Sekelumit kisah di bawah ini merupakan rangkaian cerita kelam berkaitan dengan sepak-terjang MNC sebagai kekuatan global di beberapa negara. Mari kita ambil contoh apa yang terjadi di Guatemala. Baru-baru ini, Jenny Suziani, staf kami di Global Future Institute membuat suatu research pustaka yang relatif cukup komprehensif berkaitan dengan dampak globalisasi terhadap para buruh wanita hamil di sejumlah negara.
Kelakuan MNC AS Gerber Food di Guatemala
Dalam kasus Guatemala, salah satu MNC yang layak kita sorot adalah Gerber Food, yang demi untuk mempromosikan konsumsi susu bayi bagi para wanita di Guatemala, dengan teganya menolak produk perundangan-undangan yang mendukung para ibu untuk menyusui anaknya dengan Air Susu Ibu (ASI). Cara yang ditempuh Gerber Food sebagai korporasi multi-nasional adalah dengan memakasa World Trade Organization (WTO) agar pemerintah Guatemala untuk menekan Guatemala agar menghapus batasan pada produk makanan bayi. Dan Gerber Food berhasil memaksa WTO menekan pemerintah Guatemala.
Padahal, pemerintah Guatemala sebelumnya menetapkan undang-undang untuk mendukung pemberian ASI para Ibu Rumah Tangga, dan pada saat yang sama membatasi penggunaan, juga penyalah-gunaan susu formula bayi, karena terkait dengan tingginya tingkat kematian bayi di negara-negara miskin.
Karenanya Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah mengeluarkan panduan yang berguna bagi konsumen buta huruf. Dalam panduan ini tercantum juga batasan pemakaian adegan atau gambaran pemberian susu botolan pada bayi dalam iklan maupun kegiatan pemasaran lainnya.
Setelah pemerintah Guatemala menerapkan undang-undang tersebut secara efektif pada 1988, penelusuran pustaka beberapa staf kami di Global Future Institute membuktikan bahwa seluruh pemasok susu dalam dan luar negeri di Guatemala mengubah cara pengemasan produk mereka. Hasilnya, tingkat kematian bayi turun drastis.
PBB berpendapat bahwa Guatemala adalah contoh yang baik dalam hal penerapan aturan bagi penggunaan susu formula bayi.
Namun ya itu tadi, Gerber Food sebagai perusahaan multi-nasional Amerika Serikat yang bergerak dalam produk susu bayi, menolak peraturan baru yang diterapkan pemerintah Guatemala terssebut dan bahkan berhasil mengobrak-abrik produk hukum Guatemala tersebut. Perusahaan ini tetap memakai gambar bayi gemuk dan ‘sehat’ di kemasan dan iklan mereka.
Singkat cerita, pemerintah Guatemala gagal memaksa Gerber untuk mengubah kemasan. Gerber meminta pemerintah AS untuk melaporkan tindakan pemerintah Guatemala ini kepada WTO. Pemerintah AS ternyata tidak harus bersusah-payah memberikan laporan, karena pemerintah Guatemala sudah takut terlebih dahulu pada tindakan WTO. Akhirnya pemerintah Guatemala menyatakan bahwa peraturan tentang citra bayi dalam iklan dan pemasaran tidak berlaku bagi produk Gerber. Dengan demikian, Guatemala dipaksa untuk mengorbankan kesejahteraan bayi-bayinya demi kepentingan korporasi tersebut.
Kelakuan MNC Swiss The International Nestle
Satu lagi kisah kelam sepak-terjang jaringan industri raksasa produk susu bayi asal Swiss The International Nestle. Sebagaimana terungkap melalui berbagai sumber, Kampanye menentang cara promosi pabrik susu formula yang tidak etis, mulai berlangsung akhir tahun 1960-an dan awal 1970-an. Semula diwarnai tanda tanya, mampukah kekuatan anti global itu melawan jaringan industri raksasa yang begitu rapi organisasinya.
