Sosial Demokrasi di Amerika Latin: Jalan Alternatif atau Bentuk Kompromi terhadap Neoliberalisme?*

Bagikan artikel ini

Nur Iman Subono

Is Social Democracy Possible in Latin America?”, adalah judul salah satu tulisan yang dimuat dalam Nueva Sociedad, no 217, 2008. Dari judulnya saja kita bisa menduga bahwa penulisnya, Kenneth M. Roberts, seorang profesor di Cornell University, menampilkan perdebatan seputar isu apakah ideologi dan politik sosial demokrasi memiliki akar sejarah dan kontekstual sosial dan politik di wilayah Amerika Latin?

Dalam konteks ke”kini”an, pertanyaan yang lebih pasti bisa berbunyi, apakah sosial demokrasi memiliki tempat di Amerika Latin? Apakah dia bisa menjadi alternatif dari ideologi dan praktek neoliberalisme yang setelah lebih dari 10 tahun dijalankan di wilayah Amerika Latin memperlihatkan dampaknya yang mengerikan bagi masyarakat pada umumnya, khususnya kelas bawah. Kita bisa menyebutkan di sini kalangan buruh, petani, penduduk asli (indigenous peoples), kalangan perempuan dan kelompok marjinal sebagai pihak yang paling banyak dirugikan dengan dominanya eksperimen neoliberalisme di wilayah tersebut.

Masalah ada atau tidak adanya tempat sosial demokrasi di Amerika Latin ini pada dasarnya bukanlah pertanyaan yang baru sama sekali. Mungkin yang perlu diangkat di sini, mengapa pertanyaan seperti ini kembali muncul kepermukaan? Sebetulnya semuanya kembali berawal ketika dalam tahun-tahun belakangan ini, persisnya sejak tahun 1998, ada lebih dari 9 presiden terpilih melalui pemilu di negara-negara Amerika Latin cenderung memiliki orientasi “Kiri” (Left) dalam ideologi dan kebijakan politiknya, atau minimal dalam retorika politiknya. Perubahan besar yang sedang berlangsung ini, jika mengutip Jorge Castaňeda, sering dianggap sebagai “Latin America’s Left Turn”, terjadi pada hampir seluruh negara dengan dua pertiga penduduk di wilayah Amerika Latin. Dengan bahasa yang agak provokatif, Castaňeda menggambarkannya sebagai “a veritable left-wing tsunami” di mana para pemimpin, partai, dan gerakan, yang secara umum dilabel sebagai “leftist” telah merebut kekuasaan. Pada titik itu kemudian, pembicaraan mengenai sosial demokrasi, yang juga merupakan varian dari ideologi dan praktek politik “Kiri” kembali mengemuka. Dalam perubahan dan dinamika yang sedang terjadi di Amerika Latin, terutamanya dalam mengkritisi atau bahkan menghantam ideologi dan praktek neoliberalisme di wilayah tersebut, jika kita kembali mengutip Kenneth M. Roberts, telah melahirkan sedikitnya 3 skenario perubahan. Yang pertama, perubahan yang terjadi tidak terlalu banyak meski neoliberalisme, sebagai ideologi maupun kebijakan, mendapat gempuran hebat. Menurut Peter Hakim, kekuasaan dan kekuatan pasar global begitu perkasa dalam membatasi pilihan-pilihan kebijakan banyak negara dan juga para pemimpinnya untuk tidak terlalu bisa menarik jarak dari prinsip-prinsip atau nilai-nilia liberalisme. Yang kedua, dicatat oleh Castańeda dan Vargas Llosa, ada semacam kebangkitan dari kalangan demagog populisme, yang biasanya berkorelasi dengan ide-ide nasionalisme, statisme dan bahkan kecenderungan kembalinya otoriterisme. Yang ketiga, yang menjadi concern tulisan ini, kemungkinnan lahirnya varian dari sosial demokrasi di wilayah Amerika Latin sebagai respon atau reaksi dari upaya restrukturisasi neoliberalisme. Kita perlu mengkaji apakah sosial demokrasi bisa menjadi alternatif dari neoliberalisme dengan mengkombinasikan antara demokrasi perwakilan dengan ekonomi pasar, dan peran negara dalam mengurangi, atau menghapus ketimpangan dan kemiskinan sosial, serta mempromosikan atau memperluas hak-hak ekosob warga negara.

Siapa Representasi Sosial Demokrasi?

