupakan pemerintahan boneka AS.

Saat jelang berlangsungnya pemilu di Nicaragua, Presiden AS Joe Biden sudah menyatatakan telah terjadi kecurangan. Ini jelas mengherankan ketika pemilunya itu sendiri belum berlangsung. Lebih menakjubkan lagi, Biden berupaya menggalang dukungan Amerika Latin (OAS) untuk menolak hasil pemilu Nicaragua. Beberapa korporasi Media juga mengumandangkan berita-berita sumir bahwa pemerintahan petahana bersifat otoriter, sehingga mengundang kecurigaan bahwa korporasi-korporasi media tersebut menjadi corong dari sikap kementerian luar negeri AS.

Lebih benderang lagi ketika kongres yang bermarkas di Capitol Hill mengeluarkan sebuah undang-undang bernama   the RENACER, sebuah skenario pergantian rejim yang memberlakukan sanksi terhadap Nicaragua jika jika hasil pemilu tidak akan memenangkan kelompok oposisi. Bagi AS, sanksi ekonomi yang berakibat buruk bagi masyarakat Nicaragua, selalu jadi modus operandi untuk melumpuhkan pemerintahan yang dipandang sebagai musuh AS. Sebagai skema perang, sanksi ekonomi oleh Washington dipandang sama dahsyatnya dengan serangan oleh pasukan marinir AS.

Sekadar catatan kilas balik. AS pernah menginvasi dan menduduki Nicaragua pada 1912 hingga 1933. Namun itu bukan kali pertama AS bertindak serupa. Pada 1856, seorang warga negara AS William Walker memimpin serbuan ke Nicaragua dengan dukungan dari pasukan militer bayaran. Lantas kemudian menyatakan dirinya sebagai presiden.

Pada 1912, adalah pasukan marinir AS yang menginvasi Nicaragua hingga 1933. Namun berbagai kelompok di Nicaragua bukannya tidak melancarkan perlawanan. Salah satunya adalah  Augusto Cèsar Sandino, yang memimpin perang gerilya melawan pasukan pendudukan AS. Namun akhirnya Cesar Sandino dihukum mati atas perintah dari Anastasio Somoza. Pemimpin Nicaragua yang berkuasa hingga 1979, dan sepenuhnya dalam perlindungan dan kendali pemerintah AS.

Begitupun, tak selamanya mereka menang. Pada 1980, rejim Somoza tumbang dan beralih ke tangan kaum Sandinista, yang mengambil dari nama salah satu tokoh sentralnya, Sandino. Keberhasilan Sandinista mengalahkan rejim Somoza yang boneka AS itu melalui hasil pemilu, sempat bikin gusar Presiden Ronald Reagan. Sehingga dengan tak ayal, kelompok Contras yang dibina oleh Washington, diberi dana bantuan jutaan dolar AS, bahkan dibantu mendapatkan sumber-sumber pendanaannya melalui penjualan Narkoba di AS.

Satu lagi cerita yang menyingkap campur-tangan AS yang tiada habis-habisnya dalam mengatur arah politik dan kebijakan nasional Nicaragua. Ketika Daniel Ortega, Presiden Nicaragua dari kelompok Sandinista kembali memenangi pemilu pada November 2001, Washington sekali lagi menyatakan perang terhadap Nicaragua.

Fakta bahwa the Renacer Act berhasil lolos jadi undang-undang di Kongres dengan dukungan suara 337 berbanding 35, membuktikan bahwa dalam hal arah kebijakan luar negeri AS, partai republik dan partai demokrast sejatinya punya sikap yang sama.

Nampaknya Monroe Doctrine pada abad ke-19 masih hidup hingga kini, dan membayang-bayangi Nicaragua, yang oleh AS dipandang sebagai ‘halaman belakang” yang harus tetap dalam kendalinya sebagai negara adikuasa. Padahal, Nicaragua yang saat ini berjumlah penduduk 6,5 juta jiwa, jauh lebih kecil dibandingkan kota New York.

Seperti halnya Nicaragua, Granada, Venezuela dan Haiti, juga menjadi target AS untuk tetap berada dalam orbit pengaruh kekuasaannya. Maka upaya AS untuk menghancurkan demokrasi harus dilawan. Sikap untuk melawan imperialisme harus ditegakkan tanpa kompromi.

Hendrajit, pengkaji geopolitik, Global Future  Institute.

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com