Namun berbagai kalangan gerakan anti globalisasi nampaknya tak ada ruginya untuk mencoba. Maka ketika itu terbitlah buku The Baby Killer pada tahun 1974 yang berisi pemantauan kelompok konsumen Inggris War on Want yang amat menghebohkan. Buku yang diterjemahkan ke dalam hampir semua bahasa Eropa Barat itu langsung menggugat nama baik Nestle, pabrik susu formula terbesar di dunia asal Swiss tersebut.
Salah satu versi terjemahan buku tadi diterbitkan di Swiss dalam bahasa Jerman. Dengan perubahan judul yang provokatif, Nestle Membunuh Bayi-bayi. Penerbitnya langsung dituntut ke pengadilan oleh Nestle. Lewat proses pengadilan selama dua tahun, 13 orang aktivis konsumen Swiss yang menerbitkan buku terjemahan tadi dinyatakan bersalah, tapi Nestle sendiri memperoleh peringatan keras untuk memperbaiki cara pemasarannya.
Akibatnya, jutaan orang dari puluhan negara bergandengan tangan mengkampanyekan The International Nestle Boycott, yang berlangsung selama enam setengah tahun, sehingga akhirnya perusahaan multinasional itu pada September 1984 memutuskan untuk mengubah citranya. Nestle merupakan perusahaan susu formula pertama yang menghilangkan gambar bayi montok pada kaleng produknya, tiga tahun setelah keluarnya Kode Internasional Pemasaran PASI (Pengganti ASI).
Demikianlah sekelumit kisah mengenai sepak-terjang dua korporasi global Gerber Food dan the International Nestle yang kebetulan keduanya bergerak di sektor produk susu dan makanan bayi.
Tentu saja bukan maksud penulis untuk berpanjang kalam dalam kasus tersebut di atas. Lebih dari itu, kedua kasus tersebut hanya sekadar gambaran kecil betapa besar dan kuatnya pengaruh berbagai korporasi dalam menentukan arah kebijakan strategis pemerintahan suatu negara, bahkan di negara tempat korporasi-korporasi besar tersebut berasal.
Dalam kasus Gerber Food yang merupakan perusahaan multi-nasional Amerika, melalui kasus ini secara nyata membuktikan bahwa pemerintahan di Washington pun harus tunduk pada arahan kebijakan strategis ekonomi yang ditetapkan oleh Gerber Food, sehingga melalui tangan-tangan Gerber Food di Departemen Perdagangan dan bahkan WTO, pada akhirnya mampu memaksa pemerintahan Guatemala agar tidak memberlakukan Undang-Undang pembatasan produk susu dan makanan bayi terhadap Gerber Food.
Sejarah Kelam Kekuatan Korporasi Global Dalam Penggulingan Kekuasaan Pemerintahan Negara-Negara Berkembang
Karena paper ini sudah terlanjur memulai kisah kelam korporasi global melalui kasus Guatemala, maka penulis jadi teringat kembali sepak-terjang satu korporasi global Amerika bernama United Fruit Company dalam memprakarsasi operasi penggulingan pemerintahan berhaluan nasionalis kerakyatan di bawah pimpinan Presiden Jacobo Arbenz Guzman pada 1954.
Arbenz Guzman yang menang pemilu secara demokratis di Guatemala pada 1950, ternyata memiliki rencana-rencana kebijakan yang berorientasi pada keadilan sosial, Salah satunya, tertuju pada land-reform yang dimaksudkan untuk meningkatkan taraf hidup kamu tani miskin di Guatemala.
Melalui program yang dikenal sebagai Decree 900, Arbenz memulai kebijakan reformasi agrarianya. Sementara masyarakat kelompok bawah secara antusias mendukung dan menaruh harapan pada arah kebijakan yang ditempuh Arbenz.
Sebaliknya, para elit pemilik tanah di negeri itu menganggap kebijakan Arbenz sebagai ancaman serius terhadap kepentingan mereka. Alhasil, Arbenz dituduh dan diisukan sebagai “antek komunis” yang berbahaya.
