Pendahuluan
Sebagaimana sudah diprediksi oleh kami dari Global Future Institute (GFI), eskalasi konflik di Semenanjung Korea antara Korea Utara dengan Korea Selatan semakin memanas dari waktu ke waktu. Merujuk pada serangkaian artikel yang kami tulis sebelumnya terkait krisis Korea, faktor pemantiknya antara lain adalah terkait Program Nuklir dan uji coba rudal balistik antar benua yang dilakukan oleh Korea Utara (Korut).
Manuver Korut tersebut pada perkembangannya telah mendorong Amerika Serikat untuk mendukung program nuklir dan rudal balistik antar benua (ICBM) terhadap Korea Selatan, sekutu strategis Paman Sam sejak berakhirnya Perang Dunia II. Namun, mengingat semakin meningkatnya eskalasi persaingan global Amerika Serikat versus Republik Rakyat Cina (RRC) di kawasan Asia Pasifik, maka rencana AS untuk mengembangkan ICBM di Korea Selatan, dikhawatirkan bakal menciptakan instabilitas politik dan keamanan di Semenanjanung Korea. Karena pastinya akan memancing Cina untuk meningkatkan postur pertahanan dan militernya di Semenanjung Korea.
Apalagi ICBM pastinya amat mengkhawatirkan bukan saja bagi Amerika Serikat melainkan juga Cina. Adapun ICBM merupakan rudal jarak jauh yang dapat menghantam sasaran antarbenua. Rudal ini diluncurkan dengan kekuatan peluncuran roket sendiri untuk diterbangkan jarak jauh dan dengan seketika kekuatan peluncurannya dihentikan. ICBM dapat berfungsi sebagai bom dahsyat dengan posisi lintasan peluru. Ada juga rudal penjelajah, yakni peluru kendali yang dikontrol oleh kekuatan roket peluncur secara keseluruhan dari tahap peluncuran sampai tahap pemboman.
ICBM dikembangkan oleh Uni Soviet pada tahun 1957 untuk bersaing dengan Amerika Serikat. Teknologi pembuatan ICBM dewasa ini mampu meluncurkan rudal dalam jarak 10 ribu kilometer dengan penggunaan bahan bakar padat efisiensi tinggi untuk menghantam sasarannya dengan lebih tepat.
Maka itu, pertemuan Donald Trump dan Xi Jinping di Amerika Serikat minggu ini amat penting, meskipun tidak terlalu menentukan. Sebab setidaknya, pertemuan kepala pemerinthaan kedua negara sangat diwarnai oleh ketegangan sebelumnya terkait uji coba rudal balistik dan program nuklir Korea Utara.
Dan perang urat syaraf nampaknya justru mulai dilancarkan oleh Presiden Trump sendiri. Hanya seminggu sebelum pertemuan Kamis mendatang, Presiden Cina Xi di resor milik Donal Trump, Mar-a Lago, Florida, Presiden Trump melancarkan perang urat syaraf terhadap Cina melalui media massa.
Dalam wawancara dengan Financial Times terbitan 2 April lalu, Trump menyerukan kepada Cina agar menggunakan pengaruhnya untuk bersikap keras terhadap Program Nuklir Korut. Seraya mengancam Cina bahwa jika negeri Tirai Bambu itu tidak bersedia, AS akan melakukan tindakan unilateral alias sepihak. Tidak jelas apa yang dimaksud Trump dengan aksi unilateral itu, tapi besar kemungkinan yang dimaksud adalah aksi militer menyerang Korut.
Bila ini yang terjadi, maka dengan tiada keraguan sedikitpun, berarti AS akan memprovokasi meningkatnya eskalasi konflik bersenjata di Semenanjung Korea, yang pastinya akan mendorong Cina melakukan aksi militer yang sama. Menariknya, di tengah optimisme Trump akan mampu menekan Cina agar menggunakan pengaruhnya terhadap Korut, mantan Menteri Pertahanan AS Ash Carter justru pesimis bahwa Cina akan berhasil dibujuk untuk menggunakan pengaruhnya terhadap Korut.
Pesimisme mantan Menteri Pertahanan Carter nampaknya memang cukup beralasan, apapun alasan yang ada di benaknya. Namun bagi kami dari GFI, masalah krisis Semenanjung Korea, apalagi ketika memusat pada konflik antara Korea Utara versus Korea Selatan, penyelesaian krisis Korea tak mungkin jika hanya melibatkan AS dan Cina.
