Semangat Asianis Jepang: Menciptakan Sistem Perbudakan Seksual Militer Jepang Sebagai Logistik Perang Asia Pasifik1931-1945

Bagikan artikel ini

Eka Hindra–Peneliti Independen Jugun Ianfu Indonesia

Di Jepang ada pepatah kuno yang berbunyi “Bangsa di Utara, Bahan di Selatan” (Hokojin-Nanbutsu), Utara berarti Barat yang modern dan selatan yang berarti Asia yang terbelakang. Bagi Jepang Modern Utara merupakan sumber ilmu pengetahuan dan teknologi dan sasaran yang harus di jangkau dan dilampaui. Sedangkan Selatan selalu dimpandang sebagai jalur hidupnya.

Intelektual terkenal Jepang Kenichi Goto mencatat Jepang berusaha menguasai bahan-bahan di Selatan dengan jalan diplomatis, ancaman maupun penggunaaan kekerasan juga menganjurkan Asianisme . Hasrat untuk memperoleh bahan-bahan dari Selatan menandai perilaku “Jepang Modern” di Asia semenjak Perang Cina-Jepang tahun 1894-1895, melalui pendudukan militer atas seluruh wialyah Laut Selatan (Asia Tenggara).

Sebelum Jepang modern memiliki kesadaran bahwa bagian Selatan juga terdapat “Bangsa”, puluhan ribu orang Jepang yang bukan merupakan arus dari “Jepang modern” sudah hijrah lebih dulu ke Selatan karena faktor ekonomi. Mereka ini golongan pedagang dan petani yang bermukin di Selatan. Tahun 1930 merupakan kebangkitan dari arus gelombang Asianis di wilayah Selatan. Orang-orang Jepang yang telah berbaur di Selatan menyadari sepnuhnya akan hasrat orang pribumi untuk melepaskan diri dari belanggu penjajahan bangsa barat dan membutuhkan bantuan militer Jepang untuk membebaskan wilayah Selatan dari kolonialisasi Belanda . Kondisi tersebut di Indonesia ditandai dengan orang-orang Jepang yang telah lama hidup di Indonesia pada periode kolonialisme Belanda.

Jauh sebelum militer Jepang mendarat di Indonesia, pihak Jepang dengan segala jalan dan kelicinan berusaha untuk menarik simpati rakyat Indonesia Umumnya mereka bersikap sopan secara umum, jadi bertentangan dengan orang-orang Belanda yang tampaknya angkuh dan tinggi hati terhadap orang-orang pribumi.

Sebelum Perang Dunia II, haluan Politik luar negeri yang dianut Kekaisaran Jepang sudah menunjukkan keinginan untuk melakukan ekspansi yang disebabkan oleh tiga faktor, antara lain kepadatan penduduk, kesulitan ekonomi. Akibat krisis ekonomi dunia 1930, Jepang mengalami kekurangan bahan baku untuk perkembangan industri di dalam negeri dan pertimbangan politik.

Pada tahun 1931, tentara Jepang menyerbu daratan Cina dan membangun pangkalan militer untuk menguasai daratan Cina secara keseluruhan. Hal ini terbukti saat tahun 1936 militer Jepang berhasail menduduki Kota Shanghai dan mulai mencapai Nanjing yang berjarak 360 km dari Shanghai. Demi mewujudkan ambisinya, tidak kurang dari 135.000 tentara Jepang dikerahkan.

Serbuan Jepang membuat peperangan tidak terhindarakan, rakyat Cina melawan.Bertahun-tahun berperang membuat militer Jepang kehabisan persediaan makanan. Mereka kemusian menjarahi rumah-rumah penduduk. Hal ini membuat Cina melakukan perlawanan yang lebih gigih lagi. Akibat peperangan yang berkepanjangan, sebagian besar tentara Jepang mengalami gangguan mental dan menjadi gila. Mereka mulai membunuhi rakyat sipil dan militer mulai memperkosa perempuan yang mereka lihat di mana saja dan langsung membunuhnya.

