Hendrajit, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Sikap konfrontatif dan provokatif AS terhadap Korea Utara, pada perkembangannya bisa menciptakan ketegangan global di Semenanjung Korea dan Asia Pasifik pada umumnya. Baik peningkatan kehadiran militer maupun perlombaan senjata.
Pergolakan di Semenanjung Korea nampaknya bakal semakin memanas menyusul kesepakatan antara Presiden AS Donald J Trump dan Perdana Menteri Shinzo Abe untuk tetap menekan kepemilikan senjata nuklir Korea Utara.
Sejak beberapa waktu berselang, AS dan negara-negara sekutunya termasuk Jepang, selalu membesar-besarkan ihwal ambisi pemerintah Korea Utara dalam mengembangkan Program senjata nuklirnya, terutama terkait kepemilikan rudal balistik antarbenua (ICBM) berhulu ledak nuklir yang diyakini mampu mencapai daratan AS.
Benar tidaknya kemampuan nuklir Korut memang sudah sehebat itu, nampaknya belum bisa dibuktikan samapai hari ini. Namun bagi AS dan sekutu-sekutunya termasuk Jepang, sepertinya bukan itu pokok soalnya. AS dan para sekutunya justru dengan sengaja memanfaatkan kebijakan agresif pemerintah Pyongyang sebagai alat propaganda bukan saja untuk menekan Korut, tapi juga ditujukan untuk menekan Republik Rakyat Cina yang merupakan sekutu strategis Korut sekaligus pesaing utama AS dalam pertarungan global di Asia Pasifik dewasa ini.
Dengan begitu, agenda AS yang sesungguhnya adalah untuk menciptakan destabilisasi di Semenanjung Korea, sehingga punya alasan untuk meningkatkan jumlah personil militernya di Korea Selatan pada khususnya dan di Asia Timur pada umumnya. Dengan dalih adanya ancaman senjata nuklir Korut, seraya menangkal menguatnya kehadiran militer Cina di Asia Pasifik.
Isu ini sepertinya dengan sengaja digulirkan dengan tujuan menciptakan kekhawatiran di pihak Jepang maupun Korea Selatan. Sehingga kedua negara Asia Timur yang saat ini termasuk kekuatan ekonomi baru di Asia, diharapkan semakin tergantung pada perlindungan keamanan dan militernya dari AS dan sekutu-sekutunya yang tergabung dalam NATO.
Maka bukan suatu hal yang mengherankan jika Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson dalam pernyataannya seminggu yang lalu menegaskan bahwa pemerintah di Pyongyang sama sekali tidak menaruh minat untuk berdialog. Sehingga kemudian dipertegas oleh pernyataan Presiden Trump dalam percakapan telepon dengan Perdana Menteri Abe bahwa jika dialog semata-mata untuk tujuan dialog tidak ada artinya dan pemborosan waktu.
Hal ini mengisyaratkan bahwa AS dan sekutu-sekutunya terutama Jepang dan Korea Selatan, nampaknya tidak memandang serius manuver Korut terkait program nuklirnya. Sehingga mekanisme perundingan untuk menjinakkan agresifitas Korut di bidang persenjataan nuklir sama sekali bukan agenda utamanya.
Melainkan untuk memanfaatkan isu nuklir Korut untuk tujuan yang lebih luas. Yaitu menciptakan aksi destabilisasi di Semenanjun Korea, yang mana kemudian menggunakan isu ancaman nuklir Korut sebagai dalih untuk meningkatkan eskalasi kekuatan militernya di Semananjung Korea. Dan Asia Pasifik pada umumnya.
Sayangnnya, Korut sendiri bukannya meredakan ketegangan, malah semakin provokatif yang mana kemudian menjadi alasan pembenaran bagi AS untuk melakukan aksi balasan. Sebagai misal, beberapa waktu lalu Korut telah menembakkan empat rudal balistik menuju Laut Jepang dari wilayah Tongchang-ri, dekat perbatasan Cina. Sehingga kemudian AS memanfaatkan momentum ambisi Korut tersebut dengan menempatkan sistem rudal anti rudal atau terminal high altitude area defense (THAAD) milik AS di Korea Selatan.
Tentu saja ini membawa implikasi buruk bukan saja di Semenanjung Korea, melainkan berpotensi menciptakan efek berantai di kawasan Asia Timur, dan pada perkembangannya juga, di Asia Tenggara. Sebab kehadiran THAAD di Korea Selatan, tidak saja dipandang sebagai ancaman bagi Korut. Tapi juga bagi Cina, yang saat ini merupakan salah satu pesaing AS dalam konflik berskala global.
