Semakin Kuatnya Tekanan Internal dan Eksternal, Menghancurkan Reputasi dan Kredibilitas ICC

Bagikan artikel ini

Keputusan International Criminal Court (ICC) mengirim surat perintah penangkapan terhadap Benyamin Nentanyahu dalam satu segi memang tepat. Bahwa keberadaan Israel yang berkelanjutan di Palestina. Sehingga Israel harus mengakhiri keberadaannya di seluruh wilayah Palestina secepatnya, dan harus segera menghentikan aktivitas pemukiran baru.

Bahwa Israel, dengan kontrolnya yang terus-menerus, tidak terbatas, diskriminatif, disertai dengan aneksasi terhadap wilayah tersebut, pada dasarnya telah melanggar hak Palestina untuk menentukan nasib sendiri dan melawan upaya perolehan wilayah dengan melalui invasi militer.

Dua otoritas penting Israel yang jadi sasaran surat perintah penangkapan ICC itu adalah Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan kepala pertahanan Yoav Gallant.

Namun bagaimana pada kenyataannya hal itu bisa diwujudkan? Sayangnya, entah disadari atau tidak, keputusan ICC sepertinya dari awal dihadapkan dengan sebuah skenario jalan buntu? Misalnya saja, melalui para penasehat hukumnya, pemerintah Israel agar ICC untuk mempertimbangkan ulang yurisdiksi ICC atas kejahatan yang dilakukan di wilayah-wilayah Palestina.

Meskipun kemudian pada 25 April 2025 Kamar Banding Mahkamah Pidana Internasional (ICC) telah mengklarifikasi bahwa meskipun pihaknya telah menerima banding Israel untuk pertimbangan ulang yurisdiksi ICC atas kejahatan yang dilakukan di wilayah-wilayah Palestina, hal ini tidak memengaruhi surat perintah penangkapan yang berlaku.

Namun dengan adanya banding dari pihak Israel, dan ICC tetap bersikukuh pada keputusannya semula, dalam prakteknya Netanyahu dan Yoav Gallant tetap bebas dari jerat hukum.  Namun yang lebih krusial lagi, reputasi ICC itu sendiri saat ini sedang dipertaruhkan dan bermasalah.

Sebagaimana artikel yang ditulis oleh Janet Anderson, Jaksa Penuntut Umum ICC, Karim Khan, yang terpilih pada Februari 2021 melalui prosedur yang cukup demokratis, namun pada Desember 2021, tiba-tiba saja Keretakan mulai muncul ketika ICC mulai menyelidiki Konflik Palestina-Israel.

Baca:

Pressure mounts on the ICC

Janet Anderson menulis: “ Penyelidikan terhadap konflik Israel-Palestina telah menempatkan pengadilan tersebut di garis depan politik dunia. Lembaga tersebut menghadapi tekanan dari berbagai sisi, baik eksternal maupun internal. Dan para pendukung pengadilan bertanya-tanya apakah negara-negara bagian akan meningkatkan perlindungannya terhadap lembaga yang mereka negosiasikan pada tahun 1998.”

Dalam penuturan Janet Anderson selanjutnya, pada Oktober 2024 lalu,  20 warga Palestina “mengajukan pengaduan pidana kepada Kantor Kejaksaan Umum Belanda ( Openbaar Ministerie ) karena menghalangi dan memengaruhi investigasi ICC ke dalam ‘ Situasi di Negara Palestina ‘ dan pelecehan, intimidasi, tekanan dan pencemaran nama baik staf ICC, termasuk jaksa ICC, dalam proses investigasi ini”.

Para pengacara mendasarkan pengaduan tersebut pada investigasi jurnalis ke dalam kampanye intimidasi oleh dinas intelijen Israel terhadap pendahulu Karim Khan, Fatou Bensouda. Mereka mengatakan  -berdasarkan pantauan media itu – bahwa “investigasi Belanda harus fokus pada anggota (senior) dari aparat keamanan Israel”. Menurut Danya Chaikel, perwakilan Federasi Hak Asasi Manusia Internasional di pengadilan, “diplomasi saja jelas tidak akan menyelesaikan ini, dan tindakan hukum diperlukan untuk meminta pertanggungjawaban mereka yang bertanggung jawab dan untuk menjaga integritas Pengadilan”.