Meskipun pembicaraan mengenai sosial demokrasi kembali mengemuka, tapi hingga saat ini tidaklah mudah untuk sampai pada klasifikasi yang tepat, pas, apalagi komprehensif tentang partai politik atau organisasi politik di Amerika Latin yang bisa disebut sebagai representasi, atau minimal mendapat label, sosial demokrasi. Pendekatan formal dengan melihat keanggotaan penuh dalam Sosialis Internasional (SI) adalah salah satu cara melihat apakah partai politik atau organisasi politik memiliki ideologi dan praktek sosial demokrasi. Di sini kita bisa menunjuk antara lain Acción Democrática (Venezuela), kemudian Partido Radical (Chili), Izquierda Democrática (Ekuador), Partido Democrática Trabalhista (Brazil), dan Movimiento Nacional Revolucionario (El Salvador). Tapi ternyata ada juga partai politik yang hanya menjadi anggota konsultatif dari Sosialisme Internasional seperti Partido Aprista Peruano (Peru) dan Movimiento Electoral del Pueblo (Venezuela). Bahkan ada banyak faksi-faksi dalam partai politik yang tidak bergabung secara formal tapi tetap mendapat dukungan dari Sosialisme Internasional. Misalnya di sini kita bisa menyebutkan faksi-faksi dalam Partido Socialista (Chili), kecenderungan dalam Unión Civica Radical (Argentina), dan Frente Sandinista de Liberación Nacional (Nikaragua). Dengan demikian jelas bahwa ada heterogenitas dalam partai politik atau organisasi politik, dengan label ”sosial demokrasi”, yang tidak bisa dilihat hanya semata-mata berdasarkan keanggotaannya dalam SI.

Atilio Borón, dalam salah satu tulisannya yang membandingkan tradisi sosial demokrasi di Eropa dan proses transisi di Amerika Latin, melihat adanya pengelompokan kembali (regrouping) seputar partai politik dan gerakan sosial demokrasi di Amerika Latin dengan spektrum yang sangat longgar, baik dari sayap ”kanan” maupun ”kiri” dari Sosialis Internasional. Meskipun, masih menurut Atilo, organisasi-organisasi progresif ”Kiri” memiliki peran yang cukup dominan dalam mewarnai peran SI di wilayah Amerika Latin, tapi banyak dari partai atau gerakan politik yang ada di wilayah tersebut ternyata asal usulnya merupakan formasi dari gerakan nasionalis atau populis lama.

Penjelasan yang lain, dan terkesan sinis, adalah munculnya ”oportunistik” (opportunism) dari kalangan yang mengaku sosial demokrasi di Amerika Latin dalam upaya mereka mendekatkan diri dengan kalangan sosial demokrasi di Eropa. Upaya ini bertujuan untuk mendapatkan dukungan politik dan ekonomi dari kapitalisme Eropa sebagai alternatif atas hegemoni Amerika Serikat di wilayah Amerika Latin. Tentu lebih terasa adil jika kita melihat masalah ”oportunistik” dari kepentingan kedua belah pihak. Tentu kita masih ingat bagaimana partai-partai ini selama 1970an mendapatkan dukungan internasional dalam memperjuangkan demokrasi. Pada titik ini bagaimana kita melihat SI memberikan tawaran dan dukungannya terhadap kelompok-kelompok perlawanan atau oposisi politik terhadap kekuasaan militer di Amerika Selatan (Southern Cone), dan sebagian wilayah lain di Amerika Tengah (Central America). Ini bisa terlihat dalam kasus negara-negara seperti Argentina, Chili, Uruguay dan Brazil. Tapi yang menariknya, SI juga memberikan dukungan terhadap gerakan atau perlawanan bersenjata di Amerika Tengah, dan mempromosikan pentingnya jalan penanganan konflik subregional di luar kerangka konfrontasi Timur-Barat. Dengan demikian, dengan pengaruh yang relatif terbatas tapi cukup agresif, SI memberikan dukungan baik dalam bentuk proses reformis maupun revolusioner. Garis politik SI atas dukungan gerakan pembebasan nasional dan mengecam diktator militer melahirkan tanggapan yang positif dari berbagai gerakan politik di wilayah tersebut, dan pada titik itu, kita melihat kemudian doktrin ”democratic socialism” sebagai alternatif politik menjadi pilihan dari gerakan perlawanan atau oposisi politik tersebut. Lain daripada itu, ada juga kalangan penyandang dana atau pemilik modal di balik kekuatan sosial demokrasi Eropa yang mewakili kepentingan modal sehingga motivasinya pun, dalam memberikan dukungan ini, sebagian hanya karena mengimbangi, atau bahkan menentang hegemoni ekonomi Amerika yang begitu mengakar di wilayah Amerika Latin, khususnya melalui proyek neoliberalismenya. Tentu memang membutuhkan penelitian yang lebih dalam untuk sampai pada kesimpulan yang belakangan ini, dan ini di luar kapaistas tulisan ini untuk mengkajinya.

