lea pamungkas
Hari-hari menjelang tutup tahun macam ini, selalu memberkaskan melankoli yang ambigu dalam diri saya. Suatu keinginan untuk untuk “melepas” dan “tidak melepas” tahun, sebaliknya juga keinginan untuk menerima hal yang baru. sekaligus tidak. Sementara, orang-orang bergegas ke pusat-pusat perbelanjaan yang dihias dengan lampu-lampu cantik. Pohon Natal, bintang-bintang, dan lonceng-lonceng. Dan jauh di bawah alam sadar, dan suatu kebutuhan untuk merayakan..
Tulisan ini, adalah ingatan dua tahun ke belakang.
Berita malam 24 Oktober, di radio : “seorang perempuan telah melempar bayinya dari lantai empat pertokoan supermewah Bijenkorf – Amsterdam pukul enam sore ini” Dalam senja musim gugur, dalam kabut yang mulai merayap di deru angin menusuk. Bayi berumur beberapa bulan itu meninggal dunia, dan sang ibu, luka berat dan tengah dalam pengawasan polisi.
Orang-orang terganggu. Iritant. Komentar yang ke luar rata-rata adalah kejengkelan. Ketergangguan oleh satu peristiwa yang tidak perlu. Kertergangguan karena nafsu berbelanja terusik.
Peristiwa ini dianggap film yang salah setting. Perilaku yang tidak sopan. Bagaimana tidak. Manakala segerombolan orang lain tengah mengejar midseason sale: tas Gucci harganya melorot 30 persen, lipstick Estee Lauder dikemas beraneka dalam kemasan kecil ditawarkan dengan harga terjangkau.
Adegan pembunuhan dan percobaan bunuh diri ini, sungguh merusak kegairahan. Meruntuhkan upaya mengusir kesuntukan dengan windowshopping. Hiburan paling murah sekaligus masochistic massal.
“Saya betul-betul bertanya-tanya, katakanlah ingin melakukan bunuh diri, mengapa di Bijenkorf? Mengapa tidak loncat dari jembatan, misalnya. Kayaknya dia harus benar-benar memilih tempat kalau mau bunuh diri” tulis Laura van den Brink dari Utrecht (AD.nl,23 /10/07)
“Benar-benar reaksi yang konyol. Mengapa persoalan Afrika dibawa-bawa ke sini? Mengapa tidak melakukan kerja-kerja pembangunan di sana, misalnya. Jika ternyata kehidupan di sini terlalu berat?” tulis Ronaldinho dari Rotterdam (AD.nl, 23/10/07)
Esok harinya, setelah bebenah sana-sini, Bijenkorf kembali buka. Hore ! Kembali buka ! Fantastis. Hup. Pemberesan ini direaksi dengan euforia di koran-koran. Yak, hidup toh harus terus berjalan. Harus normal.
Apa yang sebenarnya yang tengah terjadi di sini? Di sebuah negara yang para petingginya menyebut dengan kepala mengembung dan kalimat seempuk mayonaise, punya keperdulian tinggi kepada warganegaranya? Dan pada masyarakat di sebuah kultur bernama Eropa, yang mengaku paling toleran selama 30 tahun terakhir ini?
Yang pasti, serangkaian rutinitas telah terganggu. Dan sesederhana itu pula orang-orang mengatakan : “..lagi sebuah drama kegilaan dan kengerian dilakukan”. Sepertinya ‘kegilaan’ adalah mutlak kekayaan individu. Karenanya masyarakat tampaknya tak merasa perlu meletakkan empati. Sementara data terakhir dikatakan sejak dua tahun terakhir, jumlah pelaku bunuh diri semakin meningkat. Tahun lalu sampai 4000 kasus.
Negara pun sepertinya punya hak angkat bahu. Tak merasa direpotkan otokrotik bahwa ini bisa jadi dibangkitkan oleh keputusan-keputusannya yang kerap menafikkan publik. Cukuplah dengan menunjuk polisi ketertiban umum, hidung para psikiater dan rumah sakit gila.
Apa yang jadi penting sebenarnya di sini? Apa yang mustinya harus lebih digubris di sini? Orang-orang yang gatal berburu barang mewah yang kendati turun harga pun tetap mahal, seraya mengangkat wajah tinggi-tinggi bangga dengan wabah penyakit perasaan tumpul? Atau seorang perempuan yang tengah melontarkan kata pamit yang radikal?
Nafas yang diletakan di atas tangan, untuk kemudian di lempar dalam liang ketiadaan, setelah menyisir 4 elevator dengan aroma chic? Dan bunuh diri ini –apalagi, kalau bukan tengah memprotes kehidupan yang tak pantas lagi dihidupi? Atau karena tak ada alasan lagi buat diberi harga? Apakah perempuan ini, tidak tengah menjerit setinggi-tingginya?
Bijenkorf, adalah sebuah setting. Adalah sebuah pilihan. Pilihan bagi kaum berselera buat kenikmatannya. Pilihan yang tidak sembarangan untuk kata pamit yang radikal.
Dalam diri saya, ibu muda ini mati tapi tidak membisu. Dia berteriak keras pada kita. Parau dengan kata-kata yang tak mampu dicerna. Namun saya merasakan suara ketersayatan yang berulang bertumpukan.
Dan jika kita percaya kehidupan, konon, disusun dari kematian orang-orang lain yang tidak membisu, maka esok macam apa yang bakal dibangun?
Amsterdam, Oktober 2007