Palestine, The Biggest Prison on Earth. Palestina, Penjara Terbesar di muka bumi, karya Ilan Pappe, sejarawan asal Israel, sangat layak untuk dibaca. Namun bagi saya, setelah membaca bukunya secara menyeluruh, bukan sekadar penting dan layak untuk dibaca. Melainkan juga orisinal dalam cara pandangnya menelaah secara teliti mengenai pendudukan Israel yang sudah lama direncanakan atas tanah Palestina.
Baca: Ilan Pappe, Palestine, The Biggest Prison on Earth. (Jakarta: PT Mizan Publika, 2024)
Yang membuat buku ini baru baik dalam sudut pandang maupun pendekatan yang digunakan, Pappe berhasil menyingkap dan menelanjangi apa yang sebenarnya dipikirkan oleh para perencana Israel terutama pada 1963. Yaitu bagaimana caranya membuat penjara berskala raksasa buat warga Arab Palestina.
Dengan pengertian lain, seperti tulis Pappe dalam Prakata bukunya Untuk Edisi 2024, bahwa pendudukan atau okupasi Israel di Tepi Barat dan Jalur Gaza sejak 1967, sejatinya harus dipahami sebagai penjara. Oh ya, sekadar informasi. Tepi Barat terletak di sebelah barat Sungai Yordan dan sebelah timur Yerusalem. Adapun Jalur Gaza berbatasan dengan Laut Mediterania, Israel, dan Mesir. Kota ini dihuni oleh 2,3 juta warga Palestina, menjadikannya salah satu wilayah paling padat penduduk di dunia.
Dengan latarbelakang itu, Ilan Pappe mengetengahkan dua model penjara yang berperan dalam sejarah pendudukan Israel di kedua wilayah tersebut.
Pertama, model penjara terbuka. Wilayah-wilayah yang “dihadiahkan” oleh Israel kepada bangsa Palestina di wilayah-wilayah yang diokupasi sebagai imbalan atas “perilaku baik.” Penjara terbuka ini meliputi otonomi terbatas bagi bangsa Palestina untuk menyelenggarakan kebijakan dalam negeri, seraya menyerahklan semua kebijakan keamanan dan ekonomi penting ke tangan Israel. Salah satu “hadiah”-nya adalah berupa izin bagi pekerja Palestina untuk bekerja di wilayah Israel.
Sebagai imbalannya, bangsa Palestina harus menghentikan segala perjuangan untuk kebebasan atau kemerdekaan nasional.
Menurut kajian Pappe, periode penjara terbuka ini berlangsung antara 1967 dan 1987, tahun 1993 hingga 2004, dan sampai batas tertentu antara tahun 2007 hingga 2021, meski periode terakhir ini berlaku di Tepi Barat saja.
Lantas, bagaimana kalau bangsa Palestina menolak kesepakatan penjara model terbuka ini? Dengan tak ayal Israel menerapkan penjara model kedua, model penjara dengan keamanan maksimum. Model tersebut meliputi: hukuman kolektif seperti penangkapan tanpa peradilan, pembunuhan, pembongkaran rumah, pengusiran, dan memberi kebebasan bagi pemukim Yahudi Israel untuk menyerang serta melecehkan warga Palestina.
Penjara model kedua menurut kerangka analisis Ilan Pappe inilah, yang sangat bermanfaat dalam menjelaskan berlangsungnya penindasan pemerintah Israel terhadap warga Palestina di Gaza. Inilah versi yang sangat kejam dari penjara model kedua yang diterapkan Israel di Jalur Gaza pada 2007. Jalur Gaza dihukum karena secara demokratis memilih Hamas sebagai partai yang berkuasa. Akibatnya, Tentara Israel melancarkan pengepungan darat serta blokade udara dan laut, untuk mencegah warga Palestina di Gaza melakukan perjalanan, bahkan untuk mengakses perawatan kesehatan, juga menghentikan bahan-bahan pokok memasuki Jalur Gaza.
