Pada 4 Juli 2024 lalu, Kongres Amerika Serikat mengesahkan undang-undang yang memberikan sanksi kepada Mahkamah Pidana Internasional (ICC) menyusul keluarnya surat perintah kejaksaan untuk menangkap Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu beserta para pejabat Israel lainnya.
Meskipun Rancangan Undang-Undang tersebut tidak mendapat dukungan yang cukup besar dari Partai Demokrat, namun para anggota kongres dari Partai Republik akhirnya berhasil menggalang suara sebesar 247 suara mendukung RUU tersebut, adapun yang menentang RUU yang sebagian besar dimotori oleh partai demokrat, hanya berhasil meraup dukungan suara sebesar 155 suara.
Baca:
US House passes Republican bill to sanction International Criminal Court over Israel
Apa yang bisa kita maknai dari peristiwa tersebut? Manuver politik yang dipertunjukkan oleh Partai Republik yang memotori dukungan terhadap Undang-Undang pemberian sanksi terhadap ICC tersebut ditentang oleh Partai Demokrat maupun Gedung Putih, namun sejatinya hal itu sekadar Sandiwara Politik.
Pada intinya, apa yang dilakukan oleh ICC dengan mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu dan para pejabat tinggi Israel, tidak lebih hanya sekadar Pertunjukkan Politik/Political Show. Untuk memberi kesan bahwa ICC sebagai organisasi internasional mampu bersikap independen terhadap campurtangan dari Amerika Serikat maupun Israel. Para pihak yang berwenang di ICC pun tahu bahwa Amerika Serikat hingga kini sama sekali belum menjadi anggota ICC.
Mari kita cermati secara seksama pernyataan Ketua Komite Hubungan Luar Negeri Kongres dari Partai Republik, Mike McCaul. Mike McCaul, mengatakan undang-undang ini mungkin tidak akan menjadi hukum dan membuka pintu untuk negosiasi lebih lanjut dengan Gedung Putih. Mereka ingin Kongres bersatu melawan ICC, “Kita selalu lebih kuat ketika kita berbicara dengan satu suara sebagai satu negara,” kata McCaul.
Baca juga:
Kongres AS Sahkan UU Sanksi ke Mahkamah Internasional Usai ICC Keluarkan Perintah Tangkap Netanyahu
Tersirat melalui pernyataan Mike McCaul, bahwa misi sesungguhnya di balik pengesahan Undang-Undang Pemberian Sanksi terhadap ICC adalah agar pemerintah AS di bawah kepemimpinan Presidn Joe Biden, tetap berkomitmen mendukung dan melindungi Benyamin Netanyahu dan Kebijakan Luar Negeri Israel di Timur-Tengah.
Hampir bisa dipastikan bahwa manuver antara Kongres dan Gedung Putih yang seakan-akan berseberangan tersebut, sejatinya tetap satu visi dan misi. Mendukung Negara Israel dan melindungi para pejabat tinggi pemerintahan Israel yang didakwa terlibat dalam pelanggaran berat hak-hak asasi manusia dan kejahatan perang.
Dengan begitu, seturut keluarnya Undang-Undang pemberian sanksi terhadap ICC, berarti kewenangan dan yuridiksi hukum ICC untuk memasuki AS pun berhasil dilumpuhkan. Lantaran dengan pemberlakuan Undang-Undang tersebut, berbagai pihak yang dipandang terlibat mendukung persekusi yang dilakukan ICC terhadap para pejabat AS maupun pemerintahan yang termasuk sekutu-sekutu AS termasuk Israel, akan segeral mendapatkan sanksi.
Pada saat yang sama adanya UU tersebut akan melarang apra pejabat dan penegak hukum dari ICC untuk memasuki wilayah kedaulatan AS dengan tidak memberikan visa memasuki AS kepada para pejabat maupun penegak hukum ICC.
Pada Mei 2024 lalu Jaksa Agung Penuntut Umum ICC Karim Khan telah mengeluarkan surat penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Netanyahu dan Menteri Pertahahan dan tiga pemimpin Hamas atas dakwaan telah melakukan Kejahatan Perang/War Crimes dan Kejahatan Kemanusiaan/ Crime against Humanity.
M Israel Benyamin Netanyahu saat pidato di pertemuan Lobi Yahudi dan Lobi Zionis AIPAC di Amerika Serikat. Kongres AS hari Selasa, 4/6/2024, mengesahkan undang-undang sanksi kepada Mahkamah Pidana Internasional ICC usai jaksa meminta surat perintah penangkapan untuk PM Israel Benjamin Netanyahu dan pejabat Israel lainnya. (Sumber: AP Photo)Namun isi surat perintah yang cukup aneh dengan menyamakan Benyamin Netanyahu dan para pemimpin Hamas sebagai sama-sama telah melakukan tindak kejahatan perang, secara teknis bisa dipastikan tidak akan efektif. Mana mau Hamas dan seluruh pejuang kemerdekaan Palestina disamakan sebagai penjahat perang seperti Netanyahu maupun Menteri Pertahanan Galant. Bagi para Pejuang Kemerdekaan Palestina, tentara Israel lah yang merupakan para penjahat perang yang sesungguhnya. Kalau para penegak hukum ICC sendiri sudah bisa memprediksi bahwa surat perintah penangkapan terhadap Netanyuhu dan para pemimpin Hamas tidak akan bisa terwujud, lalu apa motivasi sesungguhnya dengan surat perintah penangkapan tersebut?
Sulit untuk dibantah bahwa langkah dan manuver hukum ICC sejatinya hanya Aksi Public Relations belaka. Untuk mempertunjukkan kepada publik bahwa ICC bersikap independen dan tidak berada dalam kendali Washington.
Fakta untuk mendukung analisis tersebut cukup jelas. Meskipun AS bukan anggota ICC, namun kalau kita cermati secara jeli, negara-negara blok Barat praktis menguasai wacana dan arah kebijakan ICC. Negara-negara pemberi dana bantuan kepada ICC sepenuhnya atas persetujuan AS. Seperti Jepang, Jerman, Prancis, Inggris dan Italia.
Satu lagi fakta yang tak boleh diabaikan. Anggaran tahunan ICC adalah sekitar 150 juta dolar AS, sehingga melebihi jumlah anggaran Mahkamah Internasional yang berada dalam naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Selain dari itu, setelah Perang Rusia-Ukraina berakhir, beberapa negara Eropa Barat telah meningkatkan alokasi anggarannya untuk ICC.
Dengan demikian, bisa dimengerti jika beberapa negara berkembang maupun yang baru bangkit sebagai negara maju seperti Cina, India, Turki, dan Arab Saudi, hingga kini tetap tidak tertarik bergabung sebagai anggota ICC, sebab mereka tahu bahwa setiap saat mekanisme ICC bisa diubah sehingga berakibat merugikan kepentingan nasional mereka. Begitupula Indonesia yang hingga kinipun masih tetap menolak bergabung sebagai anggota ICC.
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)