Wilayah Asia Pasifik yang mencakup Samudra Pasifik bagian barat dan Samudra Hindia bagian timur adalah satu kawasan paling strategis dalam geopolitik global. Ia merupakan jalur ekonomi maritim yang mengangkut lebih dari 30 persen perdagangan dunia termasuk tanker pengangkut minyak dan gas. Di kawasan ini terdapat 49 negara dengan tingkat kemajuan ekonomi beragam, termasuk di dalamnya negara maju Amerika Serikat, Australia, Cina, Jepang, Korea Selatan serta negara-negara berkembang yang tergabung dalam ASEAN.
Sepanjang abad ke-21, dua negara kawasan yaitu Amerika Serikat dan China merupakan negara Adidaya yang bersaing menanamkan pengaruhnya di dunia internasional khususnya di wilayah Asia Pasifik. AS sempat menikmati keunggulannya sebagai satu-satunya negara Superpower dunia selama hampir dua dekade sejak runtuhnya Tembok Berlin tahun 1991 sampai bangkitnya kembali Rusia dan munculnya raksasa baru China. Sebagai ’the Rising Superpower’, China di bawah Presiden Xi Jinping terus membayangi dan berkompetisi ketat dengan Paman Sam.
Terpilihnya kembali Donald Trump sebagai Presiden AS ke-47 yang efektif memerintah sejak Januari 2025, ditandai dengan peningkatan ketegangan dan kebijakan-kebijakan yang lebih agresif, terutama pengenaan tariff tinggi terhadap barang-barang impor dari China serta pembatasan ekspor produk-produk teknologi sensitif. Terulangnya Perang Dagang AS-China ditambah dengan peningkatan persaingan inovasi teknologi tingkat tinggi dan ketegangan militer kedua negara di Laut China Selatan dan Selat Taiwan berdampak langsung terhadap stabilitas dan keamanan negara-negara ASEAN serta kawasan Asia Pasifik pada umumnya.
Perkembangan Hubungan AS-China
Normalisasi hubungan diplomatik AS-China yang ditandatangani oleh Presiden Jimmy Carter dan Deng Xiaoping tanggal 1 Januari 1979 menandai berakhirnya permusuhan dan saling curiga antara AS dan Republik Rakyat China. Digantinya bendera Taiwan dengan bendera merah lima bintang RRC di PBB tahun 1971 menunjukkan kesadaran dunia internasional bahwa RRC dengan ibukota Beijing yang berpenduduk 1.4 milyar tentulah lebih layak mewakili bangsa China daripada perwakilan Taiwan yang berpenduduk hanya 24 juta. Perubahan sikap organisasi dunia PBB terhadap China ini dimulai dari kunjungan rahasia Henry Kissinger, saat itu sebagai Penasehat Keamanan Nasional AS, ke Beijing bulan Juli 1971.
Sejak kunjungan Kissinger ke China yang terkenal dengan misi diplomasi pingpong tahun 1971, hubungan AS-China berproses dengan tahapan kerjasama, persaingan dan kemudian ketegangan. Saat tokoh reformis Deng Xiaoping melancarkan kebijakan Reformasi dan Pintu Terbuka (Gaige – Kaifang) di penghujung tahun 1970-an, AS memainkan peranan penting dalam membantu memodernisir perekonomian China dengan berinvestasi serta membantu membuka akses ke pasar global maupun teknologi maju, termasuk dukungannya kepada China menjadi anggota WTO (World Trade Organization) pada tahun 2001.
Pertumbuhan ekonomi China sejak Reformasi yang mencapai 9.5 persen didukung oleh peningkatan volume ekspor-impor yang menembus angka rata-rata sampai 15 persen per-tahun, dibarengi dengan perkembangan teknologi seperti AI dan semikonduktor telah merisaukan AS. Dalam 10 tahun terakhir neraca perdagangan AS-China selalu terjadi defisit di pihak AS. Pada tahun 2024 AS menderita deficit sebesar US$ 295 milyar dari nilai total sebesar US$ 582 milyar. Dalam mengatasi hal tersebut, AS mengenakan tambahan tariff masuk untuk barang-barang impor dari China, meminta diberikannya akses pasar China lebih luas, dan mendesak China menghilangkan subsidi di sektor-sektor industri dan pertaniannya. Tindakan pembalasan dari China terhadap AS telah menimbulkan Perang Dagang kedua negara.
Menguatnya kekuatan China di segala bidang telah mendorongnya menjadi negara Adidaya baru menandingi AS yang sempat menjadi ‘the only Superpower’ sejak bubarnya Uni Soviet dan selesainya era Cold War pada awal 1990-an. Setidaknya terdapat 6 (enam) komponen penyebab tingkat hubungan AS-China dari persaingan atau kompetisi mengarah menuju ke ketegangan yang terus memanas, yaitu: persaingan ekonomi/perdagangan, inovasi dan perkembangan teknologi, peningkatan kekuatan militer, klaim sejumlah wilayah teritorial oleh China, perluasan pengaruh geopolitik, dan perbedaan ideologi serta sistem kepemerintahan.
