M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)
Melanjutkan tulisan sederhana ini, pertanyaan yang timbul ialah: sejak kapan “polisi dunia” sebagai teori yang dikembangkan AS terlihat melemah? Tidak banyak artikel, atau barangkali tidak akan ditemui satu literatur pun sengaja mencatat pelemahan operasional ‘teori polisi dunia’. Tetapi menyimak fakta lapangan, proses kerontokan itu dimulai ketika Paman Sam aktif menjalankan US Military Roadmap(peta jalan perang) yang dinilai sebagai desain global penaklukan dunia —dimana salah satunya menyerbu Iran— tidak tanggung-tanggung, “peta” tersebut terpampang di Pentagon sejak pertengahan 1990-an (Baca: Prof Michel Chossudovsky, Mempersiapkan Perang Dunia III, Target Iran, 1 Agustus 2010, www.globalresearch.ca).
Isyarat Chossudovsky, terdapat instrumentisasi membentuk “satu komando militer” dibawah kendali Pentagon. Ada geliat penyebaran pasukan AS dan NATO di berbagai negara terutama Afrika, Timur Tengah dan lain-lain. Statement Jenderal Wesley Clark, (mantan) Komandan NATO bisa dirujuk, bahwa US Military Roadmap sebenarnya telah direncanakan mulai dari Irak, Suriah, Lebanon, Libya, Iran, Somalia dan Sudan. Dan menurut dokumen Sentral Komando 1995 yang dideklasifikasikan AS, target pertama memang Irak.
Selanjutnya apabila berdasar urutan target sesuai paparan Clark, maka “target pertama” yaitu Irak memang diserbu AS dan pasukan koalisi Barat di zaman George W Bush dulu (2003) melalui pembenaran ideologis bertitel: ‘Saddam menyimpan senjata pemusnah massal’.
Tatkala merujuk inti temuan Tony Cartalucci, peneliti senior Central Research for Globalization (CRG), Kanada (www.globalresearch.ca), bahwa Arab Spring atau Musin Semi Arab merupakan aksi massa dibawah kendali Central Applied Non Violent Action and Strategies (CANVAS), anak organisasi dari National Endowment for Democracy (NED), LSM Pentagon spesial ganti rezim. Pertanyaan yang timbul adalah: apakah menggoyang atau tata ulang kekuasaan di Tunisia, Yaman dan Mesir via Arab Spring hanya sekedar warning up dalam skenario penaklukan dunia; bukankah ketiga negara tadi tidak masuk target dalam “peta jalan perang” sebagaimana tergambar di Pentagon?
Jawabannya sederhana. Ya. Secara strategi, peta jalan memang pokok-pokok agenda tetapi praktek di lapangan tergantung situasi yang berkembang. Artinya mana yang urgen, siapa prioritas, atau yang ini cuma deception, dan lain-lain, sangat tergantung kondisi aktual. Mana lebih menguntungkan. Sudan misalnya, meskipun dalam peta sesuai paparan Clark merupakan urutan akhir, tetapi dalam praktek justru duluan bahkan sukses “dibelah” menjadi dua wilayah (Sudan dan Sudan Selatan) melalui cara referendum. Bisa jadi ketiga negara tersebut dianggap wilayah pengangga dalam konsep utama. Boleh dan syah-syah saja.
Tampaknya kerontokan teori polisi dunia terlihat jelas manakala AS dan sekutu tidak mampu menundukkan Taliban —kaum pemberontak, atau Islam radikal, dll— di Afghanistan dan di Irak. Telah diurai sekilas di atas (Bag-1), betapa militer modern dari 40-an negara jago perang ternyata tak mampu mengalahkan kelompok bersenjata sekelas separatis di sebuah negara. Inlah fakta lapangan yang jarang muncul di media karena berperannya edit dan kontra berita oleh Barat.
