Ditengah-tengah semakin besarnya harapan banyak kalangan terhadap kinerja Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court-ICC) untuk membongkar Kejahatan Perang dan Pelanggaran Hak-Hak Asasi Manusia Berat yang melibatkan para pejabat tinggi negara di pelbagai belahan dunia, di internal ICC muncul aroma tidak sedap melibatkan salah satu tokoh sentralnya, Jaksa ICC Karim Khan.
Baca:
ICC announces investigation into chief prosecutor
Seperti dilansir oleh harian Inggris The Guardian, seorang pengacara perempuan mengaku telah menjadi korban pelecehan seksual yang dilakukan oleh Karim Khan, seraya mengkhawatirkan kemampuan Pengawasan Internal ICC (Mekanisme Pengawasan Independen (IOM).
Menanggapi pengaduan pengacara perempuan tersebut, The Guardian melaporkan bahwa bahwa Khan menanggapi pengaduan pelecehan seksual resmi terhadapnya dengan mencoba membujuk korban yang dituduh agar dia menyangkal tuduhan tersebut, meskipun telah disarankan untuk menghindari kontak langsung. Khan membantah telah meminta wanita tersebut untuk menarik kembali tuduhan apa pun. Demikian dilaporkan The Guardian.
Apa yang bisa kita maknai dari peristiwa skandal pelecehan seksual yang melibatkan Jaksa ICC tersebut? Mau tidak mau, kita semakin meragukan kredibilitas ICC yang saat ini di bawah kepemimpinan Karim Khan telah meminta surat perintah penangkapan yang terkait dengan konflik di Jalur Gaza. Yang mana Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant, serta para pemimpin Hamas Yahiya Sinwar, Mohammed Deif, dan Ismail Haniyeh bertanggung jawab pidana atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan sejak hari serangan Hamas terhadap Israel pada tanggal 7 Oktober 2023, berikut efek berantai yang terjadi kemudian, yaitu tewasnya ratusan rubu warga sipil di Gaza.
Britain’s Karim Khan (left) is set to take over the mountain of cases and reforms left behind by Gambia’s Fatou Bensouda (right), who officially leaves the office of the International Criminal Court’s prosecutor tomorrow, on June 16. © ICC / CPISelain ICC sendiri saat ini diragukan netralitas politiknya, lantaran cenderung pro AS dan negara-negara blok Barat, reputasi pribadi Karim Khan sendiri terlepas adanya pengaduan pelecehan seksual terhadap pengacara perempuan oleh Khan, kiranya perlu adanya investigasi tambahan yaitu terkait indikasi adanya indikasi lain, sinyalemen adanya hubungan yang kolutif dan koruptif antara Karim Khan dengan badan intelijen AS dan Inggris. Sehingga hal itu juga mengundang satu pertanyaan lain yang tak kalah krusial, siapa negara-negara pemberi dana bantuan kepada ICC? Jepang dan Korea Selatan, ditengarai merupakan dua negara Asia Timur yang dalam kebijakan luar negerinya sangat pro AS dan Barat, yang telah memberi bantuan dana kepada ICC. Hal itu perlu diinvestigasi secara mendalam, sebab sumber pendanaan yang berasal dari negara-negara yang terlibat dalam konflik dengan negara-negara dari blok yang berlawanan, bisa dipastikan tidak akan bersikap netral dan obyektif sebagai para penegak hukum ICC.
Dengan begitu, nampak jelas dari mencuatnya kasus pelecehan seksual yang mengindikasikan keterlibatan Karim Khan, ada dua hal yang rawan sedang berlangsung di ICC. Pertama, lemahnya kontrol dan perlindungan internal ICC, termasuk kepada para stafnya sendiri, dan dan tidak kompetennya mekanisme pengamanan internal ICC maupun para pejabat kunci ICC sebagai aparat penegak hukum yang obyektif dan imparsial. Kedua, tidak kredibel dan tidak kompetennya para pejabat kunci ICC semakin diperkuat oleh perilaku Karim Khan secara pribadi sebagai penegak hukum maupun Jaksa ICC. Ketiga, ICC sendiri haluan politiknya yang lebih pro AS dan Barat, juga semakin diragukan sebagai badan hukum internasional yang seharusnya bersifat obyektif dan imparsial.
Maka itu ICC maupun organisasi-organisasi Hak-Hak Asasi Manusia di seluruh dunia, termasuk Indonesia, kiranya punya alasan yang sangat kuat untuk mendesak Karim Khan mundur sebagai Jaksa ICC. Lantaran sebagai Jaksa penuntut umum ICC, telah merusak sendiri reputasi dan kredibilitasnya sebagai sosok yang tidak bermoral, tidak kompeten, dan sepenuhnya telah menjadi agen proksi (proxy agent) para agen-agen intelijen dari negara-negara Barat, utamanya AS dan Inggris.
Sebagai dampak dari kejadian tersebut, hilangnya kepercayaan dan kredibilitas pimpinan tertinggi ICC tersebut, pada perkembangannya juga akan merusak otoritas (kewenangan) ICC dan dirinya sebagai Jaksa ICC, dalam mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Benyamin Netanyahu, mantan Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant, serta para pemimpin Hamas Yahiya Sinwar, Mohammed Deif, dan Ismail Haniyeh.
Selain manuver hukum internasional tersebut tidak lazim dan aneh, lantaran pelaku kejahatan perang dan pelangggaran Hak-Hak Asasi Manusia Berat dan korbannya dikenakan sanksi hukum yang sama, tindakan Jaksa Karim Khan maupun ICC sendiri, tidak mengindahkan hukum internasional, dan tidak mengindahkan aspek moralitas.
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)