Revolusi Rakyat dan Konspirasi Global: Antara Iran dan Mesir

Bagikan artikel ini

Purkon Hidayat

Bangunlah anak muda, ada cahaya di jendela, aku mendengar seseorang mengetuk pintu, ada suara-suara di jalanan, dan suara kaki berjalan, mereka membisikan kata “Revolusi!”  Petikan lagu Chris De. Burgh

Di saat gelombang bola salju protes di Mesir terus menggelinding kencang, pemimpin oposisi Iran menyebut gerakan rakyat di Negeri Piramida itu sebagai Green Movement. Sejumlah pemimpin oposisi Iran menyamakan gerakan perlawanan Mesir dengan gejolak protes gerakan hijau di Iran pasca pilpres tahun lalu.

Penasehat hukum pemimpin Oposisi Iran, Mirhossein Mousavi, baru-baru ini mengeluarkan statemen yang menyetarakan rezim Mubarak dengan Ahmadinejad. “Rakyat Mesir dan Iran sama-sama melawan rezim diktator!” tegas Ardeshir Amir Arjman, sebagaimana dikutip situs oposisi, Rahesabz.

Lalu, benarkah gerakan perlawanan rakyat Mesir sama seperti gejolak pasca pilpes Iran 2009 lalu sebagaimana diklaim para pemimpin oposisi Iran. Mari kita menengok keduanya.

Gerakan perlawanan rakyat di Mesir diakui atau tidak merupakan efek domino dari revolusi rakyat yang terjadi di negara satu benuanya, Tunisia. Perlawanan rakyat Tunisia menggulingkan Ben Ali telah mengobarkan spirit baru la khowf ba’ad al-yowm, tidak ada lagi rasa takut mulai sekarang!

Betapapun, gerakan masif rakyat Tunisia berhasil membangkitkan rasa percaya diri bangsa-bangsa Arab melawan para penguasanya yang otoriter dan menjadi kaki tangan asing daripada mewujudkan harapan rakyatnya sendiri.
Imbas tsunami politik di Tunisia ini membangunkan tidur panjang bangsa Arab.

Dalam beberapa pekan terakhir, Aljazair menghadapi demonstrasi dan kerusuhan. Sebelumnya ribuan orang berbaris menuntut perbaikan kehidupan ekonomi di Yordania. Tidak ketinggalan rakyat Yaman pun menuntut reformasi. Tapi di luar itu, Mesir adalah negara yang paling membara. Rezim Mubarak kewalahan menghadapi tuntutan rakyatnya.

Berbagai cara dilakukan Mubarak dari perubahan kabinet hingga aksi-aksi represif militer untuk membungkam tuntutan massa. Namun semuanya gagal. Tangan Mubarak berlumuran darah rakyatnya sendiri, demi sebuah ketamakan di ujung usianya yang nyaris dijemput malaikat maut. Ya, syahwat berkuasa memang tidak mengenal rasa cukup, meskipun telah menginjak kepala delapan, Mubarak tetap kekeuh mempertahankan kursi empuknya sebagai presiden.

Tampaknya arogansi berkuasa itu bukan hanya datang dari dirinya sendiri. Mubarak rela melepas Anaknya Gamal Mubarak yang diproyeksikan menggantikan dirinya sebagai Presiden Mesir, beserta keluarga eksodus ke luar negeri demi menyelamatkan diri dari amukan rakyat. Tapi, Hosni Mubarak tetap bercokol di Kairo demi jabatan. Tentu ada yang sangat penting dan sakral di mata Mubarak hingga presiden tua renta yang sering sakit-sakitan ini tetap berkuasa. Mubarak setia mempertahankan komitmen terhadap sekutunya Israel dan Amerika Serikat.

Rezim Kairo begitu yakin bisa menguasai keadaan dan menumpas gerakan rakyat Mesir. Menteri Pertahanan Mohammad Hosein Tantawi mengklaim kondisi masih terkontrol, padahal perlawanan rakyat semakin massif. Dilaporkan puluhan ribu warga terus bergerak memenuhi jalan-jalan di Kairo khususnya di Bundaran Tahrir, bahkan jumlah mereka kian hari semakin membludak.