Asal-Muasal Terbelahnya Korea Pasca Perang Dunia II
Sebab selain Cina, Rusia yang pada waktu menjelang berakhirnya Perang Dunia II lebih dikenal dengan Uni Soviet, juga merupakan aktor negara-bangsa yang patut diperhitungkan. Jka kita menelisik ke belakang khususnya menyusul berakhirnya Perang Dunia II yang ditandai dengan kekalahan Jepang di Asia Pasifik, maka di sinilah muasal meletusnya konflik berkepanjangan di semenanjung Korea. Berakhirnya Perang Dunia II dan kekalahan militer Jepang terhadap Sekutu pada Agustus 1945, maka berakhir pula penjajahan 35 tahun Jepang di bumi Korea.
Namun, mengingat komitmen antara Amerika Serikat, Inggris dan Uni Soviet yang kebetulan menjalin persekutuan strategis menghadapi fasisme Jerman di Eropa dan fasisme Jepang di kawasan Asia Pasifik, maka berakhirnya Perang Dunia II justru membuka babakan baru dari konflik di Semenanjung Korea. Hanya saja kali antar negara-negara pemenang Perang Dunia II. Sebab Korea kemudian menjadi sasaran perebutan pengaruh antara AS versus Uni Soviet. Meskipun pada dasarnya rakyat Korea secepatnya ingin membentuk negara sendiri yang berdaulat menyusul kekalahan Jepang terhadap sekutu dan berakhirnya Perang Dunia II.
Kalau menyimak studi yang dilakukan oleh Frasminggi Kamasa, dalam bukunya Perang Korea, Tragedi Terbelahnya Semenanjung Korea Dalam Perang Yang Belum Selesai (yang menjadi salah satu bahan untuk mengolah tulisan ini), AS maupun Uni Soviet memang punya andil besar terhadap lepasnya Korea dari pendudukan tentara Jepang. Sehingga terkait Hari Pembebasan Korea ada dua versi kisah yang saling bertentangan. Pada satu pihak, 15 Agustus 1945 diperingati sebagai Hari Pembebasan Korea, karena ini bertepatan dengan hari di mana Komandan Jepang mengumumkan kapitulasi pasukannya di Korea. Namun fakta yang sama menunjukkan, bahwa pada tanggal ini, Korea Utara masih belum dibebaskan sepenuhnya dari genggaman Jepang.
Pasukan penerjun payung Uni Soviet dari Tentara ke-25 membebaskan Hamhing dan Pyongyang pada tanggal 24 Agustus 1945. Namun demikian, sudah menjadi keputusan para pimpinan nasional Korea bahwa Hari Pembebasan adalah tanggal 15 Agustus 1945, maka Hari Pembebasan Korea tetap merujuk pada kapitulasi pasukan Jepang di Korea.
Maka pada 15 Agustus 1945, Komandan Tentara Soviet ke-25 kepada Rakyat Korea yang masih belum dibebaskan sepenuhnya dipublikasikan. Secara khusus ia mengumumkan:
“Rakyat Korea! Ingat kebahagiaan terletak di tangan kalian. Kalian menemukan kemerdekaan dan kebebasan, dan sekarang masa depan tergantung pada dirimu sendiri. Tentara Soviet hanya menyediakan berbagai kondisi yang diperlukan untuk kebebasan dan kreativitas tenaga kerja rakyat Korea. Rakyat Korea akan menjadi tuan atas nasibnya sendiri.”
Berdasarkan laporan Komandan Soviet diketahui bahwa Tentara ke-25 berhasil melucuti dan menangkap 11.800 tentara dan perwira Jepang. Namun demikian, melihat gelagat pengaruh Soviet yang cukup besar menyusul keberhasilannya membebaskan Pyongyang dan Hamhung pada 24 Agustus 1945, AS lalu melakukan manuver politik-militer dengan anggapan bahwa Uni Soviet bermaksud menduduki Korea sehingga lebih baik bagi AS untuk melakukan gerakan mendahului. Maka, Letjen John R Hodge, Komandan Korps XXIV di Okinawa yang terdiri dari Divisi Infantri ke-6 dan ke-7 serta ke-40 dengan jumlah total sebesar 72 ribu pasukan, ditugaskan sebagai pasukan pendudukan (Okupasi) Korea. Pasukan ini tiba di Pelabuhan Inchon dan langsung menuju Seoul pada 8 September 1945.
Nampaknya, dari awal AS memang bermaksud menguasai Korea dengan memakai dalih untuk mendahului Soviet. Terbukti setelah menerima penyerahan pasukan Jepang, pasukan AS segera menguasai Korea melalui dibentuknya pemerintahan militer. Dalih yang digunakan Washington dari tujuan kebijakan okupasi militer AS di Korea adalah untuk membendung pengaruh dan perluasan kekuasaan Soviet di Korea.