Hamas, yang menjadi pemantik Israel untuk menerapkan penjara model kedua terhadap warga Palestina di Jalur Gaza, sayangnya semakin cenderung menggunakan cara-cara militeristik namun tanpa pola pikir dan perhitungan yang matang sebagai kekuatan perlawanan bersenjata. Ketika Hamas bereaksi terhadap tindakan represif tentara Israel, dengan mengembangkan sistem roket buatan sendiri yang diluncurkan secara membabi-buta ke Israel, termasuk ke wilayah-wilayah sipil, reaksi Hamas yang emosional tersebut malah memberi alasan Israel untuk mengerahkan kekuatan militernya untuk menghukum Jalur Gaza secara menyeluruh. Sehingga ribuan warga Palestina tewas. Termasuk anak-anak, perumahan warga dan infrastruktur.
Nah, untuk sementara soal Gaza kita usaikan dulu untuk sementara. Mari kembali ke inti yang mau disampaikan Ilan Pappe dalam bukunya yang menarik tersebut. Apa yang ada di benak pikiran para perancang strategid Israel pada 1963? Dan dalam konteks apa gagasan pemikiran tersebut dituangkan? Nampaknya semua itu bermula di Givat Ram, Bukit Ram, yang berlokasi di tepi paling barat Yerusalem saat ini.
Pada musim panas 1963, sekelompok siswa yang tidak biasa bergabung ke Universitas Hebrew di Yerusalem, untuk mengikuti pelatihan selama satu bulan. Menariknya, hampir semua siswa yang ikut pelatihan itu berlatar-belakang hukum. Beberapa di antaranya adalah anggota administrasi militer yang mengendalikan wilayah tempat orang-orang Palestina pada 1948 (sebutan bagi orang-orang Arab Israel pada waktu itu) hidup di bawah peraturan ketat yang merampas sebagian besar hak-hak asasi mereka.
Selain para siswa yang berlatar-belakang hukum dan para anggota adimistrasi militer, ada juga para perwira dari departemen hukum di angkatan bersenjata Israel atau pejabat di Kementerian Dalam Negeri, serta saty dua orang pengacara swasta. Lantas, apa saja materi-materi pelajaran yang diberikan kepada para para siswa dalam pelatihan tersebut?
Fakta bahwa sang penyelenggara adalah Departemen Ilmu Politik Universitas Hebrew, pelatihan tersebut mencakup mata kuliah tentang kekuasaan militer secara umum dan situasi politik d Tepi Barat dan Jalur Gaza. Selain itu ada materi lain yang juga tak kalah menarik, yaitu diskusi tentang pelajaran yang dapat dipetik dari kekuasaan Israel di Sinai dan Gaza pada 1956 dan di dalam Israel sejak 1948.
Materi lain tentu saja Pengenalan Singkat tentang Islam, karena yang dihadapi Israel adalah Arab Palestina, dan akhirnya ditutup dengan ceramah tentang Pembersihan etnik di Yerusalem pada 1948 atau yang oleh orang-orang Israel kerap disebut Operasi Yevusi pada April 1948. Yang pada kenyataannya merupakan penghancuran dan pemusnahan sejumlah desa di Palestina, sekaligus pengusiran penduduknya desa-desa tersebut.
Kalau mencermati keterangan salah satu peserta kepada Ilan Pappe, bahwa pelatihan kemudian dilanjutkan dengan “menyantap jamuan dengan nuansa perayaan, dan semua peserta berada dalam suasana hati yang sangat bagus, maka bisa lah fragmen tersebut sebagai sebuah ritual.
Namun ritual atau bukan, yang jelas kehadiran para siswa di Givat Ram pada 1963 itu, menurut Ilan Pappe, merupakan bagi dari strategi militer baru yang diprakarsai Kepala Staf Umum Angkatan Bersenjata Israel. Strategi tersebut disampaikan Kepala Staf Umum Angkatan Bersenjata Israel pada Mei 1963 untuk mempersiapkan pasukan dalam rangka menguasai Tepi Barat sebagai Wilayah Pendudukan Israel.
Fakta baru yang tersingkap dari buku Ilan Pappe yang belum banyak disorot secara mendetail, adalah fakta bahwa meskipun Israel baru mennguasai Tepi Barat pada 1967, namun pada 1963 tentara Israel ternyata sudah siap dengan infrastruktur peradilan serta administratif untuk mengaturkehidupan satu juta warga Palestina.