Sesudah Kota Nanjing diduduki militer Jepang, banyak diantara mereka menderita penyakit kelamin. Oleh karena situasi inilah pihak Angkatan Darat Jepang membuat kebijakan baru yaitu ; 1. Tentara yang menderita penyakit kelamin tidak boleh pulang ke Jepang sampai mereka sembuh, agar penyakit kelamin tidak menyebar ke Negara Jepang. 2. Militer Jepang menyediakan perempuan-perempuan ”bersih” untuk tentara Jepang , supaya tidak terjangkit penyakit kelamin. Akibat kebijakan tersebut 200.000 lebih perempuan di kawasan Asia seperti Negara Taiwan, Korea Utara, Korea Selatan, Cina, Filipina, Malaysia, Timor Leste, Belanda dan Indonesia dikorbankan sebagai budak seks untuk memuaskan kebutuhan seksual sipil dan militer Jepang yang dikenal dengan sebutan Jugun Ianfu.

Indonesia dalam skenario Perang Pasifik 1931-1945 merupakan wilayah logistik bagi kekuatan perang militer Jepang. Melalui pertimbangan bahwa perang modern menaklukan Asia Pacifik yang dilakukan militer Jepang tidak akan mungkin dilakukan tanpa minyak. Hindia Belanda (sekarang Indonesia) merupakan wilayah yang memiliki kandungan minyak besar di Asia.
Tanggal 1 Maret 1942 militer Jepang mulai mendaratkan balatentaranya di daerah Banten, Eretan Wetan (Indramayu) dan disekitar Lasem (Rembang). Militer belanda yang berkekuatan 3 Divisi tidak kuat menghadapi gempuran kekuatan militer Jepang yang besar. Pulau Jawa hanya berhasil dipertahankan militer Belanda 8 hari saja. Sejak saat itu Hindia Belanda dibawah kekuasaan militerisme Jepang.

Kedatangan balatentara Jepang sempat disambut baik rakyat Indonesia yang berharap kemerdekaan yang diimpikan dari kolonialisme Belanda. Namun Demikian impian itu tidak pernah terwujud. Malahan tentara Jepang memaksa rakyat Indonesia untuk mendukungnya untuk memenangkan perang di Asia Pasifik. Dukungan itu antara lain berupa logistik, tenaga manusia untuk membangun infra struktur proses pembangunan industrinya.

Pengerahan tenaga manusia secara paksa, dengan cara mengumpulkan laki-laki usia antara 16-40 tahun dan perempuan 16-25 tahun yang direkrut dari desa-desa . Tenaga laki-laki dijadikan Romusa (budak pekerja) dan yang perempuan dijadikan Jugun Ianfu (budak seks). Sebagian besar perempuan yang dijadikan Jugun Ianfu dipaksa dengan cara-cara kekerasan, tipu muslihat dan ancaman/teror. Para perempuan ini kemudian dimasukkan ke sebuah tempat khusus yang bernama Ian-jo, rumah bordil ala Jepang. Beberapa bentuk bangunan Ian-jo yang dipakai untuk menampung perempuan-perempuan yang dijadikan Jugun Ianfu antara lain bekas asrama peninggalan Belanda, markas militer Jepang dan rumah-rumah penduduk yang sengaja dikosongkan. Tempat tersebut biasanya dijaga ketat oleh militer Jepang. Perempuan yang telah dimasukan ke Ian-jo diberi kamar dengan nomor kamar dan nama Jepang yang tertera dipintu kamar.

Militer Jepang tidak bekerja sendirian melakukan operasi tersebut. Mereka didukung pejabat setempat seperti lurah dan camat serta melalui Tonarigumi (RT/RW). Para pejabat lokal ini mengumpulkan puluhan perempuan miskin dan bodoh untuk dirampas dan dihancurkan martabatnya oleh laki-laki sipil dan militer Jepang. Jika operasi ini mendapat kecaman masyarakat, maka militer Jepang memakai tangan penguasa setempat untuk menutupi perbuatan biadab mereka.

