Skema AS-Uni Eropa di Balik Politisasi Muslim Tatar Delegasi Ukraina di Indonesia

Bagikan artikel ini

Seperti saya paparkan dalam tulisan saya terdahulu, dalam kunjungannya ke Indonesia pada Februari 2014 lalu, Delegasi Ukraina berupaya membentuk opini terhadap berbagai tokoh masyarakat Indonesia baik dari masyarakat sipil (civil society) maupun para pimpinan partai politik, dan bahkan juga DPR-MPR RI. Salah satu satu isu yang coba mereka angkat untuk melobi dukungan para tokoh masyarakat Indonesia  adalah ihwal adanya penindasan tentara Rusia terhadap Muslim Tatar Krimea.

 

Delegasi Ukraina: Alhamdulillah Indonesia Konsisten Dukung Perjuangan Kami

 

Sehingga aspek politik internasional yang memantik meletusnya Perang Ukraina-Rusia pada perkembangannya telah didangkalkan menjadi isu Hak-Hak Asasi Manusia (HAM). Dengan demikian untuk melancarkan propaganda hitam terhadap Rusia terkait konfliknya dengan Ukraina, AS dan blok Barat masih tetap menerapkan metode lama yaitu politik pecah-belah alias devide at impera dan politisasi HAM.

 

Delegasi masyarakat sipil Ukraina mengunjungi Indonesia untuk mempererat hubungan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat di kedua negara, sekaligus menggalang dukungan bagi akhir perang di negara itu, Jakarta, Jumat (10/2/2023). (ANTARA/Katriana)

 

Ketika mencermati berita tersebut, menarik untuk menelaah kembali tulisan lama pakar hubungan internasional Dina Y Sulaeman.

(Baca: Dina Y Sulaemain, Nasib Muslim Tatar: Isu Jihad Baru di Ukraina? Jurnal the Global Review Quarterly Terbitan April 2014. Tema Sental: Gagalnya Revolusi Warna di Ukraina.)

 

Dina Sulaeman menulis ihwal Muslim Tatar:

 

“Mengingat mayoritas kaum muslim kelihatannya sedemikian mudah diprovokasi tanpa mau sejenak merenung dan mencari ‘berita  di balik berita’ isu penindasan Muslim Tatr saya perkirakan akan dipakai untuk menggalang jihad melawan Rusia.”

Kalau melihat fenomena kedatangan Delegasi Ukraina ke Indonesia untuk berupaya melobi tokoh-tokoh muslim Muhammadiyah beberapa waktu lalu, analisis  Dina Sulaeman 8 tahun yang lalu itu nampaknya masih relevan hingga kini.

Bahkan ketika itu Dina Sulaeman sempat menganalogikan kasus Ukraina dengan kasus Suriah. Yang mana baik kasus Suriah yang bermula pada 2011 dan tak kunjung berakhir hingga kini disatukan oleh benang-merah yang sama yaitu adanya skenario AS-Uni Eropa untuk menggulingkan kepala pemerintahan yang dipandangnya sebagai musuh. Yaitu Presiden Viktor Yanukovich di Ukraina dan Bashar-al Assad di Suriah.

Dalam kasus Ukraina ketika Viktor Yanukovich digulingkan melalui konspirasi politik di parlemen yang didukung Amerika Serikat pada 2014, Rusia kemudian melancarkan kontra manuver terhadap digulingkannya Yanukovich yang dipandang AS dan Blok Barat sebagai pro Rusia, dengan mendudukkan agen proksinya, Viktor Poroshenko, sebagai presiden baru yang pro Barat.

Alhasil, Rusia kemudian mengirimkan tentaranya ke Krimea (sebuah kawasan otonom di bawah pemerintahan Ukraina) untuk melindungi warganya yang terancam menyusul digulingkannya Yanukovich oleh gerombolan-gerombolan preman neo-Nazi.

