Seperti halnya pakta militer ala perang dingin seperti South East Asia Treaty Organization (SEATO) yang diprakarsai Amerika Serikat (AS) dan sekutu-sekutu Baratnya di Asia Tenggara, pakta militer di Asia Pasifik yang berbasis AUKUS (Australia, Inggris dan Amerika Serikat) sebagai penjabaran dari Strategi Indo-Pasifik AS, pada perkembangannya bukan saja berpotensi memantik persaingan militer dan persenjataan (arms race) di antara negara-negara di kawasan Asia Pasifik.
Bahkan lebih buruk dari itu, bisa memantik perpecahan dan perseteruan politik-keamanan di kalangan negara-negara kawasan Asia Pasifik itu sendiri. Sehingga dapat memicu instabilitas dan keamanan regional kawasan ini.
Segi lain yang tak kalah penting untuk kita telaah dalam artikel kali ini, di kalangan negara-negara yang tergabung dalam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), kemampuan militernya baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama, belum mampu mengimbangi kekuatan militer negara-negara yang tergabung dalam AUKUS berikut negara-negara satelitnya di kawasan Asia Tenggara seperti Filipina, Thailand maupun Singapura.
Selama ini belum ada suatu telaah yang mendalam mengenai betapa berbahayannya ketidakseimbangan kekuatan militer antara negara-negara yang tergabung dalam persekutuan militer AUKUS berikut negara-negara proksinya di Asia Tenggara dengan negara-negara anggota ASEAN yang sejatinya tidak tergabung dalam blok militer pro AS-AUKUS-NATO maupun ke dalam blok militer Cina dan Rusia. Ketidakseimbangan kekuatan militer negara-negara nonblok ASEAN dalam menghadapi negara-negara di Asia Pasifik yang blok AUKUS, pada perkembangannya bisa membahayakan posisi negara-negara ASEAN dalam mempertahankan kedaulatan nasionalnya masing-masing.
Dalam skenario seperti tersebut di atas, pada gilirannya juga akan membahayakan stabilitas dan keamanan regional ASEAN. Padahal negara-negara ASEAN punya karakteristik geografis yang bersifat dinamis dan bahkan terkadang rumit serta sulit diprediksi. Maka ASEAN harus belajar dari dampak buruk yang terjadi akibat kebijakan luar negeri AS yang diterapkan di kawasan Afrika dan Timur Tengah.
Menelaah dan mengkaji pengalaman negara-negara di kawasan Timur Tengah dan Afrika sebagai dampak dari kebijakan luar negeri AS di kedua kawasan tersebut, nampak jelas bahwa selain antar negara-negara di Timur Tengah tersebut terpecah-belah, kawasan Timur Tengah pun kemudian semakin memanas dengan dipicu oleh keterlibatan kontraktor-kontraktor pertahanan/militer swasta seperti Blackwater, di Afghanistan menyusul invasi militer AS ke negeri itu pada 2001, dan di Irak menyusul invasi AS ke negeri itu pada 2003.
Baca: Blackwater, “Anak Kandung” Agenda Swastanisasi Militer AS
Para kontraktor pertahanan/militer tersebut tersebut sejak pasca pemboman gedung WTC dan Pentagon (kementerian pertahanan AS) pada September 2001, boleh dibilang telah dirancang oleh Pentagon untuk terlibat dalam proyek-proyek perang ala invasi ke Afghanistan dan ke Irak.
Dalam konstelasi dan skenario seperti itu, negara-negara di kawasan Asia Pasifik, terutama ASEAN di Asia Tenggara dan khususnya Indonesia, harus belajar dan mengkaji secara seksama dampak buruk dari keterlibatan personil-personil militer swasta ala Blackwater di kawasan di kawasan Timur Tengah dan Afrika. Sebab jika negara-negara di kawasan Asia Pasifik dan Asia Tenggara gagal mempertahankan kedaulatan nasionalnya, maka bisa berpotensi mengalami pengalaman buruk serupa seperti di Timur Tengah dan Afika.
Sebab dengan menelaah dan mengkaji secara mendalam kasus Afghanistan (2001) dan Irak (2003), keberadaan persekutuan militer AUKUS dalam kerangka Strategi Indo-Pasifik AS di Asia Pasifik, pada perkembangannya akan dipandang sebagai Proyek Perang AS-Inggris-Australia untuk memberikan keuntungan finansial kepada beberapa perusahaan kontraktor militer swasta. Seperti private military companies (PMCs). Seperti Blackwater, DynCorp, Fluor Corporation, dan Vinell Corporation.
Kalau kita telaah tujuan strategis keberadaan AUKUS setidaknya ada dua. Pertama, menguasai kawasan Asia Tenggara. Dan menurut telaah geopolitik saya dan sejawat saya di Global Future Institute, sebenarnya itulah sasaran strategis sesungguhnya di balik Strategi Indo-Pasifik AS. Meskipun tersamar melalui kerjasama di kawasan Asia Pasifik. Kedua, untuk membendung pengaruh dan ekspansi Cina di kawasan Asia Pasifik khususnya Asia Tenggara.
Dalam skenario seperti ini, Filipina sebagai sekutu tradisional AS di Asia Tenggara, jelas merupakan prioritas utama dalam persekutuan dan kegiatan-kegiatan militer AUKUS-Filipina. Dalam situasi yang demikian, Indonesia sebagai negara terbesar di Asia Tenggara, kiranya harus waspada dan mengantisipasi kemungkinan skenario terburuk, ketika persekutuan maupun aktivitas militer AUKUS-Filipina membawa implikasi terjadinya pelanggaran kedaulatan wilayah teritorial Indonesia.
Apalagi kapal selam berkekuatan nuklir yang dikembangkan Australia sebagai salah satu anggota AUKUS, besar kemungkinan akan dijadikan dasar melancarkan operasi intelijen militer di perairan negara-negara yang tergabung dalam ASEAN. Bisa dipastikan jika skenario ini dilancarkan, pada perkembangannya akan menjadi sumber ancaman bagi stabilitas dan keamanan kawasan Asia Tenggara. Sehingga akhirnya akan membahayakan kedaulatan negara-negara yang berada di kawasan Asia Tenggara.
Dalam
Dalam beberapa kajian strategis Global Future Institute (GFI), wilayah perairan di Laut Cina Selatan memang merupakan sasaran strategis di balik Strategi Indo-Pasifik AS. Sebab Laut Cina Selatan merupakan rute penghubung antara Samudra Hindia ke Samudra Pasifik.
Dengan demikian, dikerahkannya kapal-kapal selam bertenaga nuklir Australia dalam kerangka AUKUS di Laut Cina Selatan, akan meningkatkan eskalasi konflik militer antara AS dan Cina sebagai dua negara adikuasa. Sehingga pada perkembangannya akan membahayakan kedaulatan dan integritas teritorial negara-negara ASEAN baik sendiri-sendiri maupun secara kolektif. Sebab dengan dalih untuk menghadapi manuver militer Cina di Asia Tenggara, AS, Australia dan Inggris punya alasan pembenaran untuk meningkatkan operasi-operasi militernya di Asia Tenggara baik lewat jalur laut maupun udara.
Alhasil, kedaulatan negara-negara di ASEAN baik lewat jalur laut maupun udara, berada dalam bahaya. Sebab dengan dikerahkannya peralatan-peralatan militer strategis negara-negara AUKUS seperti kapal-kapal selam dan pesawat-pesawat pembom tempur di wilayah-wilayah yang berada dalam kedaulatan negara-negara ASEAN, bukan saja merupakan aksi militer yang provokatif, namun juga mencerminkan niat sesungguhnya persekutuan AUKUS untuk menguasai dan mengontrol kawasan Asia Tenggara.
Menyadari masih kuatnya hasrat negara-negara blok Barat untuk mempertahankan hegemoni-nya di Asia Tenggara baik melalui agenda politik dan ekonomi, maupun melalui pengerahan perusahaan-perusahaan kontraktor militer swasta berdasarkan rules-based order, sudah saatnya negara-negara ASEAN menyatukan persepsi untuk meninjau ulang tujuan strategis di balik terbentuknya persekutuan militer AUKUS di Asia Tenggara.
Kiranya perlu cara pandang baru dan pola pikir baru (mindset) dari negara-negara ASEAN khususnya Indonesia, dalam merespons keberadaan AUKUS sebagai persekutuan militer di Asia Pasifik, dan Asia Tenggara pada khususnya. Terutama perlu telaah mendalam dan kritis ihwal tujuan AUKUS untuk melindungi Asia Tenggara dari pengaruh dan ekspansi Cina. Perlu kajian dan evaluasi kritis terhadap AUKUS.
Sebab dengan belajar dari kasus Afghanistan (2001) maupun Irak (2003), ternyata AS dan sekutu-sekutunya, telah memanfaatkan situasi perang berikut operasi-operasi militer yang dilancarkannya, untuk meraup keuntungan ekonomi-bisnis dari perang. Dengan itu, berarti negara-negara ASEAN harus menciptakan inovasi dan pendekatan-pendekatan yang lebih terukur dan penuh perhitungan, untuk melindungi kedaulatan wilayahnya berdasarkan prinsip netralitas dan tidak memihak kepada salah satu blok negara-negara besar.
Dalam konstelasi seperti itu, mengingat fakta bahwa AS dan blok AUKUS serta pakta pertahanan empat negara (QUAD) AS, Australia, Jepang dan India di Asia Pasifik, maka sangat logis jika negara-negara ASEAN dalam beberapa tahun belakangan, yang kiranya juga akan berlangsung dalam masa mendatang, kiranya merupakan langkah strategis bagi ASEAN untuk mendorong dan memperkuat hubungan diplomatik yang lebih erat dengan Cina.
Selain Cina merupakan negara tetangga ASEAN yang sama-sama berada di kawasan Asia, Cina juga sudah teruji sebagai negara sahabat yang dapat dipercaya dalam membangun fondasi kerjasama strategis yang saling menguntungkan dan setara, sebagaimana terlihat melalui skema kerjasama Belt and Road Initiative (BRI) yang mengaitkan kerjassama ekonomi-perdagangan dan konektivitas geografis Jalur Sutra.
PHOTO: REUTERSSetidaknya Cina hingga kini tidak pernah menggunakan kekuatan military vitalnya untuk memperoleh keuntungan-keuntungan ekonomi-bisnis melalui proyek perang atau war project. Apalagi dengan dibingkai oleh skema neokolonialisme seperti yang diterapkan AS dan Uni Eropa.
Dengan dasar pandangan seperti itulah, seharusnya Indonesia dan negara-negara ASEAN membangun kerjasama strategis pertahanan dengan Cina. Saya kira cara pandang seperti ini logis dalam kerangka kebijakan luar negeri Indonesia yang Bebas dan Aktif.
Ketika eskalasi konflik AS-Cina semakin memanas di Asia Tenggara, kawasan Asia Tenggara akan menjadi kawasan geopolitik yang kompleks. Sehingga negara-negara ASEAN yang dari segi kekuatan militer tidak seimbang menghadapi AS dan blok AUKUS, sudah barang tentu harus punya kartu truf untuk memperkuat posisi strategisnya. Perlu Strategi Perimbangan Kekuatan atau Balancing Strategy.
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)