Namun sejatinya, skema Perwalian Multinasional atas Korea hanya dalih Washington untuk membentuk kebijakan militer yang permanen (tetap) di Korea. Sebagaimana yang dinyatakan oleh John Carter Vincent, Kepala Urusan Timur Jauh Departemen Luar Negeri AS: “Setelah masa penjajahan Jepang, Korea tidak langsung siap untuk mengadakan pemerintahan sendiri. Untuk itu kami (AS) mengusulkan periode perwalian selama rakyat Korea akan dipersiapkan untuk mengambil-alih pemerintahan yang berdikari di Korea.”
Melalui konstruksi cerita ini jelaslah sudah, bahwa konsep perwalian multinasional itu merupakan kebijakan perwalian menurut versi AS. Dalam laporan Departemen Luar Negeri AS yang dikenal dengan SWNCC 101/4 mengenai kebijakan luar negeri AS mengenai perwalian internasional untuk Korea dinyatakan:
“Posisi strategis Korea antara Cina, Uni Soviet dan Jepang, dan instabilitas pemerintah Korea sebelum aneksasi oleh Jepang telah membuatnya menjadi arena persaingan antara Cina, Jepang dan Rusia. Jika tiadak ada kesepakatan yang cepat tercapai di antara empat besar sekutu mengenai bentuk perwalian untuk Korea, maka persaingan untuk menguasai Korea dapat berkembang lagi.”
Melalui arahan kebijakan luar negeri AS sebagaimana tersurat dalam SWNCC 101/4, nampak jelas bahwa konsepsi perwalian multinasional tersebut diarahkan oleh Washington untuk mengamankan kepentingan strategisnya di Korea.
Sebaliknya pihak Soviet, khususnya Tentara ke-25, menyusul keberhasilannya membebaskan beberapa wilayah di Korea Utara, memandang Korea semata-mata sebagai daerah operasi militer. Pada waktu itu aspek politik sama sekali tidak diperhatikan. Apalagi mengenai status Korea di masa depan.
Sehingga meskipun Soviet pun besar kemungkinan juga mempunyai agenda strategis untuk menggunakan kehadirannya militernya untuk memperluas pengaruh kekuasaannya di Korea, namun disebabkan adanya manuver preemptive AS melalui kebijakan okupasi militer di Korea, maka manuver Soviet di Korea Utara pada perkembangannya kemudian, dilakukan atas dasar pertimbangan untuk membangun strategi perimbangan kekuatan di Semenanjung Korea.
Dan boneka AS untuk mengendalikan arah politik di Korea Selatan nampaknya siap dimunculkan. Yaitu Dr Sygman Rhee, yang tiba di Korea Selatan pada pertengahan Oktober 1945. Maka pada 24 Oktober 1945, dibentuklah pemerintahan transisi.
Namun beberapa spektrum politik berhaluan nasionalis kerakyatan yang memandang Sygman Rhee sebagai boneka AS, menolak bergabung dalam koalisi partai-partai yang menjadi dasar terbentuknya pemerintahan transisi tersebut. Akibatnya, perpecahan di dalam koalisi partai-partai pendukung pemerintahan transisi pimpinan Sygman Rhee tak terhindarkan.
Singkat cerita, melalui polarisasi yang rumit antar berbagai partai-partai politik, pada perkembangannya kemdian mengerucut antara kekuatan-kekuatan politik yang mengikuti skema AS versus kelompok-kelompok yang pro Soviet. Yang kemudian mengecurut dalam pertarungan antara Park En Hen yang didukung AS versus Kim Ku yang didukung Soviet. Kubu pro AS yang awalnya pro perwalian, belakangan menolak skema perwalian atas arahan baru dari Washington yang memandang skema ini malah menguntungkan Moskow yang diasumsikan bermaksud ekspansionis di Korea.
Maka dengan dalih adanya ancaman ekspansif Soviet ke Korea, maka hal itu kemudian dijadikan alasan pembenaran bagi AS untuk menerapkan konsep penyelesaian masalah Korea secara unilateral(sepihak) dan seminimal mungkin mendapatkan kerugian.
Jelas melalui pergeseran arah kebijakan dari pro Perwalian menjadi anti Perwalian, inkonsistensi Washington sangat diwarnai oleh pertimbangan apakah konsepsi tersebut menguntungkan atau justru merugikan. Begitu konsepsi Perwalian ternyata mengarah terciptanya keseimbangan kekuatan di Semanjung Korea yang tidak memungkinkan AS mencipta Kekuatan Tunggal, konsepsi Perwalian kemudian ditinggalkan dengan alasan terlalu teoritis dan tidak praktis.