Kegusaran para elit tuan tanah Guatemala pada perkembangannya gayung bersambut dengan para pihak di Washington, khususnya ketika Arbenz bermaksud menasionalisasi perusahaan multi-nasional asal Amerika, United Fruit Company.
Maka hal ini memicu Washington dan Gedung Putih untuk melancarkan operasi menggusur Arbenz, dan singkat cerita, operasi ini berhasil dengan gilang gemilang.
Bagaimana membuktikan keterlibatan United Fruit Company dalam hajantan penggulingan Arbenz pada 1954? Terlepas kebetulan atau tidak, setelah keberhasilan penggulingan Arbenz, Menteri Luar Negeri John Foster Dulles beserta adiknya Allen Dulles yang kebetulan ketika itu merupakan Direktur CIA, terbukti memiliki saham dalam perusahaan United Fruit Company tersebut.
Sebagai imbalannya, United Fruit Company memiliki konsesi penguasaan tanah di Guatemala dengan luas 150 ribu hektar atau setara dengan 600 km persegi.
Yang lebih menarik lagi, perusahaan ini ketika ditelusur sampai akarnya, merupakan perusahaan milik dinasti John D Rockefeller yang bergerak dalam sektor perkebunan pisang dan nanas. Dua jenis tanaman yang merupakan keunggulan komparatif Guatemala.
Selain itu, ada dua anak perusahaan United Fruit Company yaitu International Railways of Central America dan Empress Electrica. Sekadar menambah catatan kelam dan reputasi buruk United Fruit Company, ternyata perusahaan ini tercatat sebagai perusahaan yang kerap mengekspoitasi tenaga kerja, penggelapan pajak, dan penyuapan.
Yang lebih tragis lagi, pada 1928 UFC menindas protes buruh yang menuntut kenaikan upah dan perbaikan kondisi kerja yang bekerja di bawah manajemen perusahaan ini. Dalam insiden ini, 2000 orang pekerja dilaporkan tewas.
Perusahaan yang berdiri pada 1899 ini berganti nama menjadi United Brands Company pada tahun 1970-an setelah sebagian sahamnya dijual kepada Eli M Black.
Hajatan Beberapa Korporasi Amerika dalam Penggulingan Salvador Allende di Chili pada 1973
Seperti halnya dengan Arbenz Guzman di Guatemala, Salvador Allende pun juga berada dalam satu haluan yang sama dengan Guzman dalam soal ideologi nasionalisme kerakyatan. Hanya saja kali ini, yang merasa terancam dengan kebijakan populis Allende adalah beberapa korporasi raksasa asal Amerika seperti Anaconda Copper Mining Company dan Kennecott Utah Copper. Kedua perusahaan ini hingga menjelang dekade 1970-an telah berhasi menguasai 7 hingga 20 persen Gross Domestic Product Chili.
Tak heran jika sejak 1950-an Amerika berupaya mempertahankan kebijakan pro pasar di Chili. Namun secara tak terduga, Allende berhasil memenangi pemilu pada 1970. Alhasil, setelah menang Allende mencanangkan kebijakan Jalan Chili Menuju Sosialisme, yang meliputi nasionalisasi berbagai perusahaan tambang tembaga milik Amerika, nasionalisasi sejumlah bank dan beberapa industri besar, serta land reform untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat miskin.
Maka CIA kemudian menganggarkan dana 8 juta dolar Amerika untuk menjatuhkan Allende dari kursi kepresidenan. Anggaran sebesar itu tak pelak lagi berasal dari donasi beberapa korporasi raksasa Amerika termasuk perusahaan ternama International Telephone and Telegraph(ITT). ITT pada 1970 menguasai 70 persen perusahaan telkom Chili Chitelco.
Semua rencana busuk CIA yang dibelakangnya terdapat dua perusahaan tambang dan telkom Amerika dalam penggulingan Allende pada 1973, akhirnya terungkap juga pada era kepresidenan Bill Clinton melalui sebuah proyek yang dinamakan Chili Declassification yang kemudian terkumpul sekitar 16 ribu dokumen yang terkait keterlibatan CIA, Departemen Luar Negeri, Gedung Putih dan Departemen Pertahanan.
