Seiring dengan kepentingan korporasi multinasional Amerika Serikat (AS) yang bertujuan meluaskan pengaruh ekonomi dan perdagangannya ke pelbagai kawasan dunia, maka kekuatan militernya pun didayagunakan untuk menopang sasaran strategisnya mengintegrasikan ekonomi, perdagangan dan keuangan dalam skala global.
Dalam kasus Asia Pasifik, strategi militer AS ditujukan untuk mempertahankan hegemoni globalnya seraya menciptakan gangguan dan ketidakstabilitan politik di kawasan ini. Strategi penaklukan kawasan Asia Pasifik tiada lain bertujuan untuk memperoleh akses penguasaan sumberdaya alam seperti minyak dan gas bumi, tambang-batubara termasuk emas, dan mineral. Maka itu, di beberapa negara Asia Tenggara, AS berupaya sebanyak mungkin memperoleh konsesi lahan agar dapat membangun beberapa pangkalan militer di Asia Tenggara, Asia Timur dan Asia Selatan.
Pada masa Perang Dingin, AS menggunakan dalih adanya ancaman dan bahaya komunisme, terutama yang berasal dari Republik Rakyat Cina. Saat ini AS menggunakan dalih adanya bahaya dan ancaman Terorisme Internasional. Padahal Terorisme Internasional tersebut pada kenyataannya merupakan binaan jaringan intelijen CIA, MI-6 Inggris maupun MOSSAD Israel, yang pada suatu saat digunakan untuk menghadapi negara-negara yang dipandang tidak bersahabat terhadap AS di Asia, Afrika, dan Amerika Latin.
Beberapa operasi militer AS terindikasi telah melanggar konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Penyelesaian Konflik Secara Damai (Peaceful Setlement of Conflicts). Selain itu, tak satupun negara dimana AS telah mengerahkan pasukan militernya, merupakan ancaman terhadap integritas teritorial AS.
(Baca: Noam Chomsky, How the World Works)
Sejak Perang Dingin berlangsung antara 1950-1991, keterlibatan militer AS di pelbagai kawasan dunia mengakibatkan tewasnya jutaan orang di seluruh dunia. Sejak 1945, AS telah mendayagunakan jaringan global dari kehadiran pangkalan-pangkalan militer di pelbagai kawasan dunia, maupun melalui persetujuan kerja sama militer AS dengan beberapa negara, yang sejatinya bertujuan untuk menginvasi negara-negara sasaran secara langsung. Setidaknya ada 96 negara yang menjadi sasaran AS untuk diinvasi, dengan dalih untuk menangkal adanya ancaman dan bahaya ekspansi komunisme baik dari Republik Rakyat Cina maupun Uni Soviet. Hal tersebut masih berlangsung hingga kini, meski tidak lagi menggunakan ancaman komunisme sebagai dalih. Melainkan adanya ancaman dari Terorisme Internasional atau War on Terror.
Invasi militer terselubung berupa pengerahan pasukan militer ke pelbagai belahan dunia dengan menggunakan dalih untuk pasukan pemeliharaan perdamaian (peacekeeping force, intervensi kemanusiaan (humanitarian intervention), penegakan hukum internasional, demokratisasi, pembentukan aliansi militer bersama, kontra terorisme, bahkan ironisnya, menggunakan dalih untuk mencegah meletusnya peperangan.
Beberapa bentuk intervensi militer AS di pelbagai belahan dunia semasa Perang Dingin lingkupnya mulai dari aksi militer secara langsung dan terang-terangan hingga operasi militer terselubung mendukung negara-negara satelitnya seperti Vietnam, Kamboja, dan Laos di Asia Tenggara, Korea Selatan dan Taiwan, di Asia Timur Maupun Yunani di kawasan Eropa. Hal seperti berlangsung ada yang hanya memakan waktu beberapa hari dan minggu, ada yang sampai beberapa bulan, namun ada juga yang berlangsung bertahun-tahun. Yang berakibat kematian jutaan jiwa warga sipil.
Salah satu ilustrasi nyata adalah ketika pada 1947-1950 AS mengerahkan pasukan militernya mendukung pemerintahan militer sayap kanan Yunani dengan dalih untuk mencegah Uni Soviet meluaskan pengaruhnya di Yunani. Berdasarkan dalih tersebut, intervensi militer maupun bantuan militer AS berlangsung selama beberapa dekade dengan dalih untuk membendung ideologi dan pengaruh komunis.
(Baca juga Wiliam Blum: Demokrasi, Ekspor Amerika Paling Mematikan)
Di Korea pada 1950-1953, tentara AS membantu Korea Selatan untuk berperang melawan Korea Utara. Ini merupakan salah satu fase paling menyedihkan dalam era Perang Dingin.
Di Vietnam, Kamboja, dan Laos pada 1955-1975, tentara AS dikerahkan untuk membantu Vietnam Selatan berperang melawan Vietnam Utara. Ini merupakan perang proksi (proxy war) terlama dan paling mematikan dalam era Perang Dingin. Seperti pengeboman secara massif dari udara terhadap warga sipil Laos dan Kamboja.