Diskusi mengenai bagaimana mengelola wilayah Arab yan diduduki Israel dimulai selama Operasi Sinai, ketika negara Yahudi, bersekongkol dengan Inggris serta Prancis, berusaha menggulingkan Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser, pada Oktober 1956.
Namun operasi Inggris-Prancis-Israel pada 1956 tersebut gagal. Sejak pengalaman pahit itulah, pemerintah dan para ahli strategi serta komandan militer Israel nampaknya sampai pada kesimpulan bahwa Israel Defense Forces/Pasukan Pertahanan Israel belum bisa diandalkan untuk melancarkan Operasi Sinai tersebut. Pembelajaran yang diperoleh dari pengalaman Operasi Sinai itu dalam pelatihan pada 1963 tersebut, mereka sadar perlu pendekatan yang lebih sistematis. Maka, dirancanglah strategi yang lebih terstruktur pada 1963. Yang mana sasaran strategisnya adalah, menduduki Tepi Barat.
Di sinilah konteks pertemuan dan pelatihan para perwira militer Israel di Universitas Hebrew pada 1963. Untuk niat menduduki Tepi Barat, perlu sebuah rencana operasi. Maka rencana tersebut diberi nama sandi “Rencana Shacham.” Dalam rencana itu Tepi Barat dibagi jadi delapan distrik untuk memfasilitasi penerapan kekuasaan militer yang terorganisasi.
Disebut Rencaha Shacham karena Michael Shacham saat itu adalah gubernur jenderal militer untuk wilayah Palestina di Israel. Shacham juga termasuk salah satu bapak pendiri unit 101, bersama Ariel Sharon, unit komando yang berani dan brutal terhadap gerilyawan serta petani Palestina yang berusaha menyelinap masuk ke Palestina. Kelak program ini secara resmi disebut “Organisasi Kekuasaan Militer di Wilayah Pendudukan.”
Melalui konstruksi penuturan Ilan Pappe tersebut, nampak jelas bahwa rencana strategis mengokupasi wilayah-wilayah Palestina memang sistematis dan terencana. Setidaknya ada tiga kelompok yang terlibat rencana tersebut: anggota departemen hukum angkatan bersenjata, akademisi Universitas Hebrew, dan pejabat Kementerian Dalam Negeri.
Intinya, “Rencana Shacham” memberikan gubernur militer kendali tak terbatas atas setiap aspek kehidupan masyarakat di wilayah yang diduduki Israel, yang dalam kasus ini adalah Tepi Barat Sungai Yordan.Sehingga para penguasa tersebut menjadi “raja-raja absolut” di wilayah-wilayah kecil mereka sendiri.
Dalam regulasi yang dikenal dengan Ketentuan No 109. memberi wewenang penuh pada gubernur untuk mengusir warga Palestina, dan No 110 yang memberi kuasa gubernur memanggil warga mana pun ke kantor polisi bilamana ia mau. Ketentuan lainnya adalah No 111, yang mengenakan sanksi penangkapan administratif-penangkapan untuk jangka waktu tidak terbatas tanpa penjelasan atau pengadilan.
Beberapa ketentuan yang amat buruk dirasakan oleh warga Arab Palestina tersebut berakar pada penafsiran sejumlah ketentuan yang mana gubernur punya hak mengambil langkah-langkah pendahuluan, yang paling umum adalah menyatakan seluruh desa sebagai “area militer tertutup” begitu aparat intelijen militer Israel mendeteksi gelagat bakal adanya aksi demonstrasi yang akan terjadi. Seperti yang terjadi pada q1949 ketika warga Palestina berdemonstrasi menentang perampasan tanah dan akan terus digunakan untuk membungkam protes di Tepi Barat sampai saat ini dan di Jalur Gaza hingga tahun 2005.
