Runtuhnya Dinasti Amerika (4)

Bagikan artikel ini

 M Arief Pranoto, Pemerhati Masalah Internasional dari Global Future Institute (GFI)

Ada beberapa faktor yang membuat bengkak budget perang AS di Iraq dan Afghansitan, antara lain :

Pertama, kenaikan biaya personel baik tentara reguler dan terlebih lagi anggaran “militer bayaran” seperti Dyncorp, Halliburton, Blackwater yang akhirnya berganti kulit menjadi Xe dan seterusnya. Bahwa selama perang di Iraq dan Afghanistan, pihak Dephan telah mempekerjakan 196.000 tenaga kontrak. Sekedar perbandingan, seorang sersan Angkatan Darat AS mendapat bayaran 140 hingga 190 USD/hari untuk gaji dan tunjangan, sementara tentara bayaran memperoleh 1.222 USD/hari. Belum termasuk biaya rekrutmen, kompensasi kesulitan hidup, bonus penugasan kembali dan sebagainya.

Kedua, naiknya harga BBM dunia, dan

Ketiga, adalah biaya “pengaturan kembali” – seperti penggantian peralatan tempur yang rusak, biaya pelatihan serta perlengkapan milisi di Iraq dan Afghanistan. Apalagi terdapat berbagai (indikasi) kecurangan dalam pengadaan penggantian peralatan militer untuk keperluan perang yang tengah berlangsung, dimana biaya ganti peralatan dihargai enam kali lipat lebih mahal daripada masa damai.

Semua biaya di atas, pada hakikinya dibayar oleh uang yang berasal dari pajak rakyat. Memang ada batasan penggunaan pajak rakyat hanya 1,7 milliar USD/tahun. Selebihnya dari “sumber lain” dan utang. Akan tetapi, bukankah utang negara untuk biaya perang nantinya juga dibayar oleh rakyat? Kecuali AS menang perang dan menguasai segala sumber daya di kedua negara tersebut. Itu lain persoalan. Kini jangankan menang, tanda-tandanya pun nyaris tidak terdengar – kalaupun ada teriakan kemenangan dari pihak AS dan sekutu, sepertinya hanya gurauan dan sekedar bualan media belaka.

Hillary Clinton, Menlu AS era Obama mengatakan, bahwa biaya perang di Iraq cukup untuk membiayai :

(1) memberikan layanan kesehatan bagi 47 juta rakyat AS yang tak memiliki asuransi kesehatan;
(2) menyediakan pendidikan pra-TK untuk semua anak;
(3) menuntaskan krisis perumahan;
(4) membuat biaya perguruan tinggi terjangkau oleh semua mahasiswa; dan
(5) menyediakan keringanan pajak bagi jutaan keluarga kelas menengah.

G-20 dan Atraksi “Dolar Bodong”

Gagasan dan berdirinya G-20 selain menghapus peran G-8, menimbulkan kesan seolah-olah lebih demokratis, bergengsi dan strategis, oleh sebab forum baru itu menghimpun dua pertiga penduduk dunia yang menguasai 80 % transaksi perdagangan internasional dengan nilai ouput 90% PDB global. Secara tersurat, keberadaan G-20 bukan menggantikan peran IMF dan Bank Dunia, tetapi sekedar menutupi ketidak-berdayaan dua lembaga tersebut dalam meredam krisis keuangan global. Ya, G-20 memiliki kekuatan untuk mengorganisir dan menghimpun dana guna menyokong kedua institusi keuangan global yang gagal menangani krisis.

Lalu, (mungkin) dirancang ide mencetak mata uang (USD) berseri ganda, atau istilahnya “dolar bodong”. Apalagi ketika menghadapi perang kurs mata uang melawan Cina, ia mencetak secara “gila-gilaan” uang kertas dalam jumlah jutaan USD. Sekilas memang dimenangkan AS oleh karena nilai Yuan (mata  uang) Cina menjadi naik, tetapi efeknya adalah inflasi besar-besaran di negaranya.

Pada hakikatnya inilah teknik pencucian uang (money laundry) berkedok. Entah berkedok dalam rangka mengatasi krisis, atau berkedok melawan Cina dalam rangka perang kurs, atau berkedok dana utangan melalui G-20 yang diberikan kepada negara berkembang akibat dampak krisis global dan lain-lan. Betapa tidak, tahun 2008-an yang lalu IMF menjual sebagian emasnya ke pasar, namun usai KTT G-20 di London, tiba-tiba ia menebar dolar. Inilah taktik (licik) terbaru AS di bidang ekonomi.

Hasil pertemuan G-20 mengkulminasi suntikan dana sebesar 1,1 triliun dolar AS ke lembaga multilateral dan IMF guna membantu memerangi krisis global. Kemudian keluarlah paket stimulus (utang) bagi negara berkembang. Terbaca nuansa bahwa G-20 digunakan sebagai sarana untuk mempertahankan kepentingan dan hegemoni AS di dunia. Oleh karena arah penyelesaian krisis tidak berlandas filosofi bagaimana “membongkar” sistem kapitalisme sebagai penyebab, tetapi lebih berfokus pada pembiayaan dampak krisis dalam bentuk bailout (talangan) dan stimulus.

(Apa hakiki terbentuknya G-20 dan pemicu keruntuhan Dinasti Amerika? Saksikan setelah yang satu ini – BERSAMBUNG-5)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com