Orang Belanda boleh kecewa. Sehari-hari mereka tak bisalagi melihat Ken Dedes. Setelah lama tinggal di Kota Leiden, tahun 1978 perempuan rupawan itu kembali ke Indonesia. Ken Dedes kini-dan mungkin untuk selamanya- bermukim di Jakarta.
Tak pelak lagi. Ken Dedes adalah salah seorang perempuan paling masyhur sepanjang perjalanan peradaban Indonesia. Ialah perempuan yang menurunkan raja-raja Majapahit nan digjaya. Ken Dedes juga figur tak terpisahkan dari kemelut perebutan kekuasaan menjelang dan di masa Kerajaan Singasari, salah satu rangkaian peristiwa politik paling dramatik dalam sejarah kerajaan-kerajaan Jawa purba.
Sekadar mengulang cerita guru Sekolah Dasar (SD), Ken Dedes adalah putri Mpu Purwa, pendeta Buddha Mahayana. la diculik dan diperistri oleh bupati Tumapel bernama Tunggul Ametung yang kemudian dibunuh pemuda desa bernama Ken Arok dengan keris sakti buatan Mpu Gandring. Ken Dedes yang tengah mengandung lantas dikawini Ken Arok yang dipercaya sebagai anak hasil hubungan seorang dewa dengan seorang perempuan tani.
Ke Arok melanjutkan petualangan politiknya. Pada tahun 1222 ia berhasil menggulingkan raja Daha (Kediri), mendirikan Kerajaan Singasari, dan mengangkat diri sebagai rajanya yang pertama. Namun, Ken Arok yang bergelar Rajasa atau Amurwabhumi tak lama berkuasa. Pada tahun 1227, ia tewas dibunuh Anusapati, anak Ken Dedes dari Tunggul Ametung dengan keris yang sama dengan yang sebelumnya dipakai Ken Arok menghabisi nyawa ayah kandungnya.
*
Ken Dedes, yang pernah tinggal di Belanda, sebenarnya hanya sebuah arca batu andesit setinggi 126 centimeter yang resminya disebut sebagal arca Prajnaparamita, dewi kebijakan dalam ajaran Hindu. Patung itu “ditemukan” oleh D Monnereau, pegawai pemerintah kolonial Hindia Belanda, di antara reruntuk Candi Singasari, Jawa Timur, pada tahun 1818 atau tahun 1819. Saat ditemukan, patung itu oleh masyarakat sekitar disebut patung Putri Dedes atau Ken Dedes.
Karena ia seorang putri pendeta Buddha, amat boleh jadi, patung itu memang “potret” Ken Dedes sebagai Dewi Prajnaparamita. Apalagi patung itu diduga awalnya terletak di bagian Candi Singasari yang disebut Cungkup Putri. Namun, bisa jadi juga patung itu sama sekali tak ada sangkut paut dengan Ken Dedes. Dalam kitab Pararaton, Lohgawe, seorang Brahmana penasihat spiritual Ken Arok, tak menyebut Ken Dedes sebagal Prajnaparamita, tetapi sebagal Ardhaneswari, nama lain dari Dewi Parwati.
Siapa pun perempuan yang jadi model arca Prajnaparamita, yang jelas patung itu memang indah. Sang dewi digambarkan sebagal perempuan muda dengan mata terkatup. la duduk bersila dalam posisi teratai (padmasana), di atas bantalan daun teratai. Kedua lengannya terangkat tepat di depan dada dengan jemari dalam sikap memutar roda hukum (dharmacakra-mudra). Setangkai sulur teratai membelit lengan kiri sang dewi dan menyangga buku kebijakan transendental (prajnaparamita-sutra).
Prajnaparamita yang bertelanjang dada digambarkan memakai mahkota penuh ornamen (kirita-mukuta) dan berbagai perhiasan lain. Tiga kalung manik-manik dan perhiasan leher lain menghias leher dan dadanya. Kedua lengan dibelit gelang dan kelat bahu. Sehelal kain penuh gambar hiasan menutup bagian bawah tubuhnya, mulai dari pusar hingga ke pergelangan kaki.