Para lulusan Givat Ram sejak Mei 1967 bukan saja terlibat secara aktif dalam pelaksanaan Rencaha Shacham, bahkan kemudian banyak yang dilibatkan dalam Unit Khusus yang dituaskan pada pasukan pendudukan sebulan kemudian. Para alumni Givat Ram mengambil-alih administrasi peradilan miliuter di Tepi Barat serta Jalur Gaza. Jadi, seperti yang dilakukan oleh Zvi Inbar, salah satu alumni pelatihan Givat Ram yang kemudian bertugas di Jalur Gaza, kekuasaan militer yang terbentuk segera ditindaklanjuti dengan sistem peradilan.
Begitulah adanya. Persiapan empat tahun yang dimulai sejak 1963 sebagai penanaman benih dan bibit, akhirnya berbuah pada 1967. Rejim Militer Israel yang berbasis Mega Penjara Terbesar di muka bumi, yang semula diperuntukkan bagi satu setengah juta orang, yang saat ini sudah meningkat jadi empat juta orang.
Inilah sejatinya Zionisme Israel. Mengakhiri tulisan singkat ini, mungkin akan lebih jelas gambarannya dengan mengutip secara langsung analisis tajam dari Ilan Pappe dalam bukunya yang mencerahkan tersebut:
“Pemerintah Israel yang ketiga belas berkumpul hampir setiap hari di kedua meja tersebut setelah perang tahun 1967, yang secara intensif membahas nasib Tepi Barat dan Jalur Gaza serta masa depan penghuninya. Setelah hampir tiga bulan melakukan pertimbangan, mereka mengakhiri diskusi dengan serangkaian keputusan, yang semuanya dalam satu atau lain cara menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup kepada mereka yang tinggal di Tepi Barat dan Jalur Gaza dalam penjara terbesar yang pernah ada pada zaman modern. Warga Palestina yang tinggal di sana dikurung atas kejahatan dan pelanggaran yang tidak pernah mereka lakukan, akui, atau tetapkan. Saat buku ini ditulis, sudah ada generasi ketiga ‘narapidana’ yang memulai kehidupan mereka di sana.”
Sejak 1967 hingga kini, “Rencana Shacham” yang merupakan jabaran dari Skema Penjajahan Zionis Israel, tetap menjadi landasan kebijakan Israel terhadap seluruh wilayah pendudukan hingga saat ini. Tak satu pun dari pemerintahan Israel berikutnya yang menyimpang dari halur ini, dan mereka juga tidak pernah ingin menyimpang dalam bentuk dan cara apa pun.
Menyadari kenyataan bahwa hal ini merupakan produk dari Konsensu Zionis yang didukung semua spektrum politik yang ada di Israel, maka satu-satunya cara untuk menentang keputusan strategis yang dibuat pada 1967 itu adalah dengan mempertanyakan validitas Zionisme itu sendiri. Nampaknya, inilah intisari pesan Ilan Pappe, dalam bukunya.
Ilan Pappe, 1984 dan 2006, merupakan dosen senior di Departemen Sejarah Timur Tengah dan Departemen Ilmu Politik Universitas Haifa, sementara dari tahun 1992 hingga 2000 ia menjadi pendiri dan direktur Institut Akademik untuk Perdamaian di Givat Haviva dan antara tahun 2000 hingga 2006 ia menjadi presiden Institut Emil Tuma untuk Studi Palestina di Haifa.
Lantaran posisinya yang sangat kritis terhadap pemerintah Israel dan simpatinya yang begitu besar terhadap perjuangan Palestina, pada 2007 ia memilih untuk meninggalkan negaranya selamanya lalu menetap di Inggris, dan saat ini mengajar sejarah di departemen Studi Arab-Islam di Universitas Exeter.
Disamping karir akademiknya yang cukup produktif, ia juga bukan ilmuwan steril dari aktivitas sosial-politik. Ia juga tercatat sebagai anggota terkemuka Hadash, koalisi sayap kiri bersejarah dalam politik Israel, juga menjadi kandidat dalam pemilihan umum tahun 1996 dan 1999.
Saat ini, ia dianggap sebagai salah satu perwakilan utama “Sejarawan Israel Baru”, generasi baru sarjana yang telah secara mendalam mengubah cara kita memandang Israel dan hubungannya dengan dunia Arab.
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)