Kasus Jugun Ianfu tahun 1993 terkuak setelah lima pengacara Jepang yang tergabung dalam Neihibenren (Asosiasi Advokat Pengacara Jepang) menghubungi LBH Jakarta untuk meminta masukan mengenai penyelesaian masalah Jugun Ianfu di Indonesia. Di saat yang bersamaan Departemen Sosial melalui Inten Suweni mengumumkan ke publik melalui koran Harian Merdeka dengan menyatakan bahwa, ”Wanita penghibur jaman Jepang harus di cari”. Saat ini tercatat sebanyak 1156 Jugun Ianfu yang telah melaporkan kasusnya ke LBH Yogyakarta, selain itu sejak tahun 1996 Forum ex Heiho juga mendata jumlah Jugun Ianfu sekitar 22.000.000 orang. Namun sesungguhnya lebih banyak lagi korban yang tidak melapor kasusnya baik karena malu dan masih menganggap aib perbudakan seksual yang menimpanya, dan juga banyak korban yang telah tutup usia.

Masalah Jugun Ianfu Indonesia telah dianggap selesai oleh Pemerintah Indonesia melalui Menteri Sosial Inten Suweno yang menerima dana bantuan dari Pemerintah Jepang melalui Asia Women’s Fund (AWF) yang didirikan tahun 1995 oleh Pemerintah Jepang dalam upaya menyelesaikan masalah Jugun Ianfu di Asia.

Pemberian dana bantuan antara dua pemerintah ini tertuang dalam Memorandum of Understanding (MoU) tanggal 25 maret 1997 ditandatangani di Jakarta. Dana yang diberikan sebenar 380 juta yen atau sekitar 7,6 milyar rupiah yang akan diangsur Pemerintah Jepang kepada Pemerintah Indonesia selama 10 tahun. Publik sempat mengetahui jika Pemerintah Indonesia menerima angsuran pertama tahun 1997 sebesar 2 juta yen atau sekitar 775 juta rupiah yang rencananya oleh Pemerintah Indonesia uang itu akan di bangun lima panti jompo untuk Jugun Ianfu di lima propinsi yang berbeda di Indonesia antara lain Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sumatra Utara. Namun kenyataannya sampai saat ini, panti jompo yang dijanjikan tidak pernah jelas kabarnya. Sedangkan para Jugun Ianfu tidak pernah menerima dana bantuan dari Pemerintah Indonesia sepeser pun.

Ternyata AWF merupakan kendaraan politik Pemerintah Jepang, untuk melepaskan tanggungjawabnya terhadap masalah Jugun Ianfu Asia. Melalui AWF Pemerintah Jepang memecah solidaritas diantara para Jugun Ianfu Asia dengan menawarkan uang 2 juta yen tanpa permintaan maaf secara resmi ke Jugun Ianfu dari beberapa negara di Asia secara sembunyi-sembunyi. Dana AWF berasal dari para pengusaha swasta dan pajak masyarakat yang tidak mengetahui masalah Jugun Ianfu sebagai hutang perang Pemerintah Jepang yang belum terselesaikan.

Sebagian besar para Jugun Ianfu Asia menolak dana pemberian AWF tersebut, seperti yang dilakukan oleh Kim Hak Soon dari Korea dengan tegas menolak dan menyatakan tersinggung diperlakukan demikian oleh Pemerintah Jepang. Soon menyadari strategi yang dilakukan Pemerintah Jepang ini untuk mengelak dari tanggung jawab atas dosa-dosa perang Asia Pasifik.

Perjuangan Jugun Ianfu Indonesia lebih berat dibanding dengan Jugun Ianfu negara lain. Hal ini dikarenakan Pemerintah Indonesia tidak mendukung perjuangan Jugun Ianfu Indonesia, baik dukungan berupa moril di dalam dan diluar negeri maupun dukungan dana kemanusiaan berupa santunan dana kesehatan. Kenyataan ini dibuktikan dengan pernyataan resmi Inten Suweno 14 November 1996 menyatakan bahwa, ”Sejak awal pemerintah Indonesia telah menyatakan tidak akan menuntut kompesasi kepada Pemerintah Jepang. Pemerintah Indonesia hanya mengharapkan Jepang mencari penyelesaian yang baik”. Melalui penyataan ini jelas Pemerintah Indonesia cuma memikirkan menjaga hubungan baik dengan Pemerintah Jepang. Ketimbang membela dan berjuang untuk warga negaranya yang diperlakukan tidak beradab dan tidak berperikemanusiaan dalam sistem perbudakan seksual militer Jepang 1942-1945.

