Dalam mengkaji dan menganalisis perkembangan internasional, apalagi dalam menganalisis perilaku politik luar negeri negara-negara adidaya seperti AS, Cina atau Rusia, kerap muncul istilah Soft Power. Apa sesungguhnya pengertian dari Soft Power?
Konsep ini mulai dipopulerkan oleh pakar politik AS Joseph S Nye sejak 1980, melalui dua bukunya, Bound to lead (1990) dan The Paradox of American Power (2002).
Namun Nye mulai mendalami secara lebih serius dan rinci konsep Soft Power ini melalui bukunya Soft Power: The Means to Success in World Politics. Melalui bukunya ini, Nye mengartikan Soft Power sebagai Kemampuan menciptakan pilihan-pilihan bagi orang lain, yaitu kemampuan memikat dan mengkooptasi (menyenangkan hati) pihak lain agar rela melakukan hal yang kita kehendaki tanpa kita memintanya.
Lebih lanjut Nye mengatakan bahwa soft power suatu negara terdapat terutama dalam tiga sumber: Kebudayaan, Nilai-Nilai Politik, dan Kebijakan luar negerinya.
Dalam pandagan Nye, soft power sejatinya merupakan kooptasi dan dilakukan secara tidak langsung, sedangkan hard power bersifat memaksa atau memerintah dan dilakukan secara langsung. Instrumen soft power berupa nilai-nilai, kebudayaan, institusi, kebijaksanaan, pendidikan, olah raga, aset ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan lain-lain.
Sementara hard power bergantung pada kekuatan militer, diplomasi koersif, atau sanksi. Oleh karena itu hard power lebih cenderung mengakibatkan perlawanan ketimbang soft power.
Sebagai sebuah konsep yang selama ini mewarnai kebijakan luar negeri AS disamping hard power, pandangan Nye rasanya perlu kita kritisi juga. Keberatan saya bukan pada pengertian soft power itu sendiri, tapi dari segi motivasinya. Karena dalam pandangan Nye, terkesan jika AS menerapkan Soft Power, langkah politik Negeri Paman Sam itu secara moral lebih bisa dibenarkan dibandingkan pendekatan Hard Power.
Padahal kedua-duanya, didasari tujuan dan motivasi yang sama, yaitu menjajah dan menguasai hajat hidup negara-negara yang jadi sasarannya.
Maka dari itu, saya agak terganggung dengan pidato Presiden SBY pada 2005 lalu di depan para peserta US-Indonesia Society (USINDO) selang beberapa bulan setelah dilantik jadi Presiden RI. Menurut SBY, negara-negara dunia, termasuk AS, sebaiknya mengembangkan soft power ketimbang hard power.
Seakan hendak memberi pesan kepada para pembuat kebijakan luar negeri dan strategi global AS, silahkan saja menjajah dan menguasai Indonesia selama menerapkan pendekatan Soft Power.
Padahal, pada kenyataannya soft power yang diterapkan AS di Indonesia, sudah terbukti daya rusaknya sejak era akhir 1960-an. Seperti keluarnya UU Penanaman Modal No 1 tahun 1967 yang mengizinkan pihak swasta asing menguasai 90 persen saham sektor-sektor strategis di Indonesia. Keluarnya UU Migas No 22 tahuin 2001 yang telah melumpukan Pertamina sebagai pemegang kewenangan dalam mengurus tata kelola migas di Indonesia, jelas merupakan produk dari soft power AS.
Seharusnya wacana yang kita kembangkan dalam membahas soft power adalah, apa yang bisa kita gali dan kembangkan dari konsepsi Nye maupun pengembangan lebih jauh dari konsep ini, agar kita bisa mengenali kekuatan dan keunggulan bangsa kita baik dari segi ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya dan Pertahanan-Keamanan. Untuk pada perkembangannya kemudian, konsepsi soft power ini bisa kita jadikan landasan untuk melancarkan kontra skema dan preemtive strike terhadap bangsa-bangsa asing yang bermaksud menjajah dan menguasai hajat hidup bangsa kita baik secara material maupun immaterial.
Dengan begitu, ke depan Indonesia tidak hanya mengamati dan menelaah atau meneropong dunia internasional. Melainkan juga menyusun sebuah kekuatan gagasan untuk menulis, memahami, menyadari serta menganalisis sejarah dunia. Bahkan, membuat sejarah dunia baru dengan menyusun beberapa skenariio sebagai landasan pemerintah menyusun kebijakan strategis dalam politik luar negeri.
Pada tataran ini, konsepsi Nye mengenai tiga sumber yang menjadi tumpuan pendekatan soft power (kebudayaan, nilai-nilai dan kebijakan luar negeri) bisa kita jadikan dasar untuk menjabarkan kepentingan nasional kita secara lebih nyata dan rinci.
Dengan begitu, soft power yang kita kembangkan tidak dalam kerangka melayani kepentingan-kepentingna negara-negara adidaya, melainkan justru untuk melancarkan kontra skema atas rencana-rencana tersembunyi mereka.
Karena di era pemerintahan SBY, nampak jelas bahwa politik luar negeri kita sama sekali tidak menerapkan soft power maupun hard power, karena tujuan dan arah kebijakan luar negeri kita tidak jelas.
Padahal dalam menyusun strategi global maupun kebijakan luar negeri, seharusnya mengintegrasikan tiga faktor yang bertaut satu sama lain alias bersenyawa: Faktor Strategis, Faktor Ekonomi dan Faktor Budaya. Tanpa mempertautkan tiga faktor ini, strategi global dan kebijakan luar negeri suatu negara jadi omong kosong belaka.
Saat ini, Indonesia sudah waktunya untuk memainkan pendekatan soft power dalam ikut serta memainkan peran strategisnya di dunia internasional, khususnya di kawasan Asia-Pasifik. Dan kita, punya beberapa keunggulan geopolitik yang sebenarnya tak tergantikan oleh negara-negara lain:
- Sebagai Negara Kepulauan terbesar di dunia.
- Negara berpenduduk muslim terbesar di dunia
- Negara keempat terbesar di dunia
- Pendiri dan Pelopor Solidaritas Asia-Afrika dan Gerakan NonBlok
- Motor Penggerak dan mitra senior negara-negara ASEAN.
- Memiliki kekayaan sumberdaya alam maupun khazanah budaya dan intelektual.
Saya kira melalui kekuatan dan keunggulan kita inilah, soft power sebagai landasan untuk menyusun strategi global Indonesia sudah bisa kita mulai.
Penulis: Hendrajit, Pengkaji Geopolitik dan Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)