Yang lebih mengejutkan lagi, Janet Anderson dengan melansir liputan investigatif dari harian terkemuka Inggris, The Guardian, dinas keamanan eksternal Israel Shin Bet, direktorat intelijen militer Aman, dan divisi intelijen siber Unit 8200 terlibat dalam operasi yang menggagalkan upaya ICC menyeret Netanyahu dan Yoav Gallant, apalagi menyentuh isu konflik Palestina-Israel.

Tekanan terhadap ICC juga datang dari Amerika Serikat, salah satu sekutu strategis Israel. Sejak tahun 2020 AS telah memberlakukan sanksi terhadap pejabat senior ICC, termasuk mantan Jaksa  mantan jaksa Bensouda, yang mengganggu akses mereka ke layanan perbankan global, yang mengakibatkan bank-bank non-AS menolak menyediakan layanan, kehilangan cakupan asuransi, dan kesulitan dalam membuat kontrak dengan banyak penyedia komersial.

Lebih gilanya lagi, menurut kententuan dari  Undang-Undang Penanggulangan Pengadilan Ilegal Senat AS tahun 2023  memberikan sanksi terhadap karyawan dan rekanan Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) jika ICC menyelidiki atau mengajukan tuntutan terhadap individu tertentu,” termasuk “anggota angkatan bersenjata sekutu atau mitra AS”.

Jelas lah sudah, reputasi ICC sebagai lembaga hukum internasional yang independen, saat ini benar-benar dalam bahaya. AS sebagai negara adikuasa dan tidak terikat pada Statuta Roma, benar-benar dalam posisi untuk memaksakan kehendaknya agar ICC tidak menyentuh isu-isu hukum yang melibatkan kejahatan berat hak-hak asasi manusia di luar negeri. Seperti invasi AS ke Afghanistan 2001, invasi AS ke Irak 2003, dan dukungan total terhadap aneksasi dan agresi militer Israel terhadap warga Palestina.

Namun itu baru setengah dari cerita. Ditengah-tengah semakin besarnya harapan banyak kalangan terhadap kinerja Mahkamah Pidana Internasional (ICC) untuk membongkar Kejahatan Perang dan Pelanggaran Hak-Hak Asasi Manusia Berat yang melibatkan para pejabat tinggi negara di pelbagai belahan dunia, di internal ICC muncul aroma tidak sedap melibatkan salah satu tokoh sentralnya, Jaksa ICC Karim Khan.

TEMPO.CO, Jakarta -Seperti dilansir oleh harian Inggris The Guardian,  seorang pengacara perempuan mengaku telah menjadi korban pelecehan seksual yang dilakukan oleh Karim Khan, seraya mengkhawatirkan kemampuan Pengawasan Internal ICC (Mekanisme Pengawasan Independen  (IOM).

Menanggapi pengaduan pengacara perempuan tersebut, The Guardian melaporkan bahwa  bahwa Khan menanggapi pengaduan pelecehan seksual resmi terhadapnya dengan mencoba membujuk korban yang dituduh agar dia menyangkal tuduhan tersebut, meskipun telah disarankan untuk menghindari kontak langsung. Khan membantah telah meminta wanita tersebut untuk menarik kembali tuduhan apa pun. Demikian dilaporkan The Guardian.

Apa yang bisa kita maknai dari peristiwa skandal pelecehan seksual yang melibatkan Jaksa ICC tersebut? Mau tidak mau, kita semakin meragukan kredibilitas ICC ketika  di bawah kepemimpinan Karim Khan telah meminta melayangkan surat perintah penangkapan yang terkait dengan konflik di Jalur Gaza. Yang mana Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant, serta para pemimpin Hamas Yahiya Sinwar, Mohammed Deif, dan Ismail Haniyeh bertanggung jawab pidana atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan sejak hari serangan Hamas terhadap Israel pada tanggal 7 Oktober 2023, berikut efek berantai yang terjadi kemudian, yaitu tewasnya ratusan rubu warga sipil di Gaza.

Selain ICC sendiri saat ini diragukan netralitas politiknya, lantaran cenderung pro AS dan negara-negara blok Barat, reputasi pribadi Karim Khan sendiri terlepas adanya pengaduan pelecehan seksual terhadap pengacara perempuan oleh Khan, kiranya perlu adanya investigasi tambahan yaitu terkait  indikasi adanya indikasi lain, sinyalemen adanya hubungan yang kolutif dan koruptif antara Karim Khan dengan badan intelijen AS dan Inggris.

