Sci-fi dan Utang Dibayar Virus

Bagikan artikel ini

Telaah Kecil Asymmetric War

Secara tekstual, science fiction (sci-fi) atau fiksi ilmiah ialah bentuk fiksi spekulatif membahas pengaruh sains dan teknologi diimajinasikan ke publik atau masyarakat. Itu poin intinya. Namun secara kontekstual, ada narasi lain. Fiksi ilmiah (sci-fi) dapat berupa gambaran atau ramalan kejadian di masa depan. Semacam skenario peristiwa yang akan terjadi melalui sebuah fiksi. Entah fiksi seperti filem layar lebar, atau dalam bentuk komik, novel, dan lain-lain.

Sci-fi itu tidak diawaki fiksioner atau novelis, namun ditulis oleh sosok visioner baik ahli strategi, pakar intelijen, atau think tank sebuah lembaga strategis, dan kerap kali sang penulis sci-fi justru tak muncul di permukaan. Pun bila ada novelis, atau jurnalis terlibat perumusan sci-fi, maka sifatnya hanya sekedar pendamping, bukan penulis utama.

Perang Pasifik pada tahun 1942 antara Amerika (AS) versus Jepang dulu, ternyata telah ditulis Hector Bywater melalui novel The Great Pasific War (1925); atau, ketika War on Terrorism berangkat dari isu WTC/9-11 (2001), ternyata juga sudah diisyaratkan oleh Samuel P Huntington dalam Clash of Civilization and the Remaking of World Order (1992); bahkan skenario Perang Dunia (PD) III pun konon sudah ditulis oleh PW Singer melalui sci-fi berjudul Ghost Fleet.

Adanya pro kontra semasa pilpres 2019 tentang Ghost Fleet, lebih diakibatkan oleh penggal narasi yang menyiratkan bahwa bila PD III meletus, Indonesia sudah bubar atau lenyap dari peta dunia. Ini yang menyulut sentimen publik akibat ketidakpahaman perihal fiksi ilmiah.

Tetapi, entah benar atau tidak, entah framing media atau kebetulan, bahwa mencermati isu Wuhan dalam konteks konflik geopolitik antara Cina versus AS, tatkala beredar kembali film Contagion yang edar di era 2011-an karya Steven Soderbergh serta dibintangi Matt Damon, Kate Winslet dan lain-lain, suka atau tak suka, mau tidak mau, publik akhirnya mengaitkan dua hal tersebut sebagai sci-fi. Ya, isu coronavirus di satu sisi, dan film Contagian pada sisi lain. Kenapa? Ada kesamaan narasi antara isu coronavirus dengan film Contagian dimana selain awal penyebaran virus dari Cina, juga penyebab infeksinya sama: “Kelelawar.” Apa ini kebetulan? Jangankan peristiwa besar, daun jatuh pun ada proses. Tidak ada yang kebetulan di muka bumi.

Pada gilirannya, publik global khususnya dunia analis konspirasi, para pengamat geopolitik pun sibuk membangun asumsi, “Jangan – jangan coronavirus itu senjata biologi AS yang sengaja dibocorkan guna menghancurkan Cina dari sisi internal?” Artinya, itu merupakan serangan asimetris bermodel false flag operation, atau modus “playing victim“. Nah, modus semacam itu jagoannya adalah Paman Sam.

Pada konteks lain, Cina itu pemilik cadangan devisa terbesar dalam bentuk US Dollar, sekaligus juga pemegang surat utang terbesar Paman Sam.

Mundur sedikit ke dekade lalu. Sewaktu friksi terbuka melawan Libya dulu, AS memakai metode “utang dibayar bom” karena selain Gaddafi akan memberlakukan Dirham –uang emas– serta ingin menyingkiran US Dollar sebagai alat transaksi minyak, cadangan devisa, juga menyeru kepada Barat agar semua piutang Libya dibayar dengan emas. Seketika Barat cq AS kebakaran jenggot. Ini bahaya! Selain tercampak, dikhawatirkan manuver menolak dolar dari Gaddafi juga bisa menimbulkan gelombang imitasi ke negara-negara lain. Sekali lagi, ini sangat berbahaya. Maka Libya pun dibikin luluh lantak agar fenomena uang emas tidak menjalar kemana – mana, juga — utang Barat pun akhirnya lunas. Itulah modus “utang dibayar bom,” metode kolonialisme yang cukup melegenda, tetapi tak banyak publik memahaminya.

Pertanyaan selidik pun menggelitik, “Berbasis fiksi filem Contagian di atas, apakah Paman Sam tengah mengimplementasikan modus sama saat ia berseteru dengan Libya, namun terhadap Cina judul pun diubah menjadi “utang dibayar virus” guna menggerus utang – utangnya?” Ah, entahlah.

Agaknya, scin-fi terus bergerak liar seperti burung-burung gagak yang terbang di langit Hubei, Cina dan tampaknya, fiksi ilmiah tersebut berputar – putar pula di langit geopolitik Amerika.

Ya, menaklukkan musuh tanpa bertempur adalah kepiawaian tertinggi.

M. Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com