Derek Manangka, Wartawan Senior
Sewaktu mengetahui terdapat cukup banyak atau ada sejumlah WNI yang bermukim di Israel, saya agak terkejut. Karena anggapan saya, tidak mungkin ada WNI diizinkan Israel menetap di negaranya. Berhubung dua negara tidak punya hubungan diplomatik – maka otomatis tidak akan ada warga negara Indonesia yang bisa mendapatkan visa sebagai penduduk tetap.
Jangankan visa sebagai penduduk tetap, untuk visa kunjungan saja, relatif sulit. Visa kunjungan itu pun biasanya berbentuk selembar kertas yang terpisah dari paspor.
Malahan, hingga akhir 1980-an, paspor Indonesia masih ada catatan “berlaku untuk semua negara kecuali Israel”.
Semakin terkejut karena mereka yang tinggal di Israel adalah para ibu rumah tangga dan anak-anak yang masih berusia di bawah 10 tahun.
Juga mengejutkan karena mereka tidak disertai oleh para suami. Mereka di sana, hanya “dititipkan”, karena para suami bertugas atau bekerja di negara tetangga Israel.
Para suami rata-rata bekerja di lembaga internasional atau perusahaan-perusahaan multi nasional di kawasan Timur Tengah. Bahkan ada yang ada yang berada di Afrita Utara. Yang penting negara tempat para suami itu bekerja, memiliki hubungan diplomatik dengan Israel.
Pertimbangan para suami, menitipkan keluarga mereka di Israel, karena situasi keamanan di negara itu relatif stabil. Kalaupun di media-media internasional seperti CNN sering diberitakan tentang konflik bersenjata antara Israel dengan Palestina atau kelompok Hisbullah di Lebanon Selatan, tetapi di pusat Israel sendiri relatif aman.
Ketika mengunjungi kediaman warga Indoensia itu, tentu saja difasilitasi oleh pemerintah Israel sebagai pihak yang merekomendasi kunjungan kami di negara itu, kesan yang saya tangkap adalah para keluarga WNI tersebut hidup tenang. Tidak merasa hidup di “negara musuh”.
Tak ada kesan mereka hidup dalam tekanan atau dibayangi-bayangi oleh warga lokal yang tidak bersahabat.
Sehingga saya menarik kesimpulan sementara, selama ini kita di Indonesia selalu melihat Israel sebagai “negara musuh” atau negara yang memusuhi Indonesia. Kita melihat hubungan antar negara itu dalam perspektif yang sempit dan serba kaku.
Sikap kita yang memusuhi Israel, boleh jadi tidak banyak diketahui oleh rakyat Israel sendiri. Bisa jadi, hanya kita yang menganggap Israel sebagai “musuh abadi”. Sementara rakyat Israel mungkin tidak pernah memperhitungkan Indonesia sebagai “musuh”.
Bisa jadi juga pemerintah Israel tidak pernah mewacanakan kepada warganya tentang “permusuhan” kedua negara.
Atau boleh jadi juga karena negara itu tidak begitu diperhitungkan oleh para pemimpin Israel sebagai salah satu kekuatan dunia.
Ketika berkunjunga ke Yerusalem tua, tempat dimana tiga agama Islam, Yahudi dan Kristen memilih rumah ibadah masing-masing dan berada dalam satu kompleks, saya juga agak terheran-heran.
Kalau boleh digambarkan dalam cara sederhana, posisi rumah-rumah ibadah itu, kurang lebih sebagai berikut. Mesjid Al-Aqsa berada di sebelah kanan. Di tengah berdiri Sinagog atau Tembok Ratapan dan di sebelah kiri, bukit Golgota, dimana di sana dibangun gereja sebaga simbol bahwa di situlah Yesus Kristus disalib.
Kehidupan di sekitar itu tenang. Sekalipun di hampir setiap sudut terdapat tentara Israel bersenjata lengkap berjaga-jaga, terus pasang mata dan telinga. Biarpun ada penjaga bersenjata, tetapi tidak ada kesan sama sekali bahwa kawasan itu merupakan daerah rawan konflik. Kawasan itu menjadi salah satu obyek wisata tersohor di Israel. Kehidupan yang rukun antar umat beragama, terpancar jelas dari tempat itu.
