Setiawati Dian Awallina: Perempuanlah yang Pertama Menyadari Soal Pembibitan Melalui Biji

Bagikan artikel ini

Revolusi sejarah perkembangan masyarakat diawali sejak kaum perempuan pertama kali menyadari biji-biji itu bisa ditanam kembali.

Para penganut ‘’Teori Fase’ atau ‘Teori Sejarah Perkembangan Masyarakat’ meyakini bahwa pada ‘Fase Masyarakat Tanpa Kelas’kaum perempuan justru berada di posisi yang menentukan dalam sebuah komunitas pada masa itu. Pasalnya, kaum perempuan diketahui kala itu telah menguasai sumber pengetahuan produksi alias ilmu pengetahuan.

Demikian pemerhati isu Gender dan Feminisme dari International Women University Bandung Setiawati Dian Awallina mengawali paparannya dalam acara Arah Pandang pada Kamis, (5/3/2020) di Radio Online Metrum di bilangan Jatihandap Bandung.

Setiawati Dian Awallina yang karib disapa Dian itu selanjutnya mengungkapkan alasan kaum perempuan sebagai aktor paling berpengaruh dalam penguasaan sumber pengetahuan produksi, “Diceritakan bahwa yang pertama menemukan biji-biji itu bisa ditanam kembali itu adalah kaum perempuan. Kala itu, ada pembagian peran. Dahulu peran laki-laki adalah berburu. Sementara itu, peran perempuan adalah mengumpulkan tanaman-tanaman.”

Menurut Sinok asal Brebes ini, perempuanlah yang pertama menyadari soal pembibitan melalui biji. Penemuan dimulai ketika ada biji yang jatuh di jalanan yang sering mereka lalui untuk mengumpulkan makanan.

Penemuan ini, imbuhnya, kelak berpengaruh pada perubahan dari tradisi berburu ke tradisi berladang. Selanjutnya, tradisi berladang bertransformasi dari cara ladang berpindah menjadi ladang menetap. Setelah berladang menetap, Dian mengungkapkan, muncul konsep penguasaan tanah. Sebab, ladang menetap mensyaratkan kepemilikan tanah. Konsep itu berkembang terus hingga muncul kesepakatan pembagian pekerjaan di antara warga yang kala itu masih hidup secara komunal.

Dalam kesepakatan ini, para warga itu awalnya berkedudukan sebagai pemilik tanah (sentra produksi) secara komunal. Dengan status ini, mereka disebut sebagai pemilik kuasa (rakyat). Dalam kapasitas itu, mereka memilih sejumlah warga untuk menerima kuasa mereka. Warga terpilih ini menerima tugas mengerjakan dan mengelola ladang warga (aparatus/alat) dengan imbalan mirip upah. Bukan itu saja, rinci Dian, mereka juga menunjuk seseorang di antara warga tadi sebagai pemimpin para aparatus itu.

Kemunculan relasi kuasa antara rakyat, aparatus, dan pemimpin ini yang telah mendekonstruksi ‘Fase Masyarakat Tanpa Kelas Purba’ dan kemudian merekonstruksi ‘Fase Masyarakat Dengan Kelas’ atau lazim dikenal dengan ‘Fase Feodalisme’. Fase kedua ini kerap dianggap sebagai fase dengan relasi kuasa struktural paling tua dalam sejarah Homo Sapiens.

Suasana studio siaran Radio Online Metrum pada Kamis, (5/3/2020) di bilangan Jatihandap Bandung dalam acara Arah Pandang (Foto: Radio Online Metrum)

Pola relasi ini kelak dalam sejarah perkembangan masyarakat diakui telah melahirkan sistem monarki absolut. Sebab, kuasa dari rakyat yang diamanatkan kepada pemimpin aparatus di masa peralihan antara ‘Fase Masyarakat Tanpa Kelas Purba’ dan ‘Fase Feodalisme’ tidak diiringi dengan mekanisme suksesi yang berbasis pada kedaulatan rakyat. Alih-alih kedaulatan rakyat, suksesi pada masa ini lebih didasarkan pada faktor-faktor stratifikasi sosial, seperti pilihan Tuhan (God’s Choice), kebangsawanan (Noblity), dan hukum alam (Natural Law).

“Transisi dua fase itu yang telah memicu titik balik relasi antara kaum perempuan dan laki-laki,” terang Dian yang juga aktif sebagai kader Geostrategy Study Club (GSC) Bandung ini.

Relasi setara dalam pembagian peran antara kaum perempuan dan laki-laki, jelas perempuan penyuka makanan seafood ini, hanya bertahan pada ‘Fase Masyarakat Tanpa Kelas Purba’. Pada Fase Feodalisme, yang menekankan pada penguasaan tanah (sentra produksi) dan alat-alat produksi, muncul untuk pertama kalinya relasi struktural.

Relasi kuasa itu, lanjutnya, berakhir menjadi bibit antagonisme dan berakibat buruk pada tahap perkembangan lingkungan sosial kaum perempuan kemudian. Konsekuensinya, keadaan itu mengarah pada opresi terhadap perempuan dan anak-anak. Pasalnya, pada fase ini relasi struktural telah meletakkan kaum laki-laki sebagai penerima hak untuk memiliki properti. Konsep properti kala itu meliputi kekayaan, termasuk istri dan anak-anaknya.

Menutup paparannya, Dian mengatakan, “Itulah sekelumit historisitas perempuan sebagai kelas dalam relasi kuasa antar kaum laki-laki dan perempuan. Jangan lupa relasi ini kemudian berkembang lebih rumit pada fase ketiga, yakni Fase Kapitalisme. Pasalnya, kaum perempuan seringkali menjadi golongan yang termarjinalkan dalam lingkungan industrialis.”

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com