Munculnya video “tewasnya Osama bin Laden” merupakan indikasi, bahwa pagelaran War on Terror (WoT) telah tutup layar. Kemudian, apakah tewasnya Osama merupakan episode guna menarik pasukan koalisi dari Afghanistan bertema misi usai, sebab gembong teroris sudah “tewas”? Bisa ya, bisa juga tidak. Tetapi dari kajian US Military Roadmap justru skenario WoT dinilai gagal bahkan dianggap biang krisis ekonomi bagi kelompok negara yang terlibat sharing saham pada pendudukan Irak dan Afghanistan karena modal (perang) ternyata tidak kembali.
Termasuk perubahan pola operasional “peta jalan perang” dari simetris (hard power) berubah menjadi asimetris (smart power) semacam Arab Spring di Timur Tengah yang kini terus menggeliat, semakin menguatkan indikator runtuhnya teori tersebut. Karena dari sisi biaya, pola asimetris memang soft dan lebih murah dibanding simetris. Tanpa senjata tanpa penggelaran pasukan di lapangan. Tetapi jika dicermati secara seksama, Musim Semi Arab pun ternyata out of control pula. Ada kebangkitan (Islam) disana-sini. Misalnya, pasca Ben Ali runtuh Tunisia masih beriak. Setelah Ali Abdullah lengser pun Yaman belum kondusif, apalagi Mesir! Agaknya rakyat tidak ingin hanya sekedar ganti rezim tetapi juga ganti sistem yang selama ini berpihak kepada asing, dinilai merupakan biang “kerapuhan” negaranya.
Paling aktual memotret rontoknya teori ini melalui kancah di Suriah. Jika ada pendapat bahwa konflik di negerinya Bashar al Assad semata-mata perang antar mazab dalam Islam, maka itulah bentuk pendangkalan persoalan —kalau tidak mau dikatakan penyesatan. Artinya yang sesungguhnya terjadi adalah proxymatis war(perang perpanjangan) antara adidaya Barat versus Timur. Barat dalam hal ini AS dan sekutu, sedang Timur meliputi Cina, Rusia, Iran, dll. Inilah yang tengah terjadi. Lalu, apa yang sejatinya mereka perebutkan?
Dalam perspektif “peta perang”-nya Clark, Suriah itu selain pintu utama menuju Iran, juga yang pokok justru geopolitic of pipeline dan geostrategy position. Itulah hidden agenda adidaya dunia mengincar geopolitik dan geostrategi Suriah. Tak boleh disangkal, betapa pipanisasi atas minyak dan gas baik dari maupun cuma lewat Suriah menjalar kemana-mana, menembus batas negara bahkan lintas benua. Dengan demikian, banyak kepentingan nasional berbagai negara berserak disana, tak terkecuali ialah kepentingan para adidaya Barat dan Timur yang kini asyik bertikai.
Selain daripada itu posisinya terletak pada simpul jalur yang merupakan lalu-lintas barang dan jasa (ekonomi, sosial, budaya dll) termasuk pergerakan pasukan sejak dahulu kala. Itulah Jalur Sutera, rute perdagangan dan jalur legenda militer dunia, dimana geopolitic leverage atau keunggulan posisi berbasis geografi Suriah berada di titik simpulnya (baca: Catatan Kecil tentang Jalur Sutra, di www.theglobal-review.com). Ada anekdot berkembang, barang siapa menguasasi Jalur Sutera maka ia mengendalikan dunia, dan siapa menguasai titik simpulnya ibarat sudah menggenggam separuhnya!
