Sektor energi dan minyak-gas (migas) di Indonesia semakin tidak sehat. Nampaknya, korupsi tingkat tinggi sudah semakin berurat-berakar di kementerian ESDM, termasuk di eselon satu. Baru-baru ini, Pelaksana Tugas Menteri ESDM Luhut Panjaitan menyatakan bahwa Kementerian ESDM telah menfinalisasi revisi Peraturan Pemerintah (PP) No 1/2014. Berarti, pemerintah Indonesia telah memberikan hak-hak istimewa kepada dua perusahaan asing yang bergerak di bidang pertambangan: PT Freeport Indonesia dan Newmont Nusatenggara.
Revisi Peraturan Pemerintah (PP) No 1/2014 berisi tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara. Aturan itu semula memberikan relaksasi ekspor konsentrat atau bahan tambang mentah hingga 11 Januari 2017 yang mana dua perusahaan asing mendapat hak istimewa yaitu PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusantenggara. Padahal, Undang-Undang No 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, telah melarang ekspor konsetrat jika belum melalui pabrik pengolahan/Smelter.
Menurut keterangan Luhut pada Selasa 4 Oktober lalu, melalui revisi tersebut telah ditegaskan untuk memperpanjang relaksasi ekspor konsentrat antara tiga sampai lima tahun.
Meskipun Pelaksana Tugas Menteri ESDM Luhut mengingatkan bahwa perusahaan tambang dapat memenuhi kewajibannya melakukan hilirisasi mineral di dalam negeri dengan menyelesaikan pembangunan smelter, namun anggota Komisi III DPR Ahmad M Ali mengingatkan bahwa relaksasi ekspor konsentrat ini merupakan malapetaka bagi iklim investasi di Indonesia.
Bahkan jauh-jauh hari, sebelum adanya rencana revisi PP No 1/2014, Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) telah mengingatkan Kementerian ESDM tidak mengizinkan perusahaan tertentu untuk mengekspor konsentrat yang bisa merusak komitmen hilirisasi industri nasional yang dibangun pemerintah.
Dengan kata lain, tiada lain yang dimaksud dengan mengizinkan perusahaan tertentu mengekspor konsentrat adalah Freeport dan Newmont. Karena itu bisa dibayangkan betapa kecewanya HIPMI ketika nantinya jika menteri ESDM memberikan dispensasi. Sebab hal itu bisa merusak iklim investasi.
Apalagi hal itu sudah diisyaratkan oleh Ketua Badan Pengurus Pusat HIPMI Andhika Anindyaguna pada 14 September lalu. Pemerintah, kata Andhika, diminta agar berhati-hati dalam membuka keran ekspor konsentrat karena menyangkut kepercayaan dan masa depan investasi smelter jangka panjang.
Lebih lanjut menurut Andhika, jangan sampai relaksasi ini menggerus keyakinan investor bagi masa depan investasi smelter di Tanah Air. Pandangan Andhika saya kira sangat masuk akal. Karena selama ini, pemerintah Indonesia hanya memberikan hak-hak istimewa dalam memonopoli penguasaan mineral dan batubara hanya kepada Freeport dan Newmont. Bahkan ketika Pemerintah SBY mengeluarkan PP No 1/2014 sejatinya untuk melumpuhkan pelaksaan dari UU No.4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba) yang melarang ekspor konsetrat jika belum melalui proses di pabrik pengolahan (Smelter).
Waktu itu, PP No 1/2014 dibuat dengan pertimbangan bahwa karena kewajiban membangun smelter dengan tenggat waktu 2014 tidak bisa dipenuhi. Sementara itu, nilai investasi di smelter saat ini sudah cukup besar mencapai Rp 156 triliun atau sekitar 27 proyek smelter.
Menguntungkan Freeport dan Newmont
Sebelum wacana revisi PP No 1/2014 bergulir, publik pasti ingat soal polemik izin perpanjangan ekspor konsentrat PT Freeport Indonesia (FI). Perpanjangan izin konsentrat itu mencuat setelah surat rekomendasi persetujuan ekspor itu bocor ke publik. Surat persetujuan ekspor konsentrat itu telah diberikan Kementerian ESDM kepada Kementerian Perdagangan dan berlaku sejak 9 Agustus 2016 hingga 11 Januari 2017.
Dalam rekomendasi tersebut, PT Freeport Indonesia mendapat kuota ekspor konsentrat tembaga sebanyak 1,4 juta ton, meski masih dikenakan bea keluar 5 persen dari nilai volume konsentrat yang diekspor. Namun dari fakta tersebut secara jelas terungkap adanya hak-hak istimewa yang diberikan kepada pihak Freeport oleh pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementerian ESDM.
Padahal seharusnya, izin ekspor konsentrat kepada PT Freeport Indonesia seharusnya diberikan jika perusahaan asal Amerika Serikat itu menunjukkan kemajuan pencapaian dalam pembangunan fasilitas pemurnian (smelter). Sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM No 5/2016 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan Penjualan Mineral ke Luar Negeri.