Tiga Kekuatan Sosial Demokrasi
Kita kembali dengan pertanyaan siapa yang kemudian paling pantas mereprentasikan kekuatan sosial demokrasi di Amerika Latin dewasa ini. Apabila kita mengutip Kenneth M. Roberts di atas, yang memulai tulisannya dengan pertanyaan apakah mungkin sosial demokrasi memiliki tempat di Amerika Latin, maka ada baiknya kita merujuk pernyataan Francisco E. Panizza, pengajar senior Politik Amerika Latin di London School of Economics and Political Science. Berbeda dengan Kenneth M. Roberts yang masih dalam tahap bertanya, maka Panizza dengan tegas mengungkapkan bahwa dewasa ini, sebagai bagian dari gelombang atau kecenderungan “Kiri” di Amerika Latin semenjak 1998, ada tiga kekuatan politik yang bisa dianggap sebagai kekuatan sosial demokrasi. Mereka adalah Partai Sosialis (Partido Socialista) di Chili, Partai Buruh (Partido dos Trabalhadores) di Brazil, dan Front Luas (Frente Amplio) di Uruguay. Apakah memang demikian? Apakah basis argumen dan fakta empirisnya sehingga Panizza sampai pada kesimpulan tersebut? Tentu menjadi menarik paparan Panizza ini, apalagi mengingat secara formal, FA dan PT bukan anggota SI. Lain daripada itu, FA sendiri merupakan koalisi partai, dan bukan partai tersendiri. Memang, sebagaimana Kenneth M. Roberts, Panizza juga mengakui bahwa asal-usul sosial demokrasi di Eropa, dengan serangkaian sejarah dan kondisi sosial-politik tertentu, yang dicirikan terutama dengan ekonomi yang berbasis pada produksi industri dan sektor buruh terorganisir yang mayoritas tidak ditemui atau tidak dapat direplikasi di wilayah Amerika Latin, termasuk di tiga negara tersebut. Apalagi, kita pun tahu, bahwa kebijakan neoliberalisme yang dijalankan hampir di semua wilayah Amerika Latin telah mengakibatkan heterogenitas kekuatan buruh dan memperdalam ketimpangan sosial, dan ini sudah pasti semakin menjauhkan prospek kehadiran dan keberlanjutan sosial demokrasi di wilayah tersebut. Tapi pada saat bersamaan, kita pun menyadari sosial demokrasi di Eropa pun tidak tunggal dan terus mengalami perubahan. Ada perbedaan yang cukup tajam dari model sosial demokrasi yang berkembang di Skandinavia, Jerman dan Belanda di satu sisi, dengan apa yang muncul di Perancis, Italia dan Spanyol. Sementara itu, Inggris dan Belgia bisa dikatakan berada diantara dua model tersebut.

Meskipun demikian, kembali mengutip Penizza, ada beberapa karateristik dari ketiga kekuatan politik tersebut, yang berkaitan dengan tujuan, kebijakan, dan strategi politik, yang memiliki elemen sosial demokrasi. Pertama, akar dari ketiga kekuatan politik tersebut adalah kelas buruh dan sektor-sektor popular lainnya. Kemudian, kedua, dengan intensitas, waktu dan derajat yang berbeda, mereka semua lebih memiliki komitmen upaya-upaya reformasi (pembaharuan) daripada berjuang untuk melenyapkan kapitalisme. Ini dilakukan melalui kebijakan sosial dalam rangka untuk membatasi dan mengkoreksi ketimpangan-ketimpangan sosial yang muncul akibat beroperasinya ”pasar bebas”. Karenanya, ketiga, sebagai konsekuensinya, mereka yang ada dalam garis perjuangan sosial demokrasi ini, menempatkan ide dan praktek sosialisme sebagai kategori etik daripada sebagai tindakan politik aktif untuk mempromosikan pemilikan kolektif terhadap alat-alat produksi. Singkatnya, mereka telah meninggalkan elemen-elemen utama dari revolusi untuk kemudian lebih ramah terhadap berbagai bentuk pembaharuan (reform), politik elektoral dan berbagai institusi demokrasi liberal.

Pendapat Panizza ini juga didukung oleh Profesor Menno Vellinga dari Center for Latin American Studies di University of Florida. Menurutnya, sosial demokrasi yang dalam beberapa tahun sebelumnya pernah dianggap melakukan ”penghianatan” (betrayal) terhadap ide-ide sosialisme, ternyata dewasa ini pendapat seperti itu sudah berubah. Dari pilihan kedua terbaik dari sosialisme, masih menurut Vellinga, strategi sosial demokrasi, yang dicirikan dengan lebih reformis daripada revolusioner, lebih pragmatis dan tidak terlalu ideologis, serta lebih kompromistis dan tidak terlalu antagonistik terhadap kapitalisme, telah menjadi diskursus yang dikaji dan dirujuk oleh gerakan sosialis sebagai ”sesuatu” yang patut dipertimbangkan. Bahkan lebih jauh lagi, sosial demokrasi ditempatkan tidak hanya dalam pigura model intervensi politik, tapi meliputi seluruh wilayah pembangunan masyarakat. Lagi-lagi pertanyaannya, sampai sejauh mana ”sosial demokrasi” ini bisa menjadi ”sesuatu” yang produktif dan bisa dijalankan dalam praktek politiknya, dan tidak hanya sekedar sejumlah daftar normatif dari ide-ide sosial demokrasi.

