Ketika di tengah Covid-19 melanda negeri justru ada beberapa daerah dan/atau kota membangkang terhadap (kebijakan) pusat, di sini — geopolitik mengendus kuat bahwa model otonomi daerah (otda) di negara kesatuan, selain dinilai banci, ia juga dianggap implementasi devide et impera yang dilekatkan pada sistem konstitusi kita. Siapa yang sesungguhnya bermain?
Terdapat asumsi. Meski era kolonialisme klasik dengan kekuatan senjata/militer telah tergelincir ke masa lalu, tetapi devide et impera sebagai strategi kolonial masih terus dijalankan secara masive namun silent guna menghancurkan setiap upaya apapun yang bertujuan merajut kesatuan dan persatuan bangsa. Dengan kata lain, meski situasi dan kondisi dunia sudah berubah, berubah dan akan terus berubah sesuai kemajuan zaman dan iptek, tetapi yang abadi justru devide et impera dengan kemasan baru, dengan wajah lebih modern dan canggih.
Ya, selain politik pecah belah semodel otda di atas, contoh kecil lainnya bahwa seusai Pilpres 2019 meski tidak lagi marak istilah cebong dan kampret di publik —ini ilustrasi kecil— namun mereka bermutasi ke istilah lain: Kadrun dan Bacin. Mengapa? Bahwa keterbelahan sosial dan kegaduhan politik akan tetap dilestarikan serta menjadi proyek sepanjang masa di negeri ini. Itu hidden agenda kaum kolonialis agar anak bangsa tidak memiliki hal paling mendasar (persatuan dan kesatuan) dalam berbangsa dan bernegara.
Dan hari ini, sepertinya bangsa ini masih larut dalam irama gendang (geostrategi) asing bermodus gaduh saling mencaci sesama anak bangsa atas nama multi partai, misalnya, atau otda yang pada even tertentu membuka “caci maki” bupati kepada para menteri, penolakan kades terhadap kebijakan gubernur, atau perlawanan daerah kepada pusat dan seterusnya.
Seandainya kelak terjadi perubahan sistem politik akibat pagebluk (Covid-19), kiranya perlu dirumuskan ulang agar model multipartai dikembalikan ke tiga dan/atau dua partai saja, atau model otda —desentralisasi— diputar balik ke sentralisasi lagi supaya tidak marak si raja-raja kecil.
Membiarkan politik pecah belah terus melekat —tanpa disadari— pada sistem konstitusi, maka ibarat badai dalam secangkir kopi, terlihat mewah dan gaduh di permukaan namun tidak menyentuh sama sekali pada Kepentingan Nasional RI.
Demikianlah adanya, demikian sebaiknya.
M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)