Indonesia yang merupakan negara kepulauan yang menjadi kebudian dianggap sebagai negara Archipelagic State. Alasan tersebut menjadi salah satu landasan Presiden Soekarno pada saat itu untuk mengakatan kepada dunia bahwa diperlukan konvensi hukum laut internasional yang pada zaman itu masih menganut TZMKO sebagai hukum laut. Di satu sisi, landasan tersebut membuat Indonesia sangat percaya diri dalam panggung Internasional. Dilatar belakangi dengan Deklarasi Djuanda pada tanggal 13 Desember 1957, Presiden Soekarno membuat negara-negara di dunia sadar akan pentingnya Indonesia di panggung internasional.
Kepercayaan diri tersebut kembali dirumuskan oleh Presiden Joko Widodo pada masa kampanye periode pertamanya. Jika menganut pandangan geopolitik klasik dari Mahan “Barang siapa yang menguasai laut, maka akan menguasai dunia” seolah memberi tahu dunia bahwa Indonesia akan dapat menjadi negara yang berperan aktif. Ini pekerjaan rumah yang menjadi prioritasnya Pak Jokowi dalam Nawa Citanya. Presiden Jokowi berambisi menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Visi tersebut sempat mendapat dukungan lebih bagi masyarakat mengingat Indonesia seharusnya mengambil peran yang sangat strategis dalam panggung Internasional. Budaya maritim, pengelolaan sumber daya laut, konektivitas maritim, diplomasi maritim dan membangun kekuatan pertahanan maritime menjadi pilar visi ini untuk menjadikan Indonesia sebagai pemegang peranan tersebut.
Berbagai macam pergerakan internasional yang dilakukan pada kala itu sangat banyak, bahkan banyak yang mengecamnya. China sebagai salah satu investor Indonesia dalam proyek besar ini membuka mata dunia bahwa China sedang membangun kekuatan politik dunianya. China dengan Chinese Dreams bergerak maju dengan proyek One Belt, One Road yang kemudian berubah menjadi Belt And Road Initiative (BRI) kebetulan bersinggungan dengan visi Presiden Jokowi pada periode pertamanya. Hingga pada tahun 2018 mereka bersepakat untuk mengintegrasikan Poros Maritim Dunia dengan BRI. Tentu pekerjaan besar ini memerlukan Kementerian Koordinator Maritim. Peranan kemenko ini menjadi vital sebab mereka menjadi stakeholder pemerintah dalam mengurusi bidang kemaritiman. Maka dari itu, penguatan peranan Kementerian Koordinator Maritim digalakkan oleh Presiden Jokowi.
Permasalahannya adalah di era Presiden Prabowo Subianto Kemenko tersebut dihilangkan. Jargon “keberlanjutan” menjadi narasi Prabowo pada perhelatan pemilihan presiden 2024 dengan maksud untuk menarik minat masyarakat pemilih Presiden Jokowi pada tahun 2014 dan 2019 hanyalah topeng belaka untuk menang setelah dua kali percobaan. Seharusnya dengan narasi tersebut, Presiden Praboso melanjutkan program-program Jokowi selama masa pemerintahannya. Tekrkhusus pada PMD.
Naasnya adalah visi PMD terkesan seperti ayam tanpa kepala pada pemerintahan Presiden Prabowo. Kementerian yang mengoordinir visinya sejatinya sudah menghilang ketika Prabowo membacakan susunan kabinetnya pada bulan oktober silam. Hal ini memupus harapan penylis pada Presiden Prabowo yang menggunakan narasi keberlanjutan. Pasalnya setelah dinyatakannya Donald J. Trump yang kembali terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat, pusaran politik internasional nampaknya akan kembali berfokus pada kawasan Asia Pasifik. Trump akan kembali menitikfokuskan politik luar negerinya untung membendung China yang selama beberapa tahun terakhir menunjukkan taringnya dalam program BRI-nya.
Rivalitas Amerika – China akan kembali ditampilkan pada masa pemerintahan Donald Trump. Hal ini tergambarkan dengan kebijakan-kebijakan politik Trump yang menentang dengan lantang pergerakan China. Narasi perang dagang oleh Amerika menarik minat masyarakat pada pusaran politik kedua negara ini. Dari beberapa hal yang penulis dengar, kontestasi perang dagang ini sekiranya dapat menguntungkan bagi beberapa negara terkhusus pada bidang supply chain.
Indonesia yang berada di tengah-tengah pusaran tersebut akan dapat menjadi Global Player pada isu ini. Pemanfaatan kekuatan maritim Indonesia menjadi primadona bagi Indonesia yang sedang menjalankan hilirisasi ekonomi yang gaungkan Presiden Prabowo pada masa kampanye. Tesis Till yang menjelaskan sinergisitas kebijakan ekonomi dan kebijakan pertahanan menjadi pelajaran penting bagi Indonesia. Namun, koordinasi antara dua aspek tersebut memerlukan badan khusus semisal Kemenko Maritim. Namun badan tersebut hari ini hilang dan menyebabkan impelementasi tesis Till dalam bingkai PMD menjadi hilang arah.
Di sisi lain, sinergisitas antara PMD dan BRI China pada dasarnya dimotori oleh kemenko maritim yang pada periode 2 Presiden Jokowi bernama Kementerian Koordinatodr Maritim dan Investasi. Kurang lebih ada 43 proyek yang disinergukan. Namun dengan hilangnya Kemenko tersebut, siapa yang mengakomodir sinergisitas ini? Kemenko Maritim menjadi wajah Indonesia sebagai negara maritim. Aktivitas laut yang menyinergikan kebijakan ekonomi dan pertahanan sesuai dengan tesis Till kini hilang begitu saja. Dengan hilangnya satu pilar yang menjadi wajah maritim Indonesia, pada akhirnya penulis bertanya “Katanya keberlanjutan, kok ada yang hilang?”
Muhammad Zulham, Alumnus Universitas Pertahanan