Politik PT, PS dan FA
Berbeda dengan partai-partai sosialis atau ”Kiri” di Amerika Latin pada umumnya, ketiga partai yang sekarang sedang berkuasa ini secara politik telah bergerak ke ”Kiri-Tengah” (Centre-Left) dari akarnya yang tadinya radikal. Setiap partai politik memang mengalami perubahan dalam waktu, laju dan arah yang berbeda yang dikaitkan dengan akar historis, kendala, peluang dan lingkunganya sendiri-sendiri. Walaupun demikian, ada beberapa elemen yang relatif seragam dan pararel dari ketiga partai politik tersebut. Pertama, ketiga partai tersebut sudah terlembaga secara relatif mapan dan beroperasi dalam rejim atau pemerintahan yang demokratis dengan konsolidasi demokrasi yang berjalan lebih baik dibandingkan dengan negara-negara Amerika Latin lainnya. Partai politik dan sistem kepartaiannya telah memberikan tempat bagi para pemain dari segala spektrum politik, dan sejauh ini mereka menempatkan aturan dan institusi demokrasi sebagai ”the only game in town”. Singkatnya, mereka bermain dalam wadah pluralisme yang sudah relatif terlembaga, dengan ada ”checks and balances” yang dapat mencegah atau mengendalikan ide-ide atau praktek-praktek politik yang mencoba mendominasi, apalagi menghegemoni. Semua pemikiran dan kekuatan politik yang ada memiliki akses pada kekuasaan negara (state power) melalui cara-cara atau saluran yang dicirikan dengan perubahan, pergantian dan dinamika dalam jabatan publik yang sudah terlembaga dengan baik. Ini artinya, dinamika dan perubahan politik yang terjadi merefleksikan kematangan atau kedewasaan (maturation), daripada krisis (crisis), dari pemerintahan yang demokratis.

Kemudian kedua, ketiga kekuatan politik memiliki akar tradisi sosialis Amerika Latin. Ketiganya pernah mengalami trauma represif politik di bawah rejim birokratik-otoritarian, dan mereka juga melewati periode-periode ambruknya model ekonomi ISI (Industrialisasi Substitusi Import) dan sosialisme negara (state socialism) di Blok Soviet (Blok Komunis). Pengalaman traumatik politik yang buruk, dan juga mengerikan ini, pada gilirannya mendesakkan dorongan moderatisasi dari gerakan atau kekuatan politik yang ada. Di satu sisi, mereka cenderung untuk meninggalkan tujuan-tujuan maksimal sosialisme dan menjadi ramah dengan demokrasi liberal sebagai ruang publik yang menjaga ’civil liberties’ dan mengelola konflik. Sementara itu, di sisi yang lain, mereka juga melunakkan kritik mereka terhadap neoliberalisme dengan menyadari bahwa integrasi pasar global telah menyempitkan kemungkinan munculnya jalur-jalur alternatif di luar neoliberalisme. Singkatnya, jika mengutip Kenneth M. Roberts, mereka merepresentasikan ”Kiri Paska-Marxis” (Post-Marxist Left) dengan mempromosikan komitmen terhadap pembaharuan demokratik dari kapitalisme di bawah kepentingan kesetaraan dan keadilan sosial.

Ketiga, berkaitan dengan sebelumnya, mereka, dengan derajat, waktu dan laju yang berbeda, mengalami berbagai persoalan seperti hambatan institusional, kalkulasi elektoral dan pelajaran politik. Sebagaimana sudah diungkapkan bahwa ketiga kekuatan politik ini memiliki peran menentukan dalam perjuangan yang mendorong kembalinya demokrasi. Dalam proses-proses politik yang sudah, sedang dan akan berlangsung, mereka memasukan dalam agenda politik mereka masalah-masalah dan ide-ide hak asasi manusia dan menjadi ramah terhadap ide-ide dan institusi-institusi demokrasi liberal. Ternyata ide-ide dan praktek-praktek demokrasi telah membentuk ruang-ruang publik yang lebih luas di mana mereka beroperasi, dan salah satunya adalah institusi elektoral yang memiliki pengaruh terhadap strategi politik ketiga parpol tersebut. Mereka ikut menjadi bagian dari aturan main pemilihan presiden dua-putaran yang mendorong pembentukan aliansi politik dan kebutuhan untuk memperluas basis dukungan dari masyarakat dalam upayanya meraih suara 50 % plus untuk mendapatkan suara mayoritas. Kompetisi elektoral, langsung maupun tidak, telah mendorong kebutuhan untuk pembiayaan kampanye, pemasaran politik dan keperluan untuk menjangkau kalangan pemilih marjinal atau mereka yang tidak diuntungkan atau dilupakan.