Guatemala pada 1960-1996, tentara AS mendukung rejim militer Guatemala melalui bantuan militer maupun beberapa bantuan lainnya dalam kerangka Operasi Pembasmian kelopok-kelompok dan organ-organ Anti-Komunis.
Indonesia pada 1958-1961, tentara AS membantu para pemberontak dari Sumatera Barat dan Sulawesi Utara, yang kelak dikenal dengan PRRI/PERMESTA, untuk melawan pemerintah pusat yang dipimpin Presiden Sukarno sebagai Kepala Negara. Meski operasi militer terselubung AS membantu pemberontakan PRRI/Permesta berhasil digagalkan, namun operasi tersebut digunakan Pentagon dan CIA sebagai Covert Reconnaissance Operation/Operasi Pengintaian Tersembunyi. Untuk memetakan perwira-perwira tinggi militer yang pada dasarnya pro Sukarno, anti-komunis atau nasionalis pro Sukarno namun non-komunis. Inilah yang kemudian pemetaan tersebut digunakan Pentagon dan CIA ketika meletus Gerakan 30 September 1965, sehingga memudahkan bagi AS untuk membantu Jenderal Suharto merebut kekuasaan dari Sukarno secara definitif pada 1967.
Di Kuba pada 1961, tentara AS membantu para milisi anti-Fidel Castro untuk melancarkan aksi militer di kota Havana, menumbangkan pemerintahan Fidel Castro. Namun operasi yang dikenal dengan Invasi Bay of Pig (Teluk Babi), akhirnya gagal total. Dan Allen Dulles, Direktur CIA, dipecat oleh Presiden Kennedy dan digantikan oleh John McCone.
Republik Dominika, 1965-1966, Invasi militer AS ke Republik Dominika di Amerika Latin, untuk tetap memastikan bahwa negeri ini tetap berada dalam genggaman AS sebagai client state.
Kongo, 1967, AS membantu rejim Mobutu dengan peralatan militer berat dan munisi.
Chile (1973), tanpa keraguan sedikitpun, tentara AS membantu kudeta militer yang dipimpin Jenderal August Pinochet, menggulingkan pemerintahan Salvador Allende.
Angola, 1976-1992, tentara AS membantu perlawanan militer dan percobaan kudeta terhadap pemerintahan sayap kiri.
El Salvador 1979-1992, pemerintah AS mendukung terbentuknya rejim militer sayap kanan seraya membantu tentara Salvador menumpas perlawanan bersenjata dari kelompok sayap kiri El Salvador.
Nikaragua, 1981-1988, pemerintah AS membantu kelompok sayap kana Kontras untuk memerangi pemerintahan Sandinista.
Granada, 1983, tentara AS menginvasi Grenada untuk memastikan bahwa negara tersebut tetap menjadi sekutu yang dapat diandalkan.
Libya, 1986, tentara AS mengebom Libya, sebagai serangan pada tahap awal dengan menggunakan dalih untuk memerangi Terorisme Internasional sebagai alasan pembenaran.
Iran, 1987-1988, pasukan tempur laut dan udara AS dikerahkan untuk menghadapi tentara Iran, termasuk menembak jatuh sebuah pesawat terbang sipil sehingga menewaskan seluruh penumpang di dalam pesawat.
Semua tadi berlangsung selama era Perang Dingin. Namun seusai Perang Dingin, bukan berarti modu operasi yang bertumpu pada Strategi Intervensi Militer tersebut berkurang atau berakhir. Nampaknya tetap berlangsung hingga kini, seperti pemaparan berikut ini:
Panama, 1989-1990, AS melancarkan invasi militer untuk menggulingkan pemerintahan sah yang berkuasa di Panama.
Irak, 1990-2003, pasukan AS melancarkan serangan militer melalui udara dan darat untuk merebut kembali Kuwait dari tangan Irakd dalam Perang Teluk Pertama. Yang kemudian diikuti dengan aksi pelumpuhan ekonomi melalui sanksi ekonomi, yang pada perkembangannya melumpuhkan kehidupan sosial-ekonomi rakyat Irak.
Somali, 1992-1995, tentara AS menginvasi Somalia untuk mengamankan cadangan minyak di negeri tersebut untuk kepentingan beberapa korporasi minyak besar di Amerika.
Haiti, 1994-1995, tentara AS menginvasi Haiti untuk menata ulang kembali persekutuan AS-Haiti, dengan menggulingkan pemerintahan yang berkuasa saat itu melalui kudeta.
Yugoslavia, 1993-1999, dengan dibingkai melalui Operasi Militer di bawah kendali komando North Atlantic Treaty Organization (NATO), pasukan angkatan udara AS mengebom negeri tersebut. Inilah serangan militer pertama AS ke kawasan Eropa sejak berakhirnya Perang Dunia II.