Keterlibatan Korporasi Gabungan Inggris-Amerika Anglo-Iranian Oil Company(AIOC) Menggusur Mohammad Mossadeq pada 1953
Keputusan bersama Inggris-Amerika menggusur Mossadeq bermula ketika perdana menteri Iran tersebut mempunyai gagasan untuk melepaskan ketergantungan Iran pada perusahaan-perusahaan minyak Asing. Termasuk tentunya nasionalisasi terhadap AIOC. Sontak, kebijakan ini mendapat dukungan luas dari berbagai elemen strategis masyarakat Iran.
Gerakan Mossadeq ini tentu saja bikin Inggris kebakaran jenggot, sehingga beberapa kali melakukan blockade pengiriman minyak Amerika ke luar negeri. Hanya saja, pada fase ini Inggris masih sebatas melakukan boycott dan embargo pada Iran.
Namun pada perkembangannya kemudian, Inggris mulai melibatkan Amerika. Sehingga disepakatilah persekutuan Inggris-Amerika menggulingkan Mossadeq. Setelah Mossadeq berhasil digusur pada 1953, sebagian tuntutan nasionalisasi yaitu profit sharing 50%:50% akhirnya disetujui oleh AOIC yang saat itu sudah tidak lagi memegang monopoli eksploitasi dan ekspor minyak Iran. Dan Amerika agaknya berperan besar dalam kesepakatan baru ini.
Sejak itu AOIC dirubah menjadi semacam konsorsium yang didalamnya 5 perusahaan minyak asa Amerika memegang sebagian sahamnya. Dan mengendalikan eksploitasi minyak di Iran. Meski laporan keuangan konsorsium sulit diketahui publik tapi aktivitasnya dalam menyedot minyak dari bumi Iran, konsorsium ditengarai telah meraup keuntungan jutaan dolar.
Pada 1979, 26 tahun pasca kejatuhan Mossadeq, Shah Reza Pahlevi digulingkan melalui revolusi Islam Sejak saat itu, Amerika dinyatakan sebagai musuh nomor satu seluruh bagi bangsa Iran.
Sejumlah Korporasi Amerika Beramai-Ramai Sponsori Penggulingan Presiden Irak Saddam Hussein
Tanpa bermaksud mengabaikan berbagai faktor yang menjadi dasar bagi Amerika untuk menggulingkan Presiden Irak Saddam Hussein, tak bisa dipungkiri bahwa beberapa korporasi raksasa Amerika berada di balik dukungan penggusuran Saddam Hussein.
Beberapa korporasi raksasa Amerika tercatat telah mengucurkan dana yang sangat besar dalam kampanye pemilihan presiden bagi pasangan George Bush dan Dick Cheney. Mereka itu antara lain Bechtel Group, Fluor Corp, Parson Corp, Lois Berger Group, serta Kello, Brown and Root(KBR), dan Washington Group International.
Korporasi-korporasi raksasa inilah yang berada di balik skema invasi militer Amerika dan Inggris ke Irak. Hal ini nampak jelas ketika invasi militer AS ke Irak telah dinyatakan selesai.
Setidaknya ada 5 perusahaan minyak Amerika yang direkrut oleh Bush untuk mendapatkan tender rekonstruksi Irak pasca Saddam. Merekalah para penentu kebijakan luar negeri Amerika yang sesunguhnya. Di antaranya seperti Halliburton Co serta Kellog Brown and Root. Harap dicatat bahwa Wakil Presiden Dick Cheney pernah lima tahun hingga tahun 2000, mengelola Halliburton Co. Selain itu ada Bechtel Group dari San Fransisco, Fluor dari Aliso Vejo, California, Lois Berger Group daro East Orange, New Jersey, dan Parsons Group dari Pasadena, California.