Sementara itu pembicaraan mengenai pembelajaraan politik, kita bisa merujuk pada proses demokratisasi sosial dari partai-partai ”Kiri”. Contoh yang menarik adalah Partido Socialista (PS) di Chili. Para pimpinan PS kelihatannya belajar dari kegagalan pemerintahan Chili di bawah Salvador Allende. Dalam kajian dan evaluasi para pimpinan PS, disamping masalah kudeta militer dan dukungan AS, polarisasi politik dan salah kelola ekonomi adalah penyebab utama jatuhnya kekuasaan Allende. Pemerintahan Allende saat itu, dengan bendera Unidad Popular, sangat buruk dalam membangun dan mengelola aliansi politik, dan karenanya, sebagai evaluasinya, ada kebutuhan untuk kembali ke gaya politik konsesual yang secara historis merupakan karakter utama politik Chili. Ini yang kemudian dilakukan oleh PS dalam tindakan-tindakan politiknya kemudian, khususnya dalam membangun aliansi dengan kalangan Kristen Demokrat dan partai-partai tengah lainnya. Aliansi yang begitu solid dan kompak ternyata membuahkan hasil ketika pada tahun 1988 berhasil mempromosikan plebisit yang menjatuhkan pemerintahan Jenderal Pinochet yang sudah berkuasa sejak tahun 1973 melalui kudeta militer.

Bergeraknya kalangan ”Kiri” menjadi ”Kiri-Tengah”, ternyata juga diikuti oleh PT dan FA meski tidak semulus PS dalam perjalanan politiknya. Pelajaran mengalami kekalahan dalam pemilu menyebabkan kedua kekuatan politik ini melakukan evaluasi untuk mengubah strategi dan perjuangan politik elektoralnya. Mereka perlu meluaskan basis konstituennya (emergent constituencies), dan tidak terpaku pada basis tradisionalnya yang terdiri dari kalangan kelas buruh dan pekerja sektor publik. Pada kenyataannya, basis konstituen tersebut secara sosial-politik maupun budaya, sangat heterogen atau beragam. Ini yang kemudian disebut dalam reformasi neoliberalisme sebagai ”koalisi longgar” (coalition of lossers). Memang karakter dan luasnya ”koalisi longgar” ini berbeda dari masing-masing kelompok sosial yang ada. Di satu sisi, mereka terdiri dari kalangan sektor bisnis dan kelas menengah yang mulai frustasi dan merasakan dampaknya dari akibat buruk praktek neoliberalisme di tahun 1990an, meski pada saat bersamaan mereka juga tidak mau terlalu kehilangan posisi mereka dalam masyarakat, khususnya dalam bidang ekonomi. Sementara itu di sisi yang lain, mereka juga terdiri dari kalangan urban dan petani miskin, pengangguran, dan mereka yang bekerja di sektor ekonomi informal, dan umumnya memiliki hubungan klientelistik dengan partai-partai ”Kanan”.

Upaya bergerak ke ”Kiri-Tengah” ini merupakan suatu strategi yang tidak hanya untuk menjaring lebih banyak pemilih atau pendukung, tapi juga dalam usaha membangun sebuah koalisi dengan partai-partai tengah yang akan menjadi pemerintahan koalisi setelah pemilu dimenangkan. Di Chili, koalisi itu dikenal dengan sebutan Concertación dan telah menjadi basis politik bagi pemerintahan yang terbentuk kemudian. PT di Brazil hanya menguasai kurang dari 23% kursi di Kongres, dan karenanya untuk mendapatkan dukungan mayoritas anggota Kongres, pemerintah harus mendirikan koalisi yang melibatkan juga kalangan partai ”Kanan” dan ”Kiri-Tengah” dalam pemerintahannya. Sementara itu, FA di Uruguay merupakan koalisi tidak kurang dari 21 kelompok yang berasal dari kalangan radikal ”Kiri” hingga ke ”Tengah”, dan mereka terepresentasi 7 wakilnya dalam parlemen.

Arah Kebijakan Ekonomi 
Bagaimana dengan arah pilihan ekonomi mereka? Dibandingkan dengan negara-negara Amerika Latin lainnya seperti Venezuela, Bolivia dan Ekuador, yang sarat dengan nuansa radikal populisme atau kerusuhan dan pembrontakan ”akar rumput”, maka suasana ekonomi dan sosial-politik di Chili, Brazil dan Uruguay relatif lebih stabil. Bahkan dan dalam kasus Chili, meski terus mendapat kecaman dari kalangan ”Kiri” garis keras, dianggap berhasil dalam pembangunan ekonominya. Jika kita perhatikan memang tidak terlalu salah kalangan yang mengatakan bahwa tiga kekuatan politik yang ada tersebut ”hanya” bergerak dalam manuver-manuver yang sangat hati-hati, kompromis dan bahkan cenderung hanya melanjutkan praktek model pembangunan neoliberalisme. Mereka masih tetap mengadopsi kebijakan makroekonomi yang relatif ortodoks dengan tujuan untuk menghindari goncangnya pasar dan larinya modal yang tentu saja akan mempengaruhi kebijakan moneter dan fiskal. Bahkan untuk kasus Brazil dan Uruguay, Panizza sendiri menyatakan bagaimana sebetulnya dinamika pasar yang mengontrol tim ekonomi Brazil di bawah Menteri Keuangan, Antonio Palocci dan Uruguay di bawah Menteri Keuangan Astori, dan bukan sebaliknya. Walaupun mereka berada dalam situasi internasional yang sudah berubah, Post-Washington Consensus, tapi tetap saja mereka tidak bisa terlalu lepas dari tutorial agen finansial internasional seperti Bank Dunia dan Inter American Development Bank, dan kalangan ekonom ”arus utama” (mainstream).

Meskipun demikian, menurut Kenneth M. Roberts, sekaratnya Washington Consensus, dan sempat ditandingi dengan Bueno Aires Consensus, membuat peluang politik mereka, dengan intensitas dan derajat yang berbeda, untuk melakukan experimentasi berbagai kebijakan semakin terbuka. Bahkan lonjakan (boom) ekspor komoditi paska 2003 telah melonggarkan hambatan-hambatan fiskal dan perdagangan luar negeri dalam beberapa inisiatif kebijakan tertentu dari ketiga negara tersebut. Sebagai alternatif kebijakan ekonomi, jika mau disebut demikian, mereka mengusung ide ”keeping the market happy and promoting social justice”. Dalam peluang-peluang ekonomi dan politik tersebut, berbagai pembaharuan yang berkaitan dengan kebijakan sosial benar-benar dimanfaatkan. Ini terlihat dalam skema kebijakan yang bertujuan untuk mengurangi ketimpangan sosial, meningkatkan pendapatan dan standar kehidupan masyarakat miskin, dan memperluas perlindungan sosial dan hak-hak warga negara dari kelompok-kelompok masyarakat yang terpinggirkan (underprivileged groups).

Luiz Inácio Lula da Silva, atau yang lebih populer dipanggi Lula, adalah presiden Brazil yang ke 35. Ia berjuang mencalonkan diri sebanyak 3 kali sebagai presiden sejak 1989, dan baru berhasil pada 2002 untuk kemudian dilantik sebagai presiden pada 1 Januari 2003. Ia terpilih kembali pada pemiu 2006, dan akan menjalankan mandatnya hingga Januari 2011. Kebijakan ekonomi dan politik yang dipromosikannya kelihatannya berbeda dengan apa yang dijanjikannya pada waktu kampanye seperti perubahan struktural (structural reform) dan pembagian tanah (land redistribution). Meskipun demikian, pemerintahan Brazil di bawah Lula meningkatkan upah minimum secara tajam dan memperluas program bantuan sosial yang dikenal dengan sebutan Bolsa Familia yang sebetulnya merupakan program dari presiden sebelumnya, Fernando Henrique Cardoso dari Partido da Social Democracia Brasileira (PSDB) yang merupakan partai aliansi ”Kanan” dan ”Kiri-Tengah”. Tapi berbeda dengan pendahulunya, PT di bawah Lula, melalui kebijakan sosialnya, meluaskan jangkauan dari program ini dengan cepat, dan sudah mampu menjangkau seperempat populasi Brazil yang memang menjadi kelompok sasaran atau target dari progam ini pada periode pertama kepresidenan Lula. Meski banyak orang yang diuntungkan dari program ini, tapi jelas sekali bahwa program Bolsa Familia ini tidak bertentangan, dan malahan sejalan, dengan orientasi kebijakan sosial dari model neoliberalisme. Sementara itu, kita bisa katakan bahwa Lula dengan kebijakan sosialnya relatif berhasil dalam menurunkan persentase masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan dan redistibusi pendapatan yang lebih merata dengan tetap mempertahankan stabilitas monoter dan fiskal.

Bagaimana dengan PS di Chili dan FA di Uruguay? Lagi-lagi mengutip Roberts. kelihatannya hampir serupa dan sejalan yakni mereka mengkombinasikan antara ortodoksi makro ekonomi dengan berbagai inovasi kebijakan sosial. Pemerintahan koalisi ”Kiri-Tengah” (center-left) di bawah kendali Ricardo Lagos dari Partido Socialista memperkenalkan program bantuan kemiskinan yang baru di mana penggantinya, Michelle Bachelet telah memperluas jangkuan dari penerima manfaat bantuan ini. Yang patut dicatat ini, dalam spirit dan nilai-nilai sosial demokrasi, baik Lagos maupun Bachelet sudah melangkah lebih jauh dengan memperkenalkan bentuk universal dari ”social citizenship” dalam kebjiakan jaminan sosial (social security) dan perlindungan kesehatan (health care). Lagos mempromosikan program kesehatan yang baru dengan basis jaminan universal atas 56 penyakit, dan kemudian Bachelet semakin memperluas jangkauan dari program ini. Bahkan Bachelet memiliki kebijakan ambisius dengan mereformasi sistem pensiun swasta yang dianggap telah gagal menyediakan jaminan asuransi terhadap banyak perempuan dan juga buruh yang bekerja di sektor informal atau tidak tetap. Pembaharuan yang diajukan adalah menyediakan dana pensiun dasar universal untuk semua warga negara dalam kalangan berpendapatan rendah tanpa mempertimbangkan catatan sejarah kerja mereka. Ini merupakan upaya untuk mengurangi secara drastis ketimpangan yang berakar pada perbedaan partisipasi buruh atau pekerja dalam pasar tenaga kerja.