Penduduk Israel yang beragama Islam sekitar 17%. Islam Israel inilah yang menjaga mesjid Al-Aqsa, tempat beribadah umat Islam sekaligus sebagai salah satu situs tertua di dunia.
Saking kagumnya pada kubah mesjid Al-Aqsa, saya coba mendekat ke pekarangan rumah ibadah muslim itu. Tapi karena pengaruh “peraturan tak tertulis atau budaya” di Indonesia dimana yang beragama Kristen diharamkan masuk ke dalam mesjid, maka sebagai pemeluk Nasrani, saya pun menerapkan sendiri larangan tak tertulis itu di tanah Israel,
Saya berusaha untuk tidak melewati batas atau apa yang saya anggap sudah bagian dari wilayah tersakral dari sebuah mesjid.
Seorang pengunjung yang saya yakin dia muslim Israel – yang melihat saya ragu-ragu unuk melangkah masuk, terus mengajak saya masuk ke dalam. Tapi tetap saja saya berdiri di luar sambil memberi bahasa isyarat : “terima kasih”.
Pola pikir yang menggunakan konsep Indonesiana, saya terapkan di Israel. Saya tak mau timbul masalah. Sebab tujuan utama saya ke kawasan itu adalah Bukit Golgota. Tempat Yesus Kristus disalib.
Kunjungan ke Al-Aqsa tak terhindarkan atau sayang dilewatkan, karena letaknya masih dalam satu “compound” dengan Bukit Golgota.
Dari Mesjid Al-Aqsa – wilayah Islam, saya bergeser ke wilayah Yahudi, yakni Tembok Ratapan.
Saya sangat tertarik menyaksikan cara para pemeluk agama Yahudi yang beribadah di situ. Mereka tidak merasa terganggu oleh banyaknya pengunjung atau turis yang menyaksikan mereka sedang beribadah. Ibadah orang Yahudi malahan menjadi sebuah atraksi, tontonan menarik bagi pengunjung (asing).
Para pengunjung seperti saya, seperti orang kagetan, merasa aneh melihat cara pemeluk Yahudi beribadah atau memuji sang Maha Pencipta. Dan saya perhatikan, warga Israel yang berada di tempat suci itu, sadar bahwa orang asing seperti saya, melihat cara warga Yahudi beribadah merupakan sesuatu yang baru atau lain dari yang lain.
Kecuai di Israel, di mana-mana di dunia ini, warga Yahudi merupakan kaum minoritas.
Di beberapa negara, mereka bahkan “menyembunyikan” tempat mereka beribadah. Membuat masyarakat luas hampir tidak mengenal bagaimana tata cara warga Yahudi beribadah.
Ada yang terlihat sedang menangis dan caranya seperti seorang anak yang minta dimaafkan oleh orangtuanya.
Ada yang mengepal-ngepalkan kedua telapak tangan mereka ke tembok raksasa itu. Itulah mungkin alasannya, mengapa tempat beribadah kaum Yahudi di Yerusalem itu, disebut “Tembok Ratapan”.
Petualangan itu, saya akhiri di Bukit Golgota. Ada sesuatu yang bergejolak dalam diri saya. Sebab ketika belajar katekisasi di SMP Kristen, Manado, ceritera tentang Bukit Golgota sangat populer. Saat itu yang saya bayangkan Bukit Golgota tak ubahnya dengan sebuah tempat lain di pinggir surga.
Kini saya berada di tepian surga. Diorama penyalipan Yesus Kristus dan lobang yang menjadi kuburanNYA, berada di depan mata. Ceritera yang dulu hanya saya dengar dari guru agama, kini saya saksikan sendir. Dan saya yakin, ketika guru agama menceritakan Yesus dan Golgota, sekitar 50 tahun lalu kepada saya dan muridnya, diapun belum pernah menginjakkannya kakinya seperti yang saya lakukan. Dan maaf, saya yakim guru agama itu terpaksa berhayal.