Ditetapkannya lima korporasi minyak besar tersebut berkaitan erat dengan kepentingan Amerika untuk mengakses sumber minyak mentah di Irak. Program rekonstruksi Irak sejatinya hanya merupakan kedok untuk misi korporasi-korporasi minyak Amerika tersebut.
Hajatan UNOCAl Dalam Invasi AS ke Afghanistan
Bagaimana menjelaskan keterlibatan beberapa korporasi raksasa minyak Amerika dalam skema invasi militer Amerika ke Afghanistan? Semua itu bermula pada 1989 ketika Uni Soviet berhasil dipaksa menarik mundur pasukan militernya dari Afghanistan. Apalagi ketika Soviet runtuh pada 1991, beberapa perusahaan minyak Amerika dengan bebas masuk Afghanistan seperti Amoco, Arco, British Petroleum, Exxon Mobil, Philips, Texaco, Chevron dan UNOCAL. Perusahan-perusahaan tersebut praktis menguasai setengah dari seluruh investasi migas di kawasan Kaspia.
UNOCAL semakin agresif dengan menggandeng perusahaan minyak Delta Oil dari Arab Saudi, Gazprom dari Rusia dan Turkmenrozgas dari Turki. Bahkan UNOCAL sempat bermesraan dengan Taliban ketika kelompok Islam Radikal itu masih berkuasa di Afghanistan.
Namun sejak 1998, UNOCAL mulai tidak sejalan dengan Taliban. Namun momentum menggusur Taliban baru muncul pada 2001 ketika terjadi pengeboman di WTC dan Gedung Pentagon di Amerika. Dengan dalih Taliban beserta Al Qaeda terlibat dalam aksi terror di Washington, maka Taliban berhasil digusur dari tampuk kekuasaan di Afghanistan. Seiring masuknya Amerika, UNOCAL berhasil membangun jalur pipa Trans Afghanistan.
Sekadar informasi, Irak memiliki cadangan minyak terbesar kedua setelah Arab Saudi. Setidaknya pada akhir musim semi 2000, Amerika telah berhasil memperoleh 800 ribu barel minyak per hari dari Irak. Barang tentu hal ini menempatkan Irak sebagai minyak terpenting keenam untuk konsumsi Amerika Utara.
Masuk akal jika Amerika begitu membabi buta menginvasi Irak secara militer. Kondisi obyektif Irak sebelum invasi Amerika, beberapa perusahaan negara besar lainnya seperti Rusia, Eropa dan Cina, juga menjalin kontak bisnis dan berunding dengan Saddam Hussein. Sehingga Amerika tidak memiliki monopoli dalam permainan minyak sejagat.
Setelah Amerika berhasil menginvasi Irak, Bush berhasi menghapus semua kontrak Irak dengan negara-negara lain. Alhasil, Amerika lah penguasa satu-satunya dalam penguasaan minyak dan gas di Irak.
Freeport, Texaco dan Penggulingan Sukarno Pada 1965
Pertambangan ini telah menghasilkan 7,3 JUTA ton tembaga dan 724,7 JUTA ton emas. Siapa yang mengelola tambang ini? Amerika. rosentasenya adalah 1% untuk negara pemilik tanah dan 99% untuk amerika sebagai negara yang memiliki teknologi untuk melakukan pertambangan disana. Dan ini sudah berlangsung sejak awal 1970-an. Yang belum banyak terungkap melalui berbagai studi berkaitan dengan kejatuhan Presiden Sukarno pada 1965, ternyata kepentingan berbagai kelompok bisnis di Freeport dan jaringan industri tambang dan emas raksasa Amerika berperan besar dalam hajatan penggulingan Presiden Sukarno.
Keterlibatan Augustus C Long, eksekutif Texaco milik dinasti Rockefeller merupakan personifikasi yang jelas adanya keterlibatan berbagai kepentingan bisnis di Washington yang berupaya mengganti Sukarno dengan seseorang presiden baru Indonesia yang pro Amerika. Augustus C Long, pada April 1964 secara tiba-tiba dipensiuun dari Texaco, kemudian untuk beberapa saat memimpin sebuah bank kecil bernama Chemical Bank, masih miliki dinasti Rockefeller.