Dikarenakan kebijakan unilateral yang diterapkan AS terkait penyelesaian masalah Korea, maka AS maupun Soviet sama-sama bersikeras untuk mempertahankan pendapatnya ihwal siapa wakil demokratis yang layak diajak berunding.
Pada 1950, menyusul jatuhnya RRC ke tangan Mao Zedong dan Partai Komunis Cina, maka sikap AS untuk semakin bercokol di kawasan Asia, termasuk Korea, semakin menguat. Seperti tersurat dalam kebijakan luar negeri AS melalui studi Dewan Keamanan Nasional AS(NSC 48/5):
“Arti penting dan strategis Asia adalah karena Sumberdaya Alam dan Sumberdaya manusianya, geografi, kekuatan politik dan militer yang semakin bertambah, kemampuan militer Cina dan Korea Utara perlu dievaluasi sebagai ancaman dunia bebas. Jika hal ini terjadi rakyat Asia akan jatuh ke dominasi Komunis Soviet.”
Selanjutnya NSC 48/5 menegaskan bahwa Sumbedaya Manusia dan Sumberdaya Alam Asia berkontribusi penting bagi keamanan AS dengan membantu kebutuhan AS akan bahan-bahan mentah yang sangat dibutuhkan dan mereka akan menjadi bantuan yang terpenting di masa perang.
NSC 48/5 juga menekankan bahwa Asia menghasilkan seluruh karet alam di dunia, 5 persen minyak, 60 persen timah, dan bahan-bahan strategis seperti mangan, goni, dan bahan-bahan pembuat atom. Juga ditekankan bahwa Jepang mempunyai prospek dalam bidang industri berat yang secara kasar menyamai 50 persen produksi Soviet masa sekarang.
Maka melalui arahan Dewan Keamanan Nasional AS, penting bagi kepentingan keamanan AS untuk menerapkan program bantuan militer dan ekonomi dengan tujuan memaksimalkan ketersediaan SDM dan SDA Asia bagi AS dan terciptanya dunia bebas.
Frase kalimat “Terciptanya Dunia Bebas” hanya sebagai isyara AS untuk memperkuat pengaruh militernya di Jepang maupun Korea Selatan sebagai Pakta Keamanan Bersama menghadapi apa yang diklaim AS untuk melawan “Dunia Komunis.”
Dengan kata lain, frase “Terciptanya Dunia Bebas” hanya untuk membangun alasan pembenaran menghadapi “Dunia Komunis” yang dalam hal ini berarti Korea Utara dan Soviet di kubu yang secara ektrim diposisikan berada di posisi yang bersebarangan. Inilah esensi sesungguhnya keluarnya NSC 48/5.
Karena gagal mencapai kesepahaman kekuatan-kekuatan politik mana yang dipandang representatif untuk membahas status dan masa depan Korea, maka terbelahnya Korea Selatan berada dalam kendali AS versus Korea Utara yang didukung Soviet, menjadi sesuatu yang tak terelakkan lagi.
Enam Negara Berkepentingan Atas Penyelesaian Krisis Korea
Mempelajari kembali muasal terbelahnya Korea jadi Selatan versus Utara, nampaknya justru bermula antara Amerika Serikat dan Uni Soviet atau yang sekarang kita kenal sebagai Rusia. Baru kemudian ikut serta dalam pusaran konflik adalah Republik Rakyat Cina, dan kemudian Jepang, yang pada perkembangannya kemudian pada pasca Perang Dunia II, menjadi sekutu strategis Amerika Serikat terutama di bidang politik dan keamanan kawasan.
Maka itu, selain Korea Selatan dan Korea Utara yang merupakan pihak langsung yang terlibat dalam konflik pasca Perang Dunia II di Semenanjung Korea, sudah saatnya untuk kembali membuka perundingan damai dalam kerangka Reunifikasi Korea dengan mengikutsertakan Amerika Serikat, Rusia, RRC dan Jepang. Untuk bersama-sama mencari solusi damai yang saling menguntungkan semua pihak.
Dan di atas itu semua, arah dari penyelesaian damai di Semenanjung Korea atas dasar Reunifikasi Korea, haruslah menguntungkan rakyat Korea secara keseluruahan, baik yang berada di Utara maupun yang ada di Selatan.
Tak ada salahnya, pemerintah Indonesia, khususnya melalui Kementerian Luar Negeri, ikut memainkan perang penting dalam memprakarsai penyelesaian damai di Semenanjung Korea. Mungkin Semangat Dasa Sila Bandung yang lahir melalui Konferensi Asia-Afrika Bandung 1955 bisa menghidupkan kembali semangat solidaritas kedua Korea sebagai sesama bangsa di kawasan Asia.
Penulis: Hendrajit, Pengkaji Geopolitik dan Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)