Polarisasi kekuatan dunia telah beberapa kali mengalami pergeseran dari bipolar, unipolar kembali ke bipolar lagi. Seusai Perang Dunia II sampai bubarnya Uni Soviet tahun 1991 dunia terbagi menjadi dua blok besar pimpinan AS versus Uni Soviet yang disebut era Cold War. Selanjutnya AS menjadi kekuatan Unipolar yang mendominasi dunia global, sebelum munculnya kekuatan baru dari negara-negara seperti China, India serta Rusia yang mulai bangkit kembali. Pertengahan dekade 2010-an kekuatan dunia membentuk bipolar lagi ketika perkembangan China di bawah Presiden Xi Jinping sudah siap menantang hegemoni Adidaya AS.
Area Flashpoints dari Rivalitas AS-China
‘Hot War’ atau peperangan besar yang melibatkan banyak negara dalam bentuk Perang Dunia agak jauh kemungkinannya mengingat adanya faktor ‘nuclear deterrence’ dari kedua belah pihak. Namun gelar militer besar-besaran bisa saja berlangsung apabila terjadi miskalkulasi dari salah satu pihak dengan melakukan provokasi di area flashpoints, yaitu terkait masalah Taiwan, Laut China Selatan atau Laut China Timur. Pemerintah Beijing menganggap Taiwan adalah bagian tak terpisahkan dari wilayah kedaulatan China yang harus disatukan kalau perlu melalui jalan kekerasan. Adapun posisi AS meskipun tetap mengakui ‘One China Policy’, namun menentang perubahan statusquo Selat Taiwan dan berkomitmen membantu Taiwan dalam peningkatan kemampuan ‘self-defense’.
Flashpoint berikutnya yang tidak kalah menegangkan adalah Laut China Selatan (LCS). Melalui ‘nine-dash line’, China mengklaim kepemilikan sekitar 90 persen perairan LCS serta pulau-pulau karang di dalamnya. China berargumen bahwa LCS merupakan ‘traditional fishing area’ yang menjadi bagian dari wilayah kekuasaan China sejak jaman Dinasti Han (202 SM – 220 M). Tekad China mengontrol LCS sepenuhnya dimaksudkan untuk mengamankan jalur maritim perdagangan dan energinya. Penguasaan terhadap LCS juga sekaligus digunakan untuk menjadikannya sebagai kekuatan dominan di kawasan Asia Timur sampai Asia Tenggara.
Sementara itu AS menentang klaim ‘nine-dash line’ China di LCS, dan tetap kukuh memberlakukan ‘Freedom of Navigation Operations’ (FONOPs) terhadap jalur laut kapal-kapal dagang melewati LCS yang bernilai sebesar US$ 3,4 trilyun per-tahun serta mengangkut lebih dari 30% tanker minyak setiap harinya. Dalam rangka mengimbangi peningkatan kehadiran Angkatan Laut China (PLAN) di Laut China Selatan, AS membentuk organisasi AUKUS beranggotakan Australia, Inggris dan AS serta QUAD dengan 4 negara anggota (Jepang, India, Australia dan AS). Amerika Serikat juga mendukung keputusan Mahkamah Arbitrase Internasional tahun 2016 yang menggugurkan klaim ‘Nine-dash line’ China.
China menanggapi pembentukan AUKUS dan QUAD sebagai upaya untuk menghalangi berkembangnya China menuju kekuatan baru dunia serta menganggap sebagai ancaman terhadap keamanan nasional serta pengaruhnya di kawasan Asia-Pasifik. Terhadap negara anggota QUAD disebutnya sebagai ‘alat AS’ dalam mempertahankan hegemoninya di dunia. Sikap China yang keras tanpa kompromi terhadap setiap elemen asing yang dianggap akan mengganggu kedaulatan negaranya juga dilandasi oleh pengalaman pahit ‘A century of humiliation’ pada pertengahan abad ke-19 sampai tengah abad ke-20 dimana China dijadikan obyek penjajahan, pendudukan, penghinaan oleh negara-negara Eropa dan Jepang.
Semboyan ‘China Dream’ yang digelorakan sejak Xi Jinping memegang kendali kekuasaan China adalah mengembalikan posisi China sebagai bangsa terkuat di dunia – suatu poisi yang dimilikinya selama beberapa abad sebelum dipermalukan oleh kekuatan asing selama satu abad (1839-1949) dimulai dengan Perang Candu (1839-1842) yang memaksa China (Dinasti Qing) menandatangani perjanjian-perjanjian berat sebelah untuk membuka beberapa pelabuhan bagi kapal dagang asing berlabuh dan menyerahkan sejumlah wilayah China untuk menjadi koloni-koloni bangsa Eropa.