Fakta tesebut nampaknya belum banyak diketahui atau mungkin juga memang dengan sengaja tidak diabaikan, bahwa keputusan Presiden Vladimir Putin untuk mengirimkan pasukannya ke Krimea adalah legal dari sudut pandang hukum internasional.

Selain itu ada sebuah fakta yang tak kalah penting bahwa Yanukovich ketika membaca gelagat bakal dikudeta oleh sebuah koalisi politik yang dimotori oleh kelompok neo-Nazi, telah mengajukan permohonan resmi kepada Rusia untuk mendapatkan perlindungan.

Bukan itu saja. Juga belum banyak yang tahu bahwa sebelumnya ada sebuah perjanjian antara Rusia-Ukraina bahwa Rusia berhak mengirimkan pasukan tentaranya hingga maksimum berjumlah 25.000 ke Krimea ketika timbul situasi genting dan membahayakan warga masyarakat Krimea yang secara etnik berasal dari Rusia.

Menghadapi situasi seperti itu, pihak AS dan blok Barat nampaknya tak punya kartu yang bisa dimainkan untuk membalas manuver Rusia, kecuali dengan menerapkan metode politisasi Islam yang didasari gagasan separatisme.

Maka tak heran jika penguasa baru Ukraina pasca kudeta terhadap Yanukovich yang dimotori kelompok neo-Nazi-AS binaan Uni Eropa, kemudian memainkan agen proksinya dari Tatar Muslim, Doku Umarov, agar menggalang kekuatan bersenjata untuk berperang melawan Rusia. Semacam sisi lain dari Osama bin Ladin dalam kasus mainan AS di Timur-Tengah dan Afghanistan pada 2001 lalu.

Kembali merujuk pada analisis Dina Sulaeman, nampak jelas beberapa media arus utama Barat seperti kantor berita Reuters yang sejak 2008 lalu telah bergabung dengan Associated Press, pihak AS dan para sekutunya di Eropa Barat secara gencar membangun opini dengan menyebarluaskan sentiment Muslim anti-Rusia terkait dengan bergabungnya kembali Krimea di Ukraina Timur, bergabung kembali ke Republik Federasi Rusia.

Maka dari itu, berbagai elemen masyarakat Indonesia harus menyadari adanyaTangan-tangan Amerika dalam membantu penggulingan Presiden Yanukovich pada 2014. Juga adanya jejak-jejak keterlibatan AS dan Uni Eropa  dalam mendukung gerakan-gerakan demonstrasi anti-pemerintahan seperti Arab Spring di Timur-Tengah maupun Revolusi Berwarna di Eropa Timur. Para perancang konsep pergerakan tersebut berasal dari satu mentor pergerakan yang sama dalam mendorong gerakan-gerakan yang kemudian kita kenal sebagai Arab Spring di Tunisia, Mesir,  maupun dengan visi serupa di Venezuela, Belarus, Georgia, dan Iran.

Adapun mentor mereka adalah CANVAS, sebuah perusahaan konsultan revolusi yang membina kaum oposan di lebih dari 40  negara.

 

(Baca juga Dina Sulaeman, L’Ukraine Est Une Autre Syrie, Jurnal The Global Review Quarterly, April 2014. Tema: mengangkat tema sental: Gagalnya Revolusi Warna di Ukraina.)

 

Adapun pentolan CANVAS adalah Srdja Popovic, arsitek gerakan penggulingan Slobodan Milosevic (Serbia) pada 2000 lalu. Dukungan dana kepada CANVAS berasal dari Lembaga-lembaga terkemuka seperti United States Institute for Peace (USIP) yang didanai oleh Kongres AS, New Tactic yang didanai oleh Ford Foundation dan Soros Foundation.