Hal yang tidak jauh berbeda juga terjadi di Uruguay di bawah pemerintahan koalisi (FA) dengan presiden Tabaré Vásquez. Dengan segera setelah merebut kekuasaan, FA mempromosikan rencana jaminan sosial yang lebih universal dan bantuan pada kelompok sasaran dalam masyarakat. Mereka menginisiakan program bantuan keluarga dari kalangan yang berpendapatan rendah, dan menyediakan subsidi atas pengeluaran mereka untuk makana, air dan listrik. FA juga memperluas mereka yang layak mendapatkan pensiun, menyediakan subsidi bagi perusahaan swasta yang memperkerjakan para pengangguran, dan meningkatkan anggaran untuk pendidikan umum. Program pembaharuan jaminan kesehatan merujuk pada perbaikan kualitas dan akses ke sistem kesehatan masyarakat yang lebih baik. FA pun meningkatkan upah dan memperluas ”collective bargaining” dengan mendirikan ”Dewan Upah Tiga-Pihak” (Tri-Partite Salary Councils). Ini artinya, FA langsung maupun tidak, telah memperkuat peran dan posisi kalangan buruh baik di sektir publik maupun ekonomi pertanian. Meskipun mendapatkan tekanan, tantangan dan oposisi, PS dan FA melakukan langkah berani dengan mereformasi undang-undang pajak, dan memperkuat basis pendapatan untuk program-program sosial yang baru.

Kontrak Sosial Baru dan Kontradiksi Internal
Jika kita melihat berbagai program inovasi yang kadangkala terlihat ambisius dalam memperjuankan isu-isu kesetaraan dan keadilan sosial yang ditawarkan oleh ketiga partai politik tersebut, memang terasa ada nilai-nilai sosial demokrasi sebagaimana yang berkembang di Eropa. Tapi kita segera harus mengakui bahwa mereka belum berhasil mempromosikan atau merekayasa suatu alternatif yang komprehensif di luar model pembangunan neoliberal. Pembuatan kebijakan makro ekonomi masih sangat dibatasi oleh tekanan-tekanan pasar global. Upaya-upaya yang dilakukan masih sangat terbatas dalam mendorong kebijakan industri, ”corporatist bargaining”, dan indikator-indikator lainnya dalam pembuatan kebijakan sosial demokratik.

Ketiga pemerintahan tersebut kelihatannya sedang mengupayakan sebuah kontrak sosial baru yang mengikat bersama antara konstituen tradisional mereka dengan konstituen yang baru muncul melalui sebuah kombinasi antara stabilitas makro ekonomi, neo-korporatis, dan institusi-institusi partisipatoris dan program sosial. Bagi mereka, stabilitas ekonomi sangat krusial dalam mencapai tujuan-tujuan ekonomi yang pada gilirannya akan memberikan keuntungan bagi banyak orang, baik itu kalangan kelas menengah maupun masyarakat bawah. Sementara itu, insitusi-institusi partisipatoris berguna untuk mengupayakan integrasi partai-partai sosial demokratik lama beraliansi dengan gerakan buruh dan organisasi masyarakat sipil baru bersama dengan kalangan bisnis, baik perusahaan asing maupun domestik. Dan secara sosial, program-prgam sosial langsung diarahkan pada ”konstituen yang sedang muncul”, baik darai kalangan miskin kota maupun desa.

Di Uruguay, pemerintah mengaktifkan kembali ”Dewan Upah” (Wage Council), yang sudah sejak tahun 1940an, dan merupakan badan tripartit yang terdiri dari perwakilan kalangan bisnis, serikat buruh dan pemerintah, untuk mendiskusikan dan menegoisasikan soal upah dalam kegiatan ekonomi. Lain daripada itu, pemerintah Uruguay juga mendirikan berbagai badan konsultatif yang melibatkan partisipasi perwakilan masyarakat sipil dan organisasi payung pemerintah, serikat buruh dan kalangan bisnis untuk membicarakan banyak isu yang berkaitan dengan pekerjaan, investasi dan hubungan perburuhan. Hal yang sama juga dilakukan oleh pemerintah Brazil di bawah PT. Mereka mendirikan Dewan Pembangunan Sosial dan Ekonomi (CDES) yang merepressentasikan kalangan bisnis, buruh dan berbagai organisasi masyarakat sipil, sebagai badan penasehat untuk isu-isu sosial dan ekonomi. PT tetap, meski sempat renggang, melakukan hubungan baik dengan salah satu organisasi pendukungnya yang militan, Movimento dos Sem Terra (MST), dan karenanya sempat mendapatkan kecaman dari kalangan politisi konservatif dan tuan tanah. Lain daripada itu, PT juga mendirikan berbagai forum konsultatif untuk membicarakan berbagai kebijakan sektoral seperti perempuan, kesehatan, pendidikan dan sebagainya. Di tingkat lokal, kita tentu tidak lupa bahwa eksperimen Participatory Budgeting (Penganggaran Partisipatoris) di Porto Alegre, Brazil, yang mendapat perhatian dunia, termasuk pengakuan dari Bank Dunia, dan direplikasi di berbagai daerah di dalam negeri maupun lebih dari 100 negara di dunia.