Kembali pada topik kerontokan teori polisi dunia, tampaknya Suriah merupakan etalase atas kegagalan beberapa metode yang diterapkan AS dan sekutu. Misalnya, ketika isu demokratisasi dan stigma rezim tirani tak mampu memicu aksi massa seperti di tiga negara sebelumnya (Tunisia, Yaman dan Mesir), tampaknya resep tersebut tidak laku di Suriah. Demonstrasi tidak pernah bisa mencapai eskalasi, bahkan sebaliknya demo masif justru mendukung Assad. Apa boleh buat, gagal melalui gerakan massa, kualitas isu pun dinaikkan kadarnya oleh Barat menjadi “perang sipil” atau pemberontakan bersenjata, dengan konsekuensi bahwa kelompok oposisi itu dilatih, dibiayai serta dipesenjatai sendiri oleh Barat. Kelompok negara Barat menyuplai senjata dan pasukan ke Suriah membantu para pemberontak. Info terbaru bulan Maret 2013, The Telegraph mengungkapkan bahwa Barat mengirim 3000 ton senjata ke pemberontak Suriah dari Zagreb (Kroasia), melalui Jordania. Hingga kini, lebih dari 60.000 orang tewas dan lebih satu juta rakyat Syria terpaksa mengungsi ke berbagai wilayah perbatasan, dan lain-lain.
Tak mundur dengan tekanan bersenjata via perang sipil, kembali Barat menebar isue pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Assad kepada rakyatnya. Seperti biasa, Dewan Keamanan (DK) PBB mengeluarkan pernyataan mengutuk represi pemerintahan Presiden Bashar al-Assad. Bahkan beberapa kalangan memperkirakan akan berujung pada intervensi militer seperti terjadi di Libya, dimana Gadafi dulu distigma melakukan genocida serta pelanggaran HAM, kemudian setelah terbit resolusi PBB Nomor 1973 tentang Zona Larangan Terbang maka Libya pun dibombardier oleh AS dan sekutunya NATO.
Agaknya “kesaktian” Assad jauh lebih tinggi daripada Gaddafi, artinya kendati Suriah sebagai negara tidak sekaya (minyak) Libya, Iran, Arab, dll namun kemungkinan faktor geopolitic pipeline membuat Cina dan Rusia selalu menjegal langkah Barat dalam forum DK PBB yang hendak menerbitkan resolusi untuk Suriah. Isu HAM tak mempan menembus Suriah.
Barat tak kalah akal, gagal melalui jalur HAM maka isu penggunaan senjata kimia oleh militer Assad dilontarkan oleh para pejabat London. Kali ini anggota senior parlemen Inggris mendesak pemerintah Inggris untuk melancarkan agresi militer di Suriah dengan klaim penggunakan senjata kimia. Tetapi sungguh lucu, pernyatan tersebut mengemuka di saat para penyelidik PBB mengemukakan fakta penggunaan senjata kimia justru dilakukan oleh milisi teroris anti-Assad yang didukung Barat sendiri. Mereka mendapatkan kesaksian dari para korban dan staf medis yang menunjukkan para milisi oposisi bersenjata menggunakan gas sarin dalam konflik di Suriah.
Reuters Senin (6/5) melaporkan, anggota Komisi Independen PBB untuk Penyelidikan di Suriah, Carla Del Ponte, pada Ahad mengatakan, kami tidak menemukan bukti bahwa pasukan pemerintah Damaskus menggunakan senjata kimia terhadap milisi bersenjata. Gagal lagi? Entahlah nanti isu apalagi bakal ditebar oleh AS dan sekutu setelah stigma penggunaan senjata kimia dimungkinkan kembali gagal.
Inilah tahapan-tahapan yang dimainkan oleh Barat dalam rangka menumbangkan Bashar al Assad, sejak dari isu demokratisasi, pemimpin tirani, perang sipil, dan lain-lain hingga isue teraktual masalah penggunaan senjata kimia. Dari segala upaya Barat selama ini sebenarnya bisa dibaca kondisi konflik sebenarnya di lapangan, artinya posisi kelompok oposisi yang didukung Barat berada dalam posisi di bawah — jika tak boleh disebut kalah.
Mengakhir tulisan tak ilmiah ini, sesuai judul di atas sebenarnya telah dapat disimpulkan walau sementara, bahwa fase atas keruntuhan teori polisi dunia yang selama ini dianut oleh Paman Sam menurut hemat penulis telah berakhir di Syria ketika ia memaksakan agenda US Military Roadmap dalam rangka penaklukkan dunia. Demikian adanya, demikianlah sebaiknya.