Para ahli arkeologi sebetulnya telah menemukan tiga arca batu besar lain yang diidentifikasi sebagai figur Prajnaparamita. Akan tetapi semua ditemukan dalam kondisi rusak. Dua di antaranya malah sudah tak berkepala. Prajnaparamita temuan Monnereau merupakan satu-satunya yang kondisinya nyaris sempurna. Itu sebabnya patung dari abad ke-13 itu menjadi benda peninggalan sejarah yang unik, satu-satunya di dunia. Pada tahun 1820, Prajnaparamita diangkut ke Belanda, ke Kota Leiden. Awalnya ia disimpan di Museum Kepurbakalaan Nasional (Rijksmuseum van Oudheden), dan kemudian, sejak tahun 1903, di Museum Etnologi Nasional (Rijksmuseum voor Volkenkunde).
Setelah hampir 160 tahun jadi warga Kota Leiden, pada awal tahun 1978 ia diterbangkan kembali ke Indonesia. Sejak itu, patung Prajnaparamita alias patung Ken Dedes menjadi ba- gian dari koleksi Museum Nasional di Jakarta.
*
Pengembalian Prajnaparamita merupakan realisasi perjanjian kerja sama kebudayaan Indonesia-Belanda yang mencakup proyek pengembalian benda-benda bersejarah Indonesia yang ada di Belanda. Bersama patung sang dewi juga telah dikirim kembali ke Jakarta sejumlah benda bersejarah lain yang semuanya juga tersimpan di Museum Etnologi Leiden.
“Jumlah seluruhnya sekitar 200 potong. Sebagian besar berupa berbagai perhiasan emas yang berasal dari Kerajaan Lombok,” jelas Kurator Museum Etnologi Leiden Pieter ter Keurs. Benda-benda berbentuk kalung, gelang, giwang sampai keris emas itu merupakan bagian dari koleksi yang disebut sebagai Lombok-schat atau “Harta Lombok” yang dulunya hasil dirampasan bala tentara Belanda setelah penaklukan Kerajaan Lombok, awal abad ke-20.
Namun, pemulangan harta warisan budaya Nusantara itu sebetulnya tak banyak mengurangi kekayaan koleksi museum akbar itu. Maklum, di sana benda-benda asal Indonesia jumlahnya mencapai sekitar 66.000, potong. Koleksi ini merupakan bagian terbesar dari keseluruhan koleksi benda-benda yang dikoleksi, yang berjumlah sekitar 200.000 potong. Kecuali dari Indonesia, Museum Etnologi Leiden juga memiliki koleksi benda-benda sejarah dan kebudayaan dari berbagai negeri dan kawasan dunia lain.
Di luar Indonesia, Museum Etnologi Leiden boleh dikata merupakan museum terlengkap di dunia dalam koleksi benda-benda asal Indonesia. Mungkin tak ada satu pun daerah di Nusantara, dari Sabang sampai Merauke, yang benda-benda kebudayaannya tak terwakili di sana. Benda-benda terbuat dari berbagai bahan, sejak tanah liat, batu, kayu, perunggu, perak sampai emas, juga mewakili berbagai periode sejarah peradaban Nusantara. Museum yang sudah berdiri sejak 1837 itu juga merupakan museum etnologi tertua di Eropa.
Melimpahnya koleksi benda- benda asal Indonesia, jauh melebihi koleksi dari negeri-negeri lain, mudah dipahami. Sejak awal keberadaan museum itu Indonesia sudah jadi negeri ja- jahan Belanda.