Tidak hanya itu, Hosni Mubarak diam-diam mengutus Menteri Pertahanan ke Washington. Televisi Aljazeera melaporkan, Tantawi secara diam-diam berkunjung ke Washington untuk sungkem memohon restu dukungan dari Presiden Barack Obama. Tantawi dalam laporannya kepada para pejabat tinggi Washington menegaskan bahwa pemerintah Mesir akan tumbang bila para demonstran tidak disikapi dengan keras.

Optimisme yang sama sempat menguat di kalangan petinggi Tel Aviv ketika gerakan rakyat Tunisia berhasil menumbangkan rezim Ben Ali yang korup. Saat itu, petinggi Israel sempat begitu yakin fenomena di Tunisia tidak akan menimpa Mesir. Rezim Mubarak terlalu kuat untuk ditumbangkan.

Tapi, mereka kecele. Dunia kaget, Barat terperanjat dan Israel resah. Bahkan saking bingungnya Perdana Menteri Israel menginstrusikan kepada para menterinya supaya tidak mengungkapkan statemen mengenai gejolak massa di Mesir.

Tampaknya, terlalu berat bagi tel Aviv berpisah dengan sahabat karib yang telah begitu berjasa bagi Israel. Rezim Mubarak terlampau banyak memberikan konsesi bagi Israel. Betapa tidak, berkat Mubaraklah perundingan damai langsung Palestina-Israel bisa terwujud. Atas jasa Mubarak pulalah Israel mendapat dukungan langsung menyerang Gaza pada perang 22 hari.

Sejatinya, tanpa dukungan Mubarak mustahil Israel menerapkan blokade Gaza yang menyengsarakan sekitar 1,5 juta rakyat Palestina. Di saat tetangganya Palestina kesulitan bahan bakar, pangan dan kebutuhan pokok akibat blokade Israel, Mubarak memerintahkan penutupan seluruh terowongan rahasia yang menghubungkan Mesir dengan Jalur Gaza.

Tidak hanya itu, Mubarak membangun tembok baja untuk mengalangi masuknya warga Gaza ke Mesir, meski hanya untuk memenuhi kebutuhan pokoknya sekalipun. Di bawah kepemimpinan Mubarak, Mesir menjadi penyuplai 40 persen kebutuhan gas Israel, di saat rakyatnya sendiri tidak menikmatinya.

Selama lebih dari tiga dekade, rezim Kairo menjadi pihak yang begitu dekat dengan Israel melebihi seorang mitra dekat sekalipun. Mubarak telah teruji menjadi alat Amerika dan Israel.

“(Mesir) menjadi mitra kerja AS selama 30 tahun, dan telah berperan penting dalam menjaga perdamaian di timur tengah, antara Mesir dan Israel,” kata Menlu Hillary Clinton.

Rezim Zionis memelihara hubungannya dengan Mubarak bahkan hingga kini, demi melanggengkan nasib Israel. Presiden Zionis Israel, Shimon Peres mengatakan, rezim diktator Mubarak lebih baik dari pada terbentuknya sistem demokrasi yang berlandaskan Islam.

Bagimanapun kemiskinan rakyat dan represi rezim serta hipokrasi penguasa dan berbagai keruwetan lainnya terlalu telanjang dipertontonkan di Mesir. Faktor ekonomi dan politik yang berpadu dengan sentimen keagamaan menjadi motor pemantik revolusi rakyat Mesir menumbangkan Mubarak.Mayoritas rakyat Mesir yang didominasi kalangan muda, dari berbagai strata sosial menuntut perubahan signifikan di Negeri Piramida itu.

Green Movement: Reformasi atau Liberalisasi!

Itu yang terjadi di Mesir. Tapi mari kita menengok gejolak perlawanan massa di Iran pasca pilpres 2009 lalu. Betulkah seperti yang dituduhkan kelompok oposisi yang menyamakan gerakan rakyat di Mesir dengan protes gerakan Hijau.
Di dataran sosiologi politik, gerakan hijau didominasi oleh kalangan muda mapan yang tidak menginginkan Republik Islam, sebagaimana adanya saat ini. Di ranah geografi politis, basis massa terbesar gerakan hijau berada di Tehran, terutama di Tehran atas, kawasan kaum mapan Iran.

