Rencana Donald Trump Merelokasi Warga Palestina di Gaza, Menyingkap Konspirasi Global AS-Israel di Timur-Tengah Sejak 1948

Bagikan artikel ini

Pada akhir Januari 2025 lalu beredar Surat Terbuka Kepada Presiden AS Donald Trump yang menyuarakan jeritan warga Palestina di Gaza, ihwal adanya rencana pemerintah AS untuk merelokasi penduduk Palestina di Gaza ke negara-negara Arab tetangga, sebagai bentuk ketidakpeduliaan terhadap keadilan dan kemanusiaan. Maka tak heran jika kebijakan Presiden Trump tersebut ditentang keras oleh rakyat Mesir, Yordania, dan tentu saja Palestina.

Baca: Open letter to Trump: Gaza belongs to Palestinians

Mengingat fakta sejarah bahwa Gaza merupakan milik rakyat Palestina, maka setiap upaya untuk mencabut akar budaya rakyat Palestina dari Gaza sama sekali tidak  bisa diterima.

Selain melanggar hukum internasional, rencana Presiden Trump untuk merelokasi warga Palestina dari Gaza, juga melanggar peraturan-peraturan hukum yang ditetapkan oleh Mahkamah International (International Court of Justice), dan Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Yang secara tegas menganfirmasi hak-hak rakyat Palestina untuk memperoleh seluruh wilayah Palestina yang dikolonisasi oleh Israel sejak tahun 1948.

Maka itu, mengerti dan memahami konteks sejarah sangatlah penting. Jika tidak, seperti disampaikan dalam surat terbuka tersebut, maka masyarakat dunia internasional tidak akan memahami betapa mengakarnya keterhubungan rakyat Palestina terhadap wilayah-wilayah yang saat ini diduduki Israel.

Maka itu menarik menyimak buku hasil wawancara dengan Noam Chomsky dan Ilan Pappe, On Palestine. Untuk penyelesaian masalah Palestina harus menelaah kembali apa yang telah menimpa warga Palestina tahun 1948 dan setelahnya sebagai kejahatan, alih-alih sekedar tragedi atau bencana. Apa yang terjadi pada rakyat Palestina pada 1948 sejatinya dibingkai oleh Paradigma Pembersihan Etnis.

Dengan itu, akan tersingkap hubungan antara ideologi Zionis dengan kebijakan gerakan di masa lalu dan kebijakan Israel saat ini. Keduanya bertujuan mendirikan negara Yahudi dengan mengambil alih sebanyak mungkin wilayah Palestina histrois dan menyisakan sedikit mungkin orang Palestina di dalamnya. Israel dalam tujuan strategisnya, berupaya mengubah Palestina yang beretnis campuran menjadi ruang beretnis tunggal berbasis penduduku mayoritas Yahudi. Inilah yang menjadi inti konflik yang telah berkecamuk sejak 1882 sampai sekarang.

Adapun metode pembersihan etnis yang paling disukai adalah pengusiran dan pemindahan, tetapi dalam kasus Israel tidak selalu mungkin dilakukan. Maka alternatif yang Israel lakukan adalah: Tidak mengizinkan orang-orang Palestina bergerak. Berarti, mengurung orang di desa dan kota serta melarang ekspansi spasial habitat manusia menjadi ciri khas pembersihan etnis Israel setelah tahun 1948. Hal ini masih diterapkan hari ini secara sangat efektif. Dengan demikian, Noam Chomsky dan Ilan Pappe sepakat bahwa misi dasar Zionis Israel adalah kontrol langsung atau tidak langsung atas seluruh Palestina. Setiap konsesi taktis atas ruang ini hanya dipengaruhi pertimbangan demografis, bukannya atas dasar itikad baik menciptakan perdamaian dan rekonsiliasi yang adil dan setara antara Yahudi dan Arab Palestina.

Menyikapi skema tersebut, Amerika Serikat dan negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa, sepenuhnya mendukung Israel. Dan mengabaikan inti masalah sesungguhnya adalah kolonisasi dan aneksasi terhadap wilayah-wilayah Palestina.

Maka itu, konsep Dekonolonisasi Palestina harus jadi Paradigma Penyelesaian Konflik Arab Palestina-Israel. Dengan itu, berarti Perjanjian Camp David dan Perjanjian Oslo, sejatinya hanya “Dialog Palsu” dengan berkedok koeksistensi Damai Arab Palestina-Israel.

Di sinilah perspektif dalam memandang krisis Arab Palestina-Israel harus atas dasar paradigma Dekolonisasi Palestina. Betapa tidak. Yang namanya Pembagian suatu negara menjadi dua atau tiga bagian, haruslah atas dasar semangat penegakan perdamaian dan rekonsiliasi. Namun dalam kasus Palestina, pembagian dalam sejarah Palestina pada 1948 tersebut sejatinya merupakan tindakan penghancuran yang dilakukan dalam kerangka ‘rencana perdamaian PBB.

Tragisnya, pembagian wilayah  Palestina yang tidak adil dan didasari paradigma kolonialisme dan imperialisme AS dan Barat, sama sekali tidak mengundang reaksi atau kecaman internasional. Dengan itu, maka istilah-istilah dalam kamus internasional seperti pembagian wilayah dalam konteks Palestina, sejatinya adalah newspeak, meminjam istilah novelis Inggris George Orwell, yang artinya realitas palsu.

Dengan demikian bisalah kita katakan bahwa dalam skema pembagian wilayah Palestina pada 1947-1948 itu, dunia internasional yang dimotori oleh Inggris dan AS, turut terlibat dalam kejahatan dan penghancuran Israel terhadap warga Palestina. Ironisnya, siapa yang dipandang menentang pembagian wilayah Palestina, berarti merupakan musuh perdamaian.

Masalah krusial dalam Penyelesaian Palestina-Israel haruslah bertumpu pada: Dekolonisasi, Penghapusan Apartheid ala Afrika Selatan di Isral yang bertumpu pada etnis tunggal berbasis penduduk mayoritas Yahudi (Yahudinisasi Israel),dan Solusi Satu Negara Palestina.

Hendrajit, Ppengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com