THAAD ini, selain mampu untuk menangkal serangan rudal balistik, juga didukung radar yang mampu mengendus kegiatan lawan hingga sejauh 2000 kilometer. Sehingga AS dan Korsel mampu mengantisipasi setiap gerak-gerik tentara Korut sejak detik pertama mempersiapkan rudak-rudal balistik mereka.
Bukan itu saja. Kenyataan bahwa sistem rudal anti rudal jenis THAAD ini belum diketahui kemampuannya yang sesungguhnya dibandingkan dengan rudal anti rudal Patriot, justru semakin mengkhawatirkan buat Korut, melainkan juga Cina. Sebab meskipun THAAD ini lebih ditujukan untuk menangkal serangan rudal yang berasal dari Korut, namun Cina pastinya menyadari betul bahwa hal itu juga ditujukan kepada Cina. Mengingat kemampuannya mengendus aktivitas militer pihak lawan hingga sejauh beribu-ribu kilometer.
Bisa dipastikan bahwa kekhawatiran Cina pada perkembangannya juga akan memancing negeri negeri tirai bambu tersebut untuk melakukan aksi militer balasan dengan meningkatkan eskalasi kehadiran militernya maupun peningkatan peralatan militernya di Semenanjung Korea.
Jika memang ini skenario yang dirancang AS dan terutama Pentagon, yaitu untuk memancing konflik militers berskala luas di Semenanjung Korea dan kawasan Asia Pasifik pada umumnya, maka militterisasi di kawasan ini nampaknya tak terhindarkan lagi.
Kekhawatiran semacam ini sama sekali tidak berlebihan. Beberapa waktu berselang, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres meminta negara-negara yang tergabung di PBB menghindari perang dengan Korea Utara. Pernyataan Sekjen PBB tersebut secara tersirat merupakan kecaman Guterres kepada Presiden Trump yang bersikap konfrontatif dan provokatif terhadap Pyongyang.
Guterres mengatakan bahwa kemelut terkait Korea Utara harus diselesaikan dengan upaya politik secara damai dan tidak melalui jalan perang. Nampaknya, Guteres mewakili kecemasan beberapa kalangan yang sudah melihat gelagat AS dan sekutu-sekutunya baik yang tergabung dalam NATO maupun Jepang dan Korea Selatan, untuk mengobarkan destabilisasi di kawasan Asia Pasifik, dan Semenanjung Korea pada khususnya.
Bahkan kebijakan konfrontatif dan provokatif Trump tidak hanya di ranah politik dan pertahanan, juga di ranah ekonomi. Melalui Dewan Keamanan PBB, AS mendesak PBB membekukan aset pemimpin Korea Utara. Di dalam draf resolusi yang disiapkan Amerika dan beredar luas pada Rabu, 6 September 2017, itu berbunyi antara lain pelarangan ekspor tekstil terhadap Korea Utara serta membatalkan pembayaran upah buruh negeri komunis yang dikirimkan ke luar negeri.
“Selanjutnya, merampas seluruh harta negeri Asia tersebut karena kekayaan itu digunakan untuk melanjutkan program milter,” demikian bunyi bunyi draf yang disampaikan pihak Amerika.
Memang pada waktu itu Duta Besar AS di PBB Nikki Haley, mendesak agar lembagta badan dunia tersebut melancarkan tekanan kuat terhadap Korut pada 11 September 2017 lalu. Konkretnya, AS mendesak PBB untuk memberlakukan embargo ekonomi terhadap Korut. Namun Duta Besar Rusia untuk PBB, Vassily Nebenzia memandang manuver diplomatik Dubes Haley tersebut terlalu prematur.
Manunver Nikki Haley secara jelas mencerminkan kebijakan pemerintah di Washington yang bisa diartikan bertujuan membekukan aset Kim Jong-un di luar negeri. Tentu saja jika ini terlaksana, bisa memicu peningkatan eskalasi ketegangan di Semenanjung Korea. Sebab bagaimanapun juga, Kim Jong-un bukan sekadar presiden kepala negara Korut. Tapi juga merupakan simbol dan lambang negara Korut. Bisa dipastikan bakal memprovokasi kebanggan nasional dan patriotisme rakyat Korut pada umumnya.