Yang mengejutkan, Bukit Golgota itu, tidak lagi terlihat seperti sebuah bukit. Karena di sekitarnya sudah berdiri banyak bangunan. Bahkan jalan yang menuju ke sana – Via De Lorosa, merupakan jalan setapak yang di kiri kanannya bediri bangunan-bangunan dengan arsitek kuno. .
Yang cukup menarik, sepanjang Via De Lorosa itu, terdapat kios-kios yang menjual ornamen Kristen, Islam dan Yahudi. Dan para penualnya, konon rata-rata orang Palestina yang selalu mengaku bukan bangsa Israel. Mereka menyebut identitas mereka sebagai orang Filistin.
Para penjual ornamen itu, terdiri dari warga Israel yang berbeda agama atau keyakinan mereka. Tapi yang mereka jual tidak terbatas pada ornamen satu agama.
Penjual beragama Islam bisa menjual ornamen Kristen dan Yahudi. Demikian seterusnya.
Di luar tiga situs tempat suci tiga agama di dunia itu, terdapat sejumlah warga Israel yang mengaku sebagai orang Filistin atau Palestina.
Di tempat-tempat tertentu di Yerusalem, mereka suka berorasi. Bahwa mereka merupakan pemegang hak utama atas tanah yang kini dikleim sebagai wilayah Israel. Seluruh wilayah yang kini berdiri negara Israel, mereka kleim sebagai milik bangsa Palesrtina atau Filistin.
“Ini tanah nenek moyang bangsa Filistin”, begitu mereka berorasi. Ada yang berbahasa Inggeris tapi ada juga yang dalam bahasa Ibrani, bahasa resmi negara Israel.
Tidak ada kesan orasi-orasi bangsa Filistin itu, sekalipun menohok Israel lantas membuat otoritas Israel marah atau tersinggung. Orasi itu juga tidak dianggap mengganggu ketertiban umum.
Mungkin saja pemerintah Isarel menganggap, warga Filistin yang berorasi itu merupakan warga negara Israel. Dan orasi itu merupakan hak azasi dari setiap warganya.
Warga Palestina, tidak hanya hidup di Isarel. Namun sudah berdiaspora di hamoir semua negara Arab di Timur Tengah. Di Yordania, tetangga terdekat Israel juga banyak pengungsi Palestina.
Israel dan Yordania terlibat perang pada tahun 1960-an. Israel berhasil merebut kawasan Yerusalem tua. Sejak itu hingga sekarang – 2015, kawasan itu menjadi milik Israel.
Perang yang menyebabkan Yordania kehilangan Yerusalem, tidak membuat kedua negara tak punyan hubungan. Kedua negara jusru bersahabat baik dibuktikan dengan adanya hubungan diplomatik dan Kedutaan Besar di ibukota negara masing-masing.
Bagi pesiarah Indonesia yang ingin ke Israel, bisa masuk ke negara Yahudi itu melalui Yordania. Untuk ke Yerusalem, bisa dijangkau dengan menyeberangi sebuah jembatan yang menghubungkan kota itu denga salah satu kota Yordania.
Kalau mau sedikit berkeringat atau mengeluarkan energi barang sedikit, perjalanan dari Yordania ke Israel (Yerusallem) dapat dilakukan dengan berjalan kaki.
Selain temuan-temuan di atas, saya juga terkejut ketika diajak makan malam di restoran Indonesia. Sebab di restoran bernama “Nusantara” ini tidak sekedar menggunakan nama Indonesia (Nusantara), tetapi benar-benar merepresentasikan Indonesia melalui kuliner.
Semua menunya terdiri dari makanan khas Indonesia. Kokinya pun warga negara Indonesia (asli) yang berasal dari Palembang.
Sementara pemiliknya orang Belanda keturunan Yahudi yang biasa mondar-mandir Jakarta – Amsterdam. Si Yahudi Belanda ini mengenal kuliner Indonesia, karena orangtuanya pernah menatap lama di Bandung. *****
( B E R S A M B U N G )