Setelah itu, secara mengejutkan C Long dilantik oleh Presiden Lyndon B Johnson untuk menjabat Ketua Dewan Penasehat Presiden bidang Intelijen Luar Negeri. Suatu jabatan yang cukup strategis, yang memungkinkan pada masa masa kritis 1965 di Indonesia, C Long telah memainkan peran strategisnya di ruang kerjanya yang bersebelahan dengan Presiden Johnson di Gedung Putih.
Setelah keruntuhan Sukarno pada 1966, C Long secara mengejutkan diaktifkan kembali sebagai salah satu eksekutif Texaco. Suatu bukti bahwa cuti panjang C Long sejak 1964 dari Texaco, semata-mata untuk menjalankan misi khusus melalui jabatannya sebagai Ketua Dewan Penasehat Presiden untuk Intelijen Luar Negeri.
Beberapa Catatan Seputar Keberadaan MNC di Indonesia
Dari rangkaian kisah kelam beberapa korporasi dan jaringan industri raksasa yang mendunia tersebut, maka gagasan mengenai MNC yang ramah lingkungan agaknya jauh panggang dari api. Ini bukan sekadar tidak adanya niat baik dan kemauan dari korporasi-korporasi multi-nasional tersebut, melainkan karena keberadaan MNC tersebut justru menjadi sumbu dari terbangunnya jaringan kekuatan-kekuatan korporasi yang justru telah menyatu atau setidaknya melakukan penetrasi terhadap pusat-pusat pengambian kebijakan strategis baik di eksekutif maupun legislatif. Kasus Guatemala dengan sepak-terjang Gerber Food adalah salah satu bukti nyata.
Bahkan dalam kaitan dengan susu bayi produk Nestle, keberadaan perusahaan Johson and Johson kiranya layak untuk dicermati peran dan pengaruhnya kini dan kelak di Indonesia. Betapa tidak.
Di Indonesia Nestlé dikenal dengan sebutan “Tjap Nona” (sekarang “Nestlé Milkmaid“). Kantor pusat Nestlé di Swiss, Nestlé S.A., bersama sejumlah mitra lokal mendirikan anak perusahaan di Indonesia pada bulan Maret 1971. Saat ini PT.Nestlé Indonesia mengoperasikan tiga pabrik yang berlokasi di daerah Tangerang (Banten), Panjang (Lampung), dan Kejayan (Jawa Timur). Beberapa merek produk Nestlé yang dipasarkan di Indonesia antara lain : susu bubuk Nestlé Dancow, kopi instant Nescafé, Nestlé Milo, Nestlé Bubur Bayi, Kit Kat, Polo, permen FOX, susu Dancow, Maggie dan Susu Cap Nona.
Hal ini mengindikasikan betapa besarnya pengaruh keberadaan MNC dalam mengatur gaya hidup masyarakat Indonesia, sedemikian rupa sehingga menghancurkan budaya lokal yang selama berabad-abad menghargai tradisi menyusui anak dengan Air Susu Ibu, lalu lambat laun merubah kultur tersebut sehingga para ibu lebih suka menyusui anaknya dengan produk susu dan makanan bayi dari perusahaan-perusahaan multi-nasional tersebut.
Di sektor lain adalah keberadaan MNC IBM. nternational Business Machines Corporation (disingkat IBM) adalah sebuah perusahaan AS yang memproduksi dan menjual perangkat keras dan perangkat lunak komputer. IBM didirikan 15 Juni 1911, beroperasi sejak 1888 dan berpusat di Armonk, New York, AS. Perusahaan ini juga dikenal memiliki hubungan dekat dengan Israel. Memiliki teknisi dan konsultan di lebih dari 170 negara dan laboratorium pengembangan yang berlokasi di seluruh dunia.