Tapi kenyataannya, sampai sekarang, smelter PT Freeport Indonesia belum juga rampung lantaran belum adanya kepastian perpanjangan kontrak perusahaan tambang tersebut di Indonesia yang berakhir 2021.
Terkait dengan hak-hak istimewa Freeport di Indonesia, ada sebuah fakta menarik yang perlu jadi fokus bahasan betapa pemerintah Indonesia sangat mengistimewakan PT Freeport Indonesia, sehingga pada perkembangannya bisa mengundang kecemburuan dari para investor asing lainnya, khususnya bagi para pendatang baru yang berminat investasi di Indonesia melalui prosedur dan mekanisme yang fair dan sehat.
Adapun rekomendasi persetujuan ekspor tersebut ditandatangi oleh Dirjen Minerba Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono atas nama menteri ESDM pada 9 Agustus 2016, ketika Archandra Tahar masih duduk sebagai menteri ESDM.
Isi surat tersebut mengungkapkan, Kementerian ESDM memberikan rekomendasi ekspor hasil tambang ke PT Freeport Indonesia berdasarkan surat bernomor 1146/30/DJB/2016 berisi perihal Rekomendasi Persetujuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan untuk PT Freeport Indonesia.
Surat tersebut ditujukan kepada menteri Perdagangan up dirjen Perdagangan Luar Negeri. Surat rekomendasi tersebut menunjuk permohonan direktur Freeport Indonesia nomor 103453/16.04/VI/2016 tanggal 27 Juni 2016.
Dalam suratnya Bambang Gatot menulis, rekomendasi persetujuan diberikan berdasarkan Peraturan Menteri ESDM No 5/2016. Surat tersebut juga menyebutkan bahwa bertindak sebagai penanggung jawab perusahaan dari PT Freeport Indonesia adalah Robert C Schroeder.
Satu lagi fakta menarik terungkap, Dalam rekomendasi itu, PT Freeport Indonesia mendapat kuota ekspor konsentrat tembaga sebanyak 1,4 juta ton, meski masih dikenakan bea keluar 5 persen dari nilai volume konsentrat yang diekspor.
Selain Freeport, PT Newmont Nusa Tenggara (NTT) ternyata juga telah mendapat rekomendasi perpanjangan izin ekspor konsentrat dengan kuota sebesar 419 ribu ton dari Kementerian ESDM.
Presiden Direktur PT NNT Rachmat Makkasau pada Selasa (24/5) bahkan sempat berkunjung ke kantor Ditjen Minerba Kementerian ESDM untuk bertemu Dirjen Minerba Kementerian ESDM Bambang Gatot Aryono.
Usai bertemu Bambang, Rachmat lalu menyatakan bahwa PT NNT baru saja mendapatkan rekomendasi perpanjangan izin ekspor. Setelah memperoleh rekomendasi, PT NNT lalu mengurus izin ekspor ke Kementerian Perdagangan (Kemendag). Kuota sebesar 419 ribu ton berlaku selama enam bulan hingga akhir November 2016.
Masalah izin ekspor kepada Freeport dan Newmont Nusatenggara ini semakin rumit, ketika perpanjangan izin konsentrat PT Freeport Indonesia dan PT NNT ternyata ada kaitannya juga dengan regulasi yang lain, yakni rencana revisi PP No 77/2014 yang berkaitan dengan aturan tentang perpanjangan kontrak pertambangan.
Seperti diketahui, kontrak PT Freeport Indonesia akan habis pada 2021 sementara kontrak PT NNT berakhir pada 2030. Jika sesuai aturan sekarang, maka aturan pengajuan perpanjangan kontrak, baru bisa dilakukan sebelum dua tahun masa habis kontrak. Berarti, untuk kasus PT Freeport Indonesia dan PT NNT berarti masing-masing baru bisa mengajukan perpanjangan kontrak pada 2019 dan 2028.
Namun demikian, berdasarkan penelusuran tim riset Global Future Institute, PT NNT dikabarkan secara diam-diam sudah mengajukan proposal perpanjangan kontrak kepada Kementerian ESDM.
PT NNT bahkan kabarnya sudah mengajukan permohonan izin operasi kepada Kementerian ESDM untuk terus mengembangkan wilayah tambang Batu Hijau hingga 2038. Namun berdasarkan berita yang dilansir leh eksplorasi.id, pihak PT NNT melalui juru bicaranya, Rubi Purnomo, sempat membantah bahwa pihaknya sudah mengajukan perpanjangan kontak atau operasi usaha.
Maka bisalah kita simpulkan, revisi PP No 1/2014 merupakan bukti nyata bahwa pemerintah Indonesia telah memberi hak-hak istimewa kepada PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusatenggara.
Di mata para investor asing yang bermaksud menjadi pendatang baru untuk investasi di sektor energi dan migas di Indonesia, nampaknya merupakan sebuah berita buruk.
Penulis: Hendrajit, Pengkaji Geopolitik dan Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments