Satu-Satunya Cara Menentang Yahudisasi Sejarah Palestina Adalah Mempertanyakan Validitas Zionisme

Bagikan artikel ini

Dua Puluh Poin Penting DalamYang diolah dari  Buku Karya Ilan Pappe (2017): Palestine, The Biggest Prison on Earth.   

 

slider

 

  1. Keputusan-keputusan Israel terhadap Palestina didasari ideologi dan sejarah Zionis untuk melakukan yahudisasi sebanyak mungkin terhadap sejarah Palestina.

 

  1. Berhubung keputusan-keputusan yang diambil mencerminkan interpretasi Zionis atas realitas Palestina pada masa lalu dan masa kini sebagai negara Yahudi yang eksklusif. Maka satu-satunya cara menentang keputusan-keputusan Israel dalam menyahudisasi sejarah Palestina adalah dengan mempertanyakan validitas Zionisme itu sendiri.

 

  1. Dua dasar ideologi Zionisme yang dipegang teguh para politisi Israel sejak 1967; (a) kemampuan mengendalikan sebagian besar wilayah Palestina yang bersejarah; (b) kemampuan mengurangi jumlah warga Palestina yang tinggal di dalamnya.

 

  1. Dengan demikian, realpolitik dalam istilah kaum Zionis berarti mendamaikan diri dengan kemungkinan bahwa mereka tidak mampu mencapai kedua tujuan tadi secara penuh.

 

  1. Dalam perspektif Zionis Israel, pilihan terbaik menurut mereka adalah, memperlua lahan pada tahap pertama, dan mengurangi penduduk jumlah warga Palestina pada tahap kedua.

 

  1. Ketika pemerintah mandat Inggris mendefinisikan Palestina sebagai entitas geopolitik setelah Perang Dunia Pertama, maka menguasai sebagian besar negara berarti memiliki sebagian besar wilayah Palestina di bawah Pemerintah Mandat Inggris(sekarang Israel dengan Wilayah Pendudukan).

 

  1. Berarti, negara Israel hakikinya dibentuk atas dasar murni beretnik Yahudi. Maka keinginan yang tak terucap dari pihak Zionis, negara Israel adalah tempat yang hanya untuk orang Yahudi yang dianggap sebagai Tanah Israel kuno.

 

  1. Memomentum mewujudkan dua dasar ideologi Zionis tersebut terjadi pada 1948. Pertama, ketika Inggris memutuskan menarik diri dari Palestina setelah tiga puluh tahun berkuasa. Kedua, dampak Holocaust terhadap opini public Barat. Ketiga, timbulnya kekacauain di Dunia Arab dan Palestina. Keempat, kristalisasi dari kepemimpinan Zionis yang sangat gigih.

 

  1. Dengan demikian, kaum Zionis segera melakukan pengambil-alihan sebagian besar tanah dan pengusiran sebagian besar penduduk setempat. Sehingga terjadilah proses gerakan Zionis membersihak Palestina secara etnik pada tahun 1948 itu.

 

  1. Alhasil, separuh penduduk asli Palestina tersebut diusir, separuh desa dan kota dihancurkan, serta 80 peren wilayah Palestina di bawah Mandat Inggris menjadi Negara Yahudi Israel.

 

  1. Pengambilalihan sebagian besar wilayah Paletina disaksikan secara langsung oleh perwakilan komunitas internasional seperti Palang Merah Internasional, koresponde pers Barat, dan personel Perserikatan Bangsa-Bangsa.

 

  1. Pesan dari Eropa dan Amerika sangat jelas: apapun yang terjadi di Paletina adalah babak terakhir dari Perang Dunia Kedua yang tak dapat dihindari. Harus ada yang dilakukan agar Eropa bisa menebus kejahatan yang dilakukan di wilayahnya terhadap orang-orang Yahudi—sehingga perlu perampasan besar-besaran terakhir terhadap warga Palestina, agar Barat dapat bergerak menuju perdamaian dan rekonsiliasi pascaperang.