Awalnya, agen tunggal IBM di Indonesia adalah PT Usaha Sistem Informasi Jaya yang merupakan patungan dari Pemerintah Daerah DKI Jakarta dan para karyawan senior. Namun IBM memutuskan keluar dari Indonesia karena aturan yang melarang perusahaan asing beroperasi di Indonesia tanpa memiliki partner lokal pada tahun 1970-an.
Salah satu proyek terkenal PT Usaha Sistem Informasi Jaya adalah pemugaran Candi Borobudur di Jawa Tengah. Kantor pusat PT Usaha Sistem Informasi Jaya terletak di Jakarta Selatan.
Di Indonesia PT Usaha Sistem Informasi Jaya memiliki beberapa anak perusahaan, di antaranya PT Mitra Integrasi Komputindo dan PT Jasa Teknologi Informasi.
McDonald’s
McDonald’s merupakan jasa waralaba siap saji terbesar di dunia. Sampai tahun 2004, McDonald’s memiliki 30.000 rumah makan di 121 negara dunia. Dengan jumlah pengunjung rata-rata 50.000.000 orang. CEO Mc Donald’s, Jack M. Greenberg, adalah anggota Kehormatan Kamar Dagang dan Industri Amerika-Israel (Israel-Amerika Chamber of Commerce). McDonald Corporation adalah perusahaan yang ikut menyumbang besar terhadap ekonomi dan diplomatik Israel.
Menurut Chicago Jewish Community Online (situs web milik Dana Serikat Yahudi Chicago), Markas Besar McDonalds Corporation yang berpangkalan tepat di luar Chicago adalah mitra bisnis Serikat Dana Yahudi (Jewsih United Fund) dan Federasi Yahudi (Jewish Federation).
Salah satu tujuan JUF adalah untuk menjaga dukungan militer, ekonomi dan diplomatik dari Amerika serikat, mengawasi dan jika diperlukan mengontrol pemberitaan media atas Israel.
McDonald’s pernah mengumumkan penutupan operasinya di Timur Tengah karena kehilangan pendapatan sebagai akibat seruan boikot (bulan Oktober 2002), dan menggantikan Greenberg sebagai Ketua dan CEO (pada Desember 2002). Sejak seruan dan kampanye boikot terjadi, dua dari enam waralabanya di Yordania tutup karena bangkrut. Di Mesir, McDonald’s memutuskan untuk mengubah nama mereknya menjadi Manfoods terakhir bulan Maret, akibat seruan boikot.
Hak lisensi McDonald’s Indonesia adalah Bambang Rachmadi, salah seorang menantu mantan wapres Indonesia, Soedarmono. Counter McD pertama dibuka pada Februari 1991, di Gedung Sarinah, Jalan MH Thamrin, Jakarta. Director of Marketing and Comunication McDonald’s Indonesia, Family Restaurants, Dian H. Supolo dalam wawancara dengan majalah MIX mengatakan,. sejak beroperasi tahun 1991, McD kini sudah memiliki 106 outlet.
Philip Morris
Philip Morris adalah perusahaan rokok asal Amerika Serikat (AS). Perusahaan ini bernaung di bawah grup Altria, Swiss yang memproduksi makanan dan minuman. Phillip Morris telah mendermakan 12% beruntung untuk Israel dari uang yang diserap kaum Muslim dengan total nilai $800 juta. Dengan rata-rata margin keuntungan sehari sebesar 10%, atau $80 juta sehari , maka, $9.6 juta uang dari umat Islam itu diberikan ke Israel.
Perusahaan raksasa rokok dunia asal Amerika Serikat (AS) itu kemudian mengambil alih 40% saham perusahaan rokok swasta nasional Sampoerna Tbk. Judi Richards, juru bicara Sampoerna kepada pers pernah mengatakan, Produsen rokok Marlboro ini membeli Sampoerna dengan harga 5,2 milyar dolar atau sekitar 48 trilyun rupiah.
Produk-produk di bawah paying Philip Morris adalah; Marlboro, Merit, L&M, Lark, Winston, Gold Cost, Côte d’Or, Philadelphia, Polo, Milka, Malabar, Marabou, Prince, Benson & Hedges dan West.
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)