Dari konstruksi cerita tersebut di atas, maka manuver diplomatik seorang aktivits HAM sekaligus Wakil Direktur Jenderal Institut Ukraina Alim Aliev dan Dr Olexiy Haran, Profesor Studi Perbandingan Politik dari National University of Kyiv-Mohyla Academy (UKMA) melalui politisasi agama untuk membangun kesan atau citra bahwa Muslim Tatar Crimea merupakan korban pelanggaran hak-hak asasi manusia akibat aksi militer Rusia ke Ukraina, sejatinya merupakan agen-agen proksi AS dan Barat yang digunakan untuk melancarkan Russia Phobia di kalangan berbagai elemen masyarakat sipil dan partai politik di Indonesia.

Ini memang bukan spekulasi atau rumor belaka. Foreign Policy, sebuah jurnal kebijakan luar negeri AS yang dipandang cukup berpengaruh di Washington, mewartakan sebuah pengakuian dari Asisten Menteri Luar Negeri AS Victoria Nuland, bahwa AS sejak 2012 telah menginvestasikan 5 milyar dolar AS untuk mengorganisir jaringan guna memuluskan tujuan Amerika di Ukraina.

 

Anti-government protesters in Kiev

 

Fakta bahwa pada Februari 2014 Yanukovich berhasil dikudeta, nampaknya ada keterkaitan langsung dengan persiapan-persiapan yang dilakukan AS dan Uni Eropa dalam menggerakkan kelompok oposisi sejak 2012 atau bahkan jauh-jauh hari sebelumnya.

Mari kita kilas balik sejenak dengan menelisik kembali peristiwa menjelang kejatuhan Yanukovich pada Februari 2014. Ada beberapa kejanggalan. Pada Sidang Parlemen Ukraina pada 22 Februari 2014 memutuskan untuk mempercepat pemilihan umum pada 25 Mei 2014. Berarti, pemerintahan Yanukovich dinyatakan demisioner. Namun keanehan yang mendasari keputusan parlemen Ukraina yang dimotori partai-partai oposisi tersebut karena terjadinya serangkaian kerusuhan politik yang terus-menerus terjadi di Kiev, sehingga berakibat tewasnya 77 korban jiwa.

Masuk akal jika Yanukovich menanggapi aksi sepihak parlemen Ukraina tersebut sebagai vandalisme dan aksi para bandit, bahkan bisa disebut sebagai kudeta dan bersifat illegal.

Jika kita telisik kembali pada indikasi keterlibatan Asisten Menteri Luar Negeri Victoria Nuland, pendapat Yanukovich sangatlah masuk akal. Bocoran rekaman pembicaraan antara Victoria Nuland dan Duta Besar AS di Ukraina Geoffrey Pyatt, terungkap adanya upaya untuk mendukung kemunculan figur-figur oposisi Ukraina sebagai pemimpin baru Ukraina pasca tumbangnya Yanukovich.

(Baca: Hendrajit, Membaca Skenario Besar di Balik Penggulingan Presiden Yanukovich. Jurnal The Global Review Quarterly, April 2014. Tema: mengangkat tema sental: Gagalnya Revolusi Warna di Ukraina.)

 

Maka itu, isu Muslim Tatar Krimea yang selalu dimainkan oleh pemerintah Ukraina untuk memojokkan Rusia, harus dilihat dalam perspektif dinamika politik yang berkembang menyusul kejatuhan Yanukovich pada 2014. Yang berakibat Rusia kemudian mengirimkan tentaranya ke Krimea untuk melindungi warga masyarakat yang secara kultural berasal dari Rusia, untuk memberi perlindungan warga Krimea dari sentiment anti-Rusia yang dimotori oleh kelompok-kelompok neo-Nazi yang menjadi tulang-punggung koalisi politik baru pasca kejatuhan Yanukovich.

Para aktivis Masyarakat Sipil Indonesia maupun Para Politisi Partai Politik di negeri kita, nampaknya belum mendapatkan masukan yang seimbang dan adil, sehingga menggunakan kerangka analisis yang tidak tepat dalam membaca konstelasi politik di Rusia dan Ukraina sejak 2014 hingga kini.

Hendrajit, pengkaji geopolitik, Global Future Institute.

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com