 

  1. Tentu saja itu hanya dalih untuk membenarkan konspirasi Barat-Zionis untuk mengkolonisasi Palestina. Sebaliknya, pada 1948 harus dibaca sebagai puncak kolonisasi Zionis di wilayah yang dimulai pada akhir abad ke-19. Yang mana pada 1948 merupakan babak terakhir dalam pembentukan Negara Yahudi modern pada waktu komunitas internasional tampaknya memandang penjajahan sebagai hal yang tak dapat diterima dan merupakan contoh ideologi masa lalu yang patut dicela.

 

  1. Ironisnya, dalam kasus Palestina, pesan dari dunia internasional memandang perampasan hak warga Palestina oleh Israel serta pengambilalihan sebagian besar wilayah Palestina merupakan tindakan yang sah dan dapat diterima.

 

  1. Namun ada perbedaan besar antara 1948 dan 1967. Pada 1948 keputusan mengenai nasib bangsa Palestina diambil sebelum perang, sementara pada 1967 diformulasikan setelah perang. Namun meski sejak 1967 hingga kini ada keputusan untuk menahan diri agar tidak terjadi pembersihan etnik dan pengusiran massal warga Palestina seperti pada 1948, namun sebagian besar anggota pemerintahan pada 1967 maupun para penerusnya setelah itu, tidak berkeberatan dengan pengusiran serta perampasan bertahap yang telah mengurangi secara signifikan jumlah warga Palestina di wilayah Pendudukan. Bahkan mereka juga tidak berkeberatan dengan persekusi yang memicu emigrasi dari Palestina. Dalam pandangan Zionis Israel, semakin sedikit warga Palestina, semakin mudah mengawasi mereka di mega-penjara baru yang telah dibangun.

 

  1. Apalagi Zionis Israel juga paham bahwa komunitas internasional tidak akan bertindak menentang perluasana lahan Israel—bukan sebagai bentuk dukungan terhadap ekspansionisme , melainkan lebih mencerminkan keengganan untuk melakukan konfrontasi terhadap Israel.

 

  1. Namun ada kondisi penting yang perlu dicatat di sini. Tidak boleh ada aneksasi wilayah secara de jure, hanya boleh secara de fakto. Alasanya? Pertama, Tepi Barat dan Jalur Gaza dianggap oleh hukum internasional sebagai Wilayah Pendudukan, sementara semua wilayah yang diduduki Israel selama operasi 1948 diakui oleh PBB sebagai bagian dari Negara Israel. Kedua, jika penduduknya tidak dapat diusir, mereka juga tidak dapat sepenuhnya diintegrasikan sebagai warga negara yang setara di Negara Yahudi. Lantaran jumlah mereka serta potensi pertumbuhan alami dipandang akan membahayakan mayoritas Yahudi di Israel.

 

  1. Dengan begitu, mempertahankan wilayah pendudukan seperti Tepi Barat dan Jalur Gaza berikut populasi di dalamnya, bagi Zionis Israel sama pentingnya dengan kebutuhan mempertahankan mayoritas Yahudi di mana pun yang membentuk Negara Yahudi.

 

  1. Realitas inilah yang kemudian membuahkan aksi-aksi militer Israel yang keji dan tidak berperikemanusiaan di lapangan. Termasuk merampas hak-hak asasi manusia dan hak-hak sipil dasar warga negara seperti status kewarganegaraan. Sehingga warga Palestina di Tepi Barat dan Gaza sejak Juni 1967, merupakan penduduk tanpa kewarganegaraan. Apalagi setelah Yordania pada 1988 memisahkan diri dari Tepi Barat, menyusul meletusnya perang internal antara PLO vs kerajaan Hasyimiyah, jumlah pemegang status kewarganegaraan pun menurun.

 

  1. Maka itu Ilan Pappe menggolongkan penjahat dalam konteks buku ini, adalah orang-orang Israel yang sejak awal merancang sistem sampai ke detai terkecil, yang menjunjung sistem selama bertahun-tahun, dan orang-orang yang “menyempurnakan” pelaksanaanya: yakni kekuasaan untuk menindas, mempermalukan dan menghancurkan. Mereka yang dari dulu sampai sekarang, merupakan pelayan birokrasi kebatilan. Mereka terus-menerus melakukan penindasan, penistaan terhadap kemanusiaan, dan merusak hak-hak serta kehidupan bangsa Palestina.

Hendrajit, pengkaji geopolitik, Global Future Institute.

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com