Bahkan pihak DPR yang seharusnya menjadi kekuatan alternatif moral selain pihak Pemerintah Indonesia melalui surat resminya tanggal 9 Desember 1997 menyatakan bahwa persoalan Jugun Ianfu dianggap selesai berdasarkan kesepakatan perdamaian antara Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Menteri Luar Negeri Soebanrio dan Perdana Menteri Luar Negeri Jepang Chiro Fujiyama 20 Januari 1958. Padahal perjanjian tersebut hanya menyoal soal kerusakan fisik akibat perang, sama sekali tidak memperhitungkan aspek penderitaan kemanusiaan akibat perang.

Sejak kemunculan kasus Jugun Ianfu Indonesia tahun 1993, aksi advokasi litigasi dan non litigasi telah dilakukan oleh beberapa lembaga non pemerintah seperti Lembaga Bantuan Hukum dan Forum ex Heiho Indonesia. Bahkan tahun 2000-2001 Jugun Ianfu Indonesia ikut bersama-sama dengan negara korban di Asia berperan aktif dalam gerakan internasional dalam Tribunal Tokyo 2000 dan Tribunal The Haque (Belanda) 2001 untuk menuntut tanggung jawab Pemerintah Jepang atas dosa-dosa Perang Asia Pasifik atas sistem perbudakan seksual yang diterapkan diseluruh wilayah Asia (Indonesia, Malaysia, Cina, Korea Utara, Korea Selatan, Taiwan, Filipina, Timor Leste dan Belanda yang diduduki militer Jepang 1931-1945.

Meskipun dua tribunal internasional telah menjatuhkan keputusan B E R S A L A H terhadap Kaisar Hirohito, petinggi militer dan pejabat tinggi sipil atas nasib 200.000 perempuan Asia yang dijadikan Jugun Ianfu untuk memuaskan kebutuhan seksual militer dan sipil Jepang pada Perang Asia Pasifik. Atas keputusan bersalah tersebut Negara Jepang harus memenuhi beberapa kewajibannya kepada korban seperti ;

* Pemerintah Jepang harus meminta maaf seara langsung ke setiap Jugun Ianfu Asia dan Belanda.

* Pemerintah jepang harus melakukan upaya rehabilitasi nama baik Jugun Ianfu dan memasukan sejarah Jugun Ianfu Asia ke dalam kurikulum sejarah pendidikan di Jepang (untuk tingkat Asia)

* Pemerintah Jepang harus memberikan dana kompesasi yang diberikan langsung kepada setiap Jugun Ianfu Asia dan Belanda

Untuk konteks Indonesia, sejak kemunculan kasus Jugun Ianfu 1993 sampai sekarang Pemerintah Indonesia masih belum mengakui sepenuhnya masalah Jugun Ianfu sebagai pelanggaran Hak Asasi Perempuan. Ini dapat dilihat dari sikap pasif Pemerintah Indonesia dalam mendukung perjuangan Jugun Ianfu Indonesia untuk menggugat tanggung jawab politik Pemerintah Jepang. Meski Pemerintah Indonesia pasif menangani masalah Jugun Ianfu, namun Pemerintah Indonesia tidak pasif menerima dasa santunan dari Pemerintah Jepang melalui AWF 1997. Untuk terus menyuarakan hak-hak Asasi Jugun Ianfu di Indonesia tahun 2005 sejumlah lembaga non pemerintah dan individu yang menaruh perhatian terhadap masalah Jugun Ianfu membetuk JARINGAN ADVOKASI JUGUN IANFU INDONESIA (JAJI), saat ini anggota Jaringan Advokasi Jugun Ianfu Indonesia antara lain; LBH Jakarta, LBH Yogyakarta, LBH Apik Jakarta, Independen Legal Aid Institute Yogyakarta, Seknas Koalisi Perempuan Indonesia, Komnas HAM, Sekitarkita, YBAB, Kalyanamitra dan individu-individu.

Keterangan: sebagian tulisan ini masuk ke Pengantar Kertas Posisi Advokasi Jugun Ianfu Indonesia (JAJI) dan juga telah diterbitkan di situs prd online.

  1. Asianis; di Jepang berarti desakan agar bangsa-bangsa Asia bersatu di bawah pimpinan Jepang, demi menolak masuknya bangsa-bangsa Barat.
  2. News Letter Jugun Ianfu Vol ; Kimura, Koichi; 2000
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com