Salah satu pengisi pertama koleksi Indonesia di museum itu adalah Prof Reinwald. Peneliti ini, sudah sejak tahun 1815, giat melakukan penggalian berbagai kompleks Candi di Jawa, termasuk kompleks Candi Singasari. la juga yang mengirim patung Prajnaparamita ke Leiden bersama patung-patung Jawa Hindu lain. Kemudian juga ada dokter dan ilmuwan macam AW Nieuwenhuis yang menyumbang ribuan benda etnografi asal Kalimantan yang dikumpulkannya dalam dua ekspedisi ke pedalaman pulau raksasa itu, yakni antara tahun 1893-1894 dan tahun 1896-1897.
Sebagai museum negara, Museum Etnologi Leiden juga sering mendapat sumbangan koleksi dari berbagai pihak lain, mulai dari pejabat pemerintah kolonial, petugas zending dan misionaris. Para petinggi militer juga sering mengirimkan benda benda yang mereka dapatkan sebagai hadiah atau pampasan perang dari raja-raja lokal yang mencoba melawan Belanda tetapi akhirnya takluk setelah digempur bala tentaranya.
Menurut cerita Ter Keurs, di zaman kolonial sering didatangkan berbagai benda dari Indonesia dalam jumlah besar untuk keperluan pameran. Setelah pameran selesai, benda-benda itu biasanya dikirim ke Leiden dan ikut mempericaya koleksi museum. Pada tahun 1883, misalnya, museum mendapat sebagian besar dari sekitar 4.000 potong benda etnografi Indonesia didatangkan khusus untuk mengisi Pameran Kolonial dan Perdagangan Ekspor Internasional di Amsterdam. Di antara benda-benda sumbangan itu, tak tanggung-tanggung, ada sejumlah rumah adat berbagai daerah yang dibuat demgan ukuran yang sama dengan aslinya.
*
Dengan dana jutaan gulden yang disiapkan pemerintah, Museum Etnologi Leiden kini sedang dipugar besar-besaran. Ruang-ruang pamernya diperluas agar bisa menampung lebih banyak benda koleksi dan menyamankan gerak pengunjung. Lemari-lemari pajangnya semua diganti dengan vitrin-vitrin modern berkaca ekstra tebal, berpengatur cahaya, suhu dan kelembaban udara. Tak mau kalah dengan sektor-sektor kehidupan lain, museum itu juga mulai masuk dalam era teknologi informasi. Informasi lengkap mengenai setiap benda koleksi bisa didapat cukup dengan menekan tombol komputer yang diletakkan di depan setiap lemari pajang. Di museum kebanggaan Belanda itu, semua benda tua, temasuk yang asal Indonesia, sungguh-sungguh dimuliakan.
Seperti diakul Ter Keurs, satu-satunya museum di dunia yang bisa menyaingi kehebatan koleksi Indonesia Museum Etnologi Leiden hanya Museum Nasional di Jakarta. Ironisnya, museum itu sebenarnya juga warisan zaman Belanda. Sampai detik ini sebagian besar benda-benda koleksinya masih merupakan peninggalan dari masa pra-kemerdekaan, hasil usaha pengumpulan para pencinta kebudayaan dan kesenian Nusantara yang tergabung dalam Perkumpulan Seni dan Ilmu Pengetahuan Batavia alias Bataviaasch Genootschap Kunsten en Wetenschappen.
Lebih mengharukan lagi, setelah Indonesia merdeka, kondisi Museum Nasional malah memburuk. Dana yang dianggarkan pemerintah tak pernah memadal bahkan untuk sekadar mengamankan dengan baik seluruh harta warisan sejarah dan budaya bangsa yang disimpan di sana. Boro-boro melengkapi diridengan sistem pengamanan yang computerized, Gedung Gajah di Jalan Merdeka Barat itu malah sering kemasukan maling. Dengan gampang mereka mem-, bawa kabur barang-barang antik yang harganya memang tinggi di pasar gelap Jakarta.
Mulyawan Karim, dari Amsterdam
Sumber: Kompas, 5 Juni 2000