Di berbagai situs dan jejaring sosial, mereka menumpahkan kekesalan dan kekecewaannya terhadap rezim Tehran. Bagi mereka pemerintahan Islam terlalu mengekang kebebasannya. Tidak sedikit dari mereka menyebut Islam Arab yang diadopsi dalam sistem pemerintahan Iran sebagai penyebab kemunduran Negeri Persia itu.

“Ma Iraniha azadi mikham, hamin, Kami bangsa Iran menuntut kebebasan, titik!” tutur seorang anak muda terdidik lulusan Universitas Teknologi Delft Belanda. Bagi mereka sistem Islamlah yang membuat Iran terkucil di arena internasional.
Gerakan Hijau menyalahkan jatuhnya sanksi internasional atas Iran sebagai kegagalan diplomasi Ahmadinejad yang tidak becus dan terlalu arogan terhadap Barat.

Menurut mereka, Barat seharusnya dirangkul demi kemajuan Iran. Seperti kebanyakan muda-mudi di belahan dunia lain, anak-anak muda Iran ini tentu ingin menikmati liberalisme dalam pengertian yang mereka pahami dengan melepas jilbab, bebas pergi ke diskotik, menikmati American idol, fashion show dan mengejar berbagai artefak modernisme dalam bentuk simbol prestise lainnya.
Tahun lalu harapan gerakan hijau ini tumpah ruah. Mirhossein Mousavi dipandang bisa mewakili suara mereka. Namun kegagalan mantan perdana Menteri Iran di masa perang itu memupuskan harapan mereka yang berbuntut kekecewaan yang membuncah. Kelompok Hijau terlalu optimis menang dan tidak menerima kekalahan kandidat mereka dalam pilpres 2009 lalu.

Sontak berbagai tudingan pun mengalir deras. Dari perolehan suara di Tehran sendiri memang suara Mousavi lebih besar dari Ahmadinejad. Bahkan di sejumlah TPS di Tehran Utara, seperti Shamiranat, Pasdaran hingga Mir Damad suara Mousavi empat kali lipat dari perolehan Ahmadinejad. Tapi mereka lupa, dukungan masyarakat kalangan menengah ke bawah terhadap Ahmadinejad. Doktor teknik sipil ini tetap memenangkan perolehan suara tertinggi di Tehran besar, karena mendapat dukungan suara dari daerah-daerah pinggiran Tehran seperti Varamin, Islamshar, Ray dan Karaj. Di daerah, terutama di desa-desa dukungan suara terhadap Ahmadinejad jauh mengungguli para rivalnya.

Di sisi lain media massa Mainstream memblow up aksi protes jalanan Gerakan Hijau di Iran dan mengemasnya nyaris seperti pemberontakan menggulingkan rezim Tehran yang digambarkan seperti revolusi oranye di Ukraina. Martir gerakan itu mereka jadikan headline dan dibesar-besaran. Tidak ketinggalan, para pejabat tinggi negara-negara Barat terutama Amerika Serikat mengeluarkan statemen yang mendukung para demonstran, bahkan menyalahkan petugas keamanan yang berupaya menindak para perusuh yang membakar bank dan fasilitas sosial di Iran.

Media massa mainstream berhasil membungkus protes segelintir orang Iran menjadi berita seolah-olah terjadi pemberontakan masif rakyat melawan rezim diktator. Tapi aksi protes yang berbuntut kerusuhan ini akhirnya lumpuh, karena tidak mendapat dukungan luas masyarakat, meski mendapat dukungan media massa global dan suntikan dana negara-negara Barat. Beberapa hari setelah aksi protes kelompok hijau, rakyat Iran di berbagai wilayah termasuk ibu kota menggelar demo tandingan menentang Gerakan Hijau anti pemerintah.

Gerakan Hijau di Iran pasca pilpes tidak sama dengan gelombang protes rakyat Mesir yang menuntut tumbangnya Hosni Mobarak. Sejatinya, gelombang bola salju protes di Mesir adalah gerakan reformasi rakyat, namun Green Movement adalah gejolak minoritas warga yang menuntut liberalisasi yang ditunggangi kepentingan asing dan berselingkuh dengan korporasi raksasa dunia untuk melicinkan jalan bagi kapitalisme dan imperialisme di Iran.

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com