Pada era aba ke-21, dengan menggunakan dalih War on Terror, AS melancarkan invansi militer berskala besar terhadap:
Afghanistan, 2001-2021, tentara AS menginvasi Afghanistan dengan dalih untuk membalas aksi terorisme ke gedung WTC dan Pentagon pada September 2001, sekaligus mengejar Al-Qaeda dan Osama bin Laden.
Yaman, 2022-2023, AS mengirim pasukan khusus/special operations forces ke Yaman, dan melancarkan serangan udara dengan menggunakan pesawat drone terhadap Al-Qaeda.
Irak, 2003-2011, 2014-2021, tentara AS menginvasi Irak dengan dalih mencegah penggunaan senjata pemusnah massal/weapons of mass destruction, padahal sasaran sesungguhnya adalah untuk menggulingkan Presiden Saddam Hussein. Selanjutnya diikuti dengan melancarkan serangan udara lewat pesawat nir-awak drone dengan dalih untuk memberikan bantuan militer menumpas kelompok militant ISIS (Islamic State of Iraq and Syria). Padahal ISIS itu sendiri sejatinya merupakan binaan CIA dan MOSSAD.
Pakistan, 2001; 2004-2018, AS mengerahkan pasukan militernya untuk membantu invasi-nya ke Afghanistan terhadap Al-Qaeda, juga dikerahkan untuk melancarkan serangan udara dengan pesawat nir-awak drone, dengan dalih untuk menumpas beberpaa kelompok pemberontakan bersenjata di Pakistan.
Libya, 2011-2020, dengan bingkai Intervensi Kemanusiaan sebagai kedok Operasi Militer NATO, AS bersama Inggris dan Perancis melancarkan serangan udara dengan menggunakan pesawat drone maupun serangan darat, untuk menggulingkan pemerintahan Moammar Gaddafi.
Suriah, 2014-2021, pasukan angkatan udara AS melancarkan serangan udara dan operasi militer lewat darat, untuk melawan ISIS dan menggulingkan pemerintahan Presiden Bashar al-Assad. Namun berkat ketahanan nasional Suriah yang kokoh, Bashar Al Assad gagal untuk digulingkan hingga kini.
Ukraina, 2022-sekarang, upaya AS untuk memperluas pengaruhnya di wilayah perbatasan Rusia, termasuk dengan mengajak Ukraina bergabung dalam NATO, telah memprovokasi Rusia melancakan aksi militer terbatas terhadap Ukraina. Sehingga konflik bersenjata Rusia-Ukraina masih berlarut-larut hingga kini. Perang Proksi/ Proxy War yang dilancarkan AS di Ukraina, membuka kesempatan bagi tentara AS untuk melancarkan dukungan militer secara massif kepada Ukraina.
Palestina, 2023-sekarang, sampai sekarang AS merupakan pendukung utama Israel dalam melancarkan genosida terhadap warga sipil Arab Palestina. Israel juga merupakan penerima bantuan militer terbessar dari AS. Bahkan meningkat tiga kali lipat pada 2024, sejak dilancarkannya aksi militer Israel ke Gaza.
Aksi militer AS dengan membantu Israel dalam melancarkan genosida terhadap Arab Palestina, telah melanggar Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Penyelesaian Konflik Secara Damai, dan menahan diri untuk menggunakan senjata kecuali untuk membela diri dari negara asing.
Padahal pada kenyataannya, tak satupun negara yang menjadi sasaran aksi militer AS, telah melakukan tindak-permusuhan terhadap AS. Serangan AS tanpa persetujuan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, telah melanggar beberapa resolusi Dewan Keamanan PBB maupun Hukum Internasional.
Akibat serangan brutal tentara AS di pelbagai kawasan sebagaiman tersebut di atas, 13 hingga 23 juta orang tewas di hampir 28 negara. Serangan militer AS ke 16 negara telah mengakibatkan tewasnya 7 sampai 13 juta orang tewas.
Adapun dukungan militer AS dari baik secara langsung maupun dari belakang layar, atau melalui beberapa operasi terselubung menyulut konflik bersenjata di 19 negara, mengakibatkan tewasnya 6 hingga 10 juta orang.
Singkat cerita, ada ratusan ribu orang atau lebih yang terbunuh yang terjadi di negara-negara satelit AS, baik melalui dana bantuan militer maupun pasokan peralatan militer, seperti kepada Filipina, salah satu dari sekutu tradisional AS di Asia Tenggara.
Yang saya mau sampaikan, strategi militer AS mengakibatkan biaya kemanusiaan yang sangat besar, hanya untuk mempertahankan hegemoni global dan kepentingan-kepentingan koprorasi AS untuk menguasai akses sumberdaya alam vital seperti minyak dan gas bumi, tambang batubara dan mineral.
Berdasarkan laporan dari Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), anggaran militer yang sudah dikeluarkan AS adalah sebesar 916 miliar dolar AS pada 2023. Ini merupakan anggaran militer terbesar di dunia. Ini bahkan tiga kali lipat lebih besar daripada negara adikuasa pesaing AS yaitu Cina, yang anggaran militernya pada 2023 hanya 296 miliar dolar AS.
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)