Sehingga hal itu  juga mengundang satu pertanyaan lain yang tak kalah krusial, siapa negara-negara pemberi dana bantuan kepada ICC? Jepang dan Korea Selatan, ditengarai merupakan dua negara Asia Timur yang dalam kebijakan luar negerinya sangat pro AS dan Barat, yang telah memberi bantuan dana kepada ICC. Hal itu perlu diinvestigasi secara mendalam, sebab sumber pendanaan yang berasal dari negara-negara yang terlibat dalam konflik dengan negara-negara dari blok yang berlawanan, bisa dipastikan tidak akan bersikap netral dan obyektif sebagai para penegak hukum ICC.

Dengan begitu, nampak jelas dari mencuatnya kasus pelecehan seksual yang mengindikasikan keterlibatan Karim Khan, ada dua hal yang rawan sedang berlangsung di ICC. Pertama, lemahnya kontrol dan perlindungan internal ICC, termasuk kepada para stafnya sendiri, dan dan tidak kompetennya mekanisme pengamanan internal ICC maupun para pejabat kunci ICC sebagai aparat penegak hukum yang obyektif dan imparsial.

Kedua, tidak kredibel dan tidak kompetennya para pejabat kunci ICC semakin diperkuat oleh perilaku Karim Khan secara pribadi sebagai penegak hukum maupun Jaksa ICC. Ketiga,  ICC sendiri haluan politiknya yang lebih pro AS dan Barat, juga semakin diragukan sebagai badan hukum internasional yang seharusnya bersifat obyektif dan imparsial.

Tekanan terhadap ICC bukan saja berasal dari internal ICC itu sendiri, namun juga dari eksternal. Pada Februari 2025 lalu, Jaksa Karim Khan dikenakan sanksi ekonomi dan perjalanan yang disahkan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Sebagaimana dilansir kantor berita Reuters, 8 Februari 2025, yang sesungguhnya jadi sasaran adalah  ICC karena melakukan penyelidikan terhadap keterlibatan warga negara AS atau sekutu AS, Israel, dalam kasus pembantaian warga sipil Palestina di Gaza.

Maka itu ICC maupun organisasi-organisasi Hak-Hak Asasi Manusia di seluruh dunia, termasuk Indonesia, kiranya punya alasan yang sangat kuat untuk mendesak Karim Khan mundur sebagai Jaksa ICC. Lantaran sebagai Jaksa penuntut umum ICC, telah merusak sendiri reputasi dan kredibilitasnya sebagai sosok yang tidak bermoral, tidak kompeten, dan sepenuhnya telah menjadi agen proksi (proxy agent)  para agen-agen intelijen dari negara-negara Barat, utamanya AS dan Inggris.

Sebagai dampak dari kejadian tersebut, hilangnya kepercayaan dan kredibilitas pimpinan tertinggi ICC tersebut, pada perkembangannya juga akan merusak otoritas (kewenangan) ICC dan dirinya sebagai Jaksa ICC, dalam mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Benyamin Netanyahu, mantan Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant.

Namun, masalah krusial ICC bukan hanya terkait konflik Palestina-Israel. Pada 27 November 2024 lalu, Jaksa ICC mengajukan surat perintah penangkapan terhadap pemimpin militer Myanmar, Min Aung Hlaing, atas dugaan penganiayaan terhadap komunitas Rohingya. Keputusan tersebut sebagai respons ICC terhadap kejahatan serius yang dilakukan terhadap minoritas Muslim Rohingya di Myanmar dan Bangladesh. Kantor kejaksaan ICC menyatakan permohonan surat perintah penangkapan ini didasarkan pada penyelidikan yang ekstensif, independen, dan tak memihak.

Meskipun  pemerintah Myanmar yang mayoritas beragama Buddha membantah tuduhan tersebut. Mereka mengeklaim operasinya hanya menargetkan kelompok teroris dan bukan warga sipil. Dalam kasus ini, memang agak berbeda dengan kasus genosida Israel di Gaza. Namun terkait netralitas dan independensi ICC dalam menangani kasus pelanggaran HAM Berat atau Kejahatan Perang, bisa saja dalam prakteknya ICC justru mengikuti arahan dan perintah dari Washington. Apalagi dalam isu hak-hak asasi manusia, sudut pandang Barat dan bangsa-bangsa Timur, terutama Asia, sangatlah berbeda. Seperti terlihat jelas melalui bantahan otoritas Myanmar.

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com