Dampak Rivalitas AS-China di Asia Pasifik
Terus meningkatnya rivalitas AS-China telah menimbulkan pertanyaan dan spekulasi dari berbagai kalangan masyarakat internasional, termasuk kekhawatiran akan pecah Perang Dunia ke-3 atau minimal kembalinya Perang Dingin. Berbeda dengan Cold War (1945-1991) yang mempertentangkan ideologi Kapitalis pimpinan AS versus ideologi Komunis di bawah komando Uni Soviet, rivalitas Adidaya AS-China yang terus meningkat cenderung mengarah ke persaingan pengaruh geopolitik terhadap suatu negara atau kelompok negara dalam satuan wilayah tertentu. Kawasan Asia Pasifik akan menjadi ‘battleground’ perebutan pengaruh dua Superpower tersebut.
Stabilitas kawasan Asia-Pasifik cukup rawan dalam persaingan kekuatan dua Adidaya AS-China menanamkan pengaruhnya masing-masing. Di satu pihak AS berusaha mempertahankan dominasinya melalui kekuatan militer dan pengaruh ekonomi sambil mempererat hubungan dengan negara-negara aliansinya di wilayah tersebut. Di pihak lain China bekerja keras memperluas kerjasama ekonomi melalui program ‘Belt Road Initiative’ (BRI) dan kehadiran militer (PLAN) yang terus dimodernisir persenjataannya di wilayah yang sama telah meningkatkan ketegangan, dan mendorong aktor-aktor penting kawasan seperti Jepang, Korea Selatan, Australia, India dan ASEAN harus menentukan sikap.
Survei yang diselenggarakan oleh ASEAN Studies Centre ISEAS Yusof Ishak Institute, Singapore pada tahun 2024 menarik untuk dicermati. Sebagian besar responden menyatakan kekhawatirannya terhadap peningkatan pengaruh kedua Superpower. Namun tingkat keprihatinan yang diarahkan kepada China lebih besar yaitu 74% dibanding 59% yang ditujukan kepada AS. Bahkan prosentase kekhawatiran lebih besar terjadi di negara-negara yang mempunyai klaim tumpang-tindih dengan China di LCS. Dalam berhubungan dengan China, negara anggota ASEAN dapat dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) kategori: berturut-turut bersikap keras/tegas (Philippine, Vietnam, Brunei Darussalam dan Singapore), bersikap netral (Indonesia, Malaysia dan Thailand), yang pro-China (Laos, Myanmar dan Kamboja).
Pada ASEAN Foreign Ministers’ Meeting ke-57 bulan Juli 2024 di Vientiane, Laos, negara-negara anggota menegaskan komitmen mereka untuk dipeliharanya perdamaian kawasan Indo-Pasifik melalui ketentuan internasional yang berlaku, yaitu ‘the United Nations Convention on the Law of the Sea’ (UNCLOS). Dalam hal ini mereka juga prihatin terhadap perilaku China di LCS sehingga menjadi faktor pendorong ASEAN untuk mendekat ke AS dan sekutunya. Namun demikian hubungan China-ASEAN secara keseluruhan makin kokoh. Pada ASEAN-China Summit ke-27 bulan Oktober 2024, kedua belah pihak mempertegas upaya bersama menjaga kawasan Indo-Pasifik yang damai dan aman sejalan dengan ‘Comprehensive Strategic Partnership’.
Sementara itu hubungan ekonomi dan pembangunan ASEAN-China sangat kuat. Sejak dekade terakhir China merupakan mitra dagang terbesar ASEAN. Pada tahun 2022 volume perdagangan kedua pihak telah mencapai US$ 722 milyar yang merupakan seperlima dari total perdagangan global ASEAN. Sejumlah perjanjian seperti the ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) dan the Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) telah mendongkrak nilai perdagangan kedua pihak melalui kebijakan pemotongan tariff dan jalur rantai pasokan barang. ASEAN secara bertahap makin bergantung kepada barang produksi China, dan sebaliknya mengekspor sumber alam dan produk pertanian. Simbiosis mutualisme antara ASEAN dan China ini terus memperkuat pengaruh China terhadap ASEAN dan kawasan Asia-Pasifik pada umumnya.
Perang Dagang Jilid Dua
Dalam pidato pelantikannya sebagai Presiden AS ke-47 tanggal 20 Januari 2025, Donald Trump antara lain menyampaikan komitmennya untuk mengatur kembali kebijakan perdagangan luar negeri AS terutama tentang tariff tambahan terhadap barang-barang impor dari luar negeri. Pada tanggal 2 April 2025 yang disebut sebagai ‘Liberation Day’, Presiden Donald Trump menandatangani ‘Executive Order’ yang berisi pengenaan tariff minimal 10 persen terhadap semua barang impor dari 57 negara. Pemerintah Trump berargumen bahwa kebijakan tambahan tariff ini dimaksudkan sebagai ‘reciprocal tariff’ atas defisit perdagangan yang dialaminya setiap tahun.
Pada tahun 2024 AS mengalami defisit perdagangan total sebesar US$ 1.2 trilyun. China menempati urutan pertama sebagai negara yang memperoleh surplus perdagangan dengan AS sebesar US$ 295 milyar, disusul Mexico dan Vietnam, dengan nilai berturut-turut sebesar US$ 157 milyar dan US$ 113 milyar. Dengan formula pengenaan tariff: defisit dibagi volume perdagangan kedua negara, maka tariff yang dikenakan kepada China adalah hasil dari US$ 295 milyar (nilai defisit) dibagi US$ 439 milyar (total perdagangan), menghasilkan angka 0,67 dikonversi menjadi 67 persen tariff yang dikenakan terhadap impor barang-barang dari China.
Baru berjalan satu minggu, Presiden Trump mengumumkan penundaan pemberlakuan tariff selama 3 (tiga) bulan kepada negara mitra dagang, kecuali terhadap China yang nilai tarifnya justru dinaikkan menjadi 145%. Trump mengharapkan China akan segera menyadari bahwa cara-cara berdagangnya yang merugikan AS dan negara lain tidak lagi bisa dipertahankan. Sebaliknya Menteri Perdagangan China menyebut kebijakan tariff Trump sebagai ‘bentuk bullying unilateral’ dan bertekad akan melakukan balasan setimpal. Tindakan balasan yang dilakukan China berupa pengenaan tariff 125% terhadap semua produk impor dari AS, memperketat ekspor mineral penting sebagai bahan dasar industri elektronik dan pertahanan, serta memasukkan sejumlah perusahaan AS dalam ‘Unreliable Entity List’.
Perang Dagang AS-China yang kedua ini merupakan bentuk rivalitas dua Superpower AS-China yang tidak kalah sengitnya dengan adu kekuatan militer maupun manuver politik-diplomasi. Kebijakan tariff Trump yang dipakai untuk menumbuhkan semboyan ‘to make America great again’ telah dihadapi oleh China dengan semboyan ‘Made in China 2025’. Bahkan dalam perebutan pengaruh di kawasan Asia, Presiden Xi Jinping telah menetapkan visi ‘Asia for Asians’ yang dipersiapkan strategi oleh China untuk mempengaruhi negara-negara Asia merasa senasib dengan China dan sebaliknya menjauh dari pengruh AS. adapun khusus untuk negara-negara anggota ASEAN telah bersikap tegas, mereka tidak mau diharuskan memilih mendekat ke AS atau China.
Genderang Perang Dagang kembali ditabuh Trump pada period ke-2 kekuasaannya. Pada Perang Dagang AS-China pertama (2018-2020) motif utamanya adalah menyeimbangkan defisit perdagangan dan mencegah maraknya pengambilan ‘kekayaan intelektual’, sementara skenario Perang Dagang AS-China ke-2 (2025 sampai..) adalah usaha Trump untuk mengatasi agresivitas dagang/perekonomian China melalui alat ‘reciprocal tariff’ serta kompetisi sektor teknologi tingggi (AI, semikonduktor, jaringan seluler 5G dan seterusnya). Target Donald Trump adalah memaksa mereka berunding dengan AS. Namun kali ini China adalah satu-satunya pihak yang bereaksi keras membalas tariff tinggi untuk barang impor AS serta pembatasan ekspor material teknologi tinggi.
China sangat percaya diri membalas kebijakan tariff yang dikenakan Presiden Trump karena sebagai penduduk terbesar di dunia China mempunyai pasar domestik sangat besar. China juga tahu bahwa dengan perkembangan ekonomi dan teknologinya, banyak perusahaan AS dan dunia umumnya banyak bergantung pada rantai pasokan dari China seperti peralatan elektronik, solar panel dan obat-obatan. Melalui program Belt Road Initiative (BRI) dalam kerjasama pembangunan infratruktur dan ekonomi serta besarnya hubungan perdagangan dengan negara-negara tetangganya di Asia, China mengungguli AS dalam pengruhnya di Asia Pasifik terutama di bidang ekonomi dan infrastruktur. Terkait hal ini AS nampaknya akan meningkatkan perhatiannya dalam memperebutkan pengaruh di negara/kelompok negara kunci, seperti ASEAN, India, Jepang, Korea dan Australia.
Lembang, 17 April 2025