Sejauh ini, jika lagi-lagi kita bandingkan dengan negara-negara Amerika Latin lainnya seperti Bolovia, Ekuador maupun Venezuela, maka eksperimen ”sosial demokrasi” di Chili, Brazil dan Uruguay memang lebih memperlihatkan jalan yang lebih baik, dalam hal stabilitas dan keberlanjutannya. Meski demikian, menurut Panizza, ada masalah dengan ”tarik-menarik” yang tidak terhindarkan akan muncul, dari model pembangunan sosial demokrasi atau kontrak sosial baru seperti ini. Ketegangan, atau kita pakai istilah kontradiksi internal, tampaknya akan mengemuka, dan pada gilirannya akan menimbulkan krisis jika tidak diantisipasi oleh tiga kekuatan politik ini. Yang pertama, ketegangan antara upaya-upaya mempertahankan stabilitas makro ekonomi dari negara-negara yang memiliki jumlah utang besar, di bawah tekanan-tekanan moneter dan fiskal, dengan usaha-usaha untuk terus menginvestasi anggaran sosial dan publik di bidang pendidikan dan kesehatan. Yang kedua, ketegangan yang muncul dari gaya politik teknokratik yang merupakan ciri dari kebijakan yang berorientasi pasar, dengan gaya politik partipatoris yang memang dibutuhkan dalam membangun politik konsesus. Dan yang terakhir, ketiga, ketegangan yang lahir antara konstituen tradisional dari politik sosial demokrasi dengan munculnya konstituen baru, dalam memperebutkan sumber-sumber modal jaminan sosial yang semakin langka.

Penutup
Perjalanan sosial demokrasi baik sebagai ideologi maupun praktek politik tampaknya belum bisa menjadi alternatif tandingan, apalagi komprehensif, terhadap neoliberalisme. Meski demikian, di tengah-tengah kritik yang muncul, atas eksperimentasi sosial demokrasi di Amerika Latin, kita masih menemukan adanya berbagai peluang yang justru lahir dari kegagalan neoliberalisme itu sendiri, atau pakai istilah Roberts, sekaratnya Washington Consensus. Tapi yang pasti, sosial demokrasi yang berkembang di Amerika Latin saat ini, dalam prakteknya sudah meninggalkan bahasa sosialisme, perjuangan kelas dan pemilikan alat-alat produksi dalam kamus perjuangannya. Sebaliknya, mereka mempromosikan pluralitas sektor-sektor sosial dan mengartikan sosial demokrasi mereka sebagai proyek pembangunan yang memadukan antara kebijakan ramah pasar dengan keterlibatan sosial.

Dalam prosesnya, kembali mengutip Panizza, mereka juga sudah meninggalkan perjuangan politik seperti aliansi kelas, menguasai dan memperluas kekuasaan negara, dan menuju transisi ke sosialisme. Pilihan seperti ini memang hanya mengundang atau membuka peluang kritik atau bahkan kecaman dari kalangan ”Kiri” garis keras sebagai penghianatan terhadap nilai-nilai atau cit-cita sosialisme atau masyarakat sosialis. Namun bukan berarti pilihan seperti ini tidak membawa hasil yang baik, khususnya dalam 10 tahu terakhir ini, ketiga negara tersebut, khususnya Chili, mengalami kemajuan yang pesat dalam pembangunan ekonomi, pemerataan sosial dan konsolidasi demokrasi. Memang tidak mudah bagi sosial demokrasi di Amerika Latin mengadopsi nilai-nilai historis yang berkaitan dengan kesetaraan, pemerataan dan keadilan sosial dalam lingkungan domestik dan internasional yang sudah sangat berubah. Demikian juga dengan siapa mereka harus beraliansi untuk mendapatkan kekuasaan tanpa kehilangan identitas mereka sebagai representatif sosial demokrasi. Ini semua yang harus dijawab oleh mereka yang tetap mengusung nilai-nilai dan praktek sosial demokrasi (nis).

*) Jurnal Sosial Demokrasi, no. 06, 2009

Daftar Pustaka

French, John D, “Understanding The Politics of Latin America’s Plural Lefts (Chávez/Lula): Social Democracy, Populism, and Convergence on The Path to A Post-Neoliberal World”, Working Paper # 355-December 2008

Panizza, Francisco, “The Social Democratisation of the Latin American Left”, Revista Europea de Estudios Latinoamericanos y del Caribe, no. 79, 2005

Roberts, Kenneth M, “Is Social Democracy Possible in Latin America?”, Nueva Sociedad Nro. 217, Septiembre-Octubre 2008

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com