Standar Ganda AS dan Barat Terhadap Rusia dan Israel Dalam Kasus Ukraina dan Gaza

Bagikan artikel ini

Jika ICC Menyeret Rusia dan Presiden Putin Dalam Kasus Ukraina, Bisa Jadi Preseden Hukum Untuk Menyeret AS-Inggris-Prancis Dalam Kasus Afghanistan, Irak, Libya dan Suriah antara 2001-2011. Mungkinkah ICC bisa menegakkan Keadilan dan Hukum Internasional yang berpihak pada para korban kejahatan perang, kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran hak-hak asasi manusia berat serta tidak tersandera oleh persaingan global antar-negara-negara adikuasa?

International Criminal Court (ICC) akhirnya menemui jalan buntu dalam upayanya membentuk Peradilan Internasional dengan wewenang ekslusif untuk mengadili para pemimpin Rusia atas dakwaan terlibat dalam kejahatan militer dan agresi militer-nya ke Ukraina. Setidaknya begitulah menurut penilaian Philippe Sands KC, salah seorang advocator kenamaan di bidang peradilan internasional.

Untuk perbandingan silahkan baca Michael G. Karnavas, REALITY CHECK: Conference on special international tribunal for the crime of aggression against Ukraine exposes fatal defects

Menariknya, kegagalan ICC dalam membentuk peradilan internasional berdasarkan desakan dari Ukraina tersebut, bukan karena para anggotanya tidak setuju secara prinsipil adanya peradilan internasional tersebut, melainkan semata atas dasar pertimbangan kepentingan kepentingan nasional negara-negara yang justru sebagian besar saat ini berada dalam kubu AS dan blok Bara menghadapi kubu yang berseberangan, yaitu Rusia dan Cina.

Negara-negara maju dari Eropa Barat dan AS yang tergabung dalam Group tujuh negara (G-7) seperti AS, Inggris, dan Prancis, saat ini merasa khawatir bahwa jika ICC menyetujui desakan Ukraina membentuk Peradilan Internasional untuk menyeret para pejabat tinggi Rusia terkait kejahatan kemanusiaan dan kejahatan perang, maupun pelanggaran hak-hak asasi manusia yang berat, negara-negara tersebut juga khawatir akan menjadi preseden buruk bahwa pada perkembangannya nanti para pemimpin negara-negara G-7 tersebut bisa diseret pula untuk mempertanggungjawabkan keterlibatannya dalam kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan.

a prisoner is seen through a fence

Dikutip dari situs https://www.aclu.org/news/national-security/how-us-prison-officials-rubber-stamped-cia-torture-chamber

Sudah umum ketahui, dalam invasi militer AS ke Irak, bukan saja AS, melainkan juga Inggris, Spanyol dan Italia, tergabung dalam the coalition of willing untuk melancarkan aksi militer bersama AS menggulingkan Presiden Irak Saddam Hussein. Alhasil, ratusan ribu warga sipil (non-combatant) tewas dalam invasi Irak pada 2003 lalu. Begitu pula dalam kasus Suriah Ketika AS melancarkan intervensi militer ke Libya pada 2011 lalu dengan berkedok Intervensi Kemanusiaan/Humanitarian Intervention, setidaknya Inggris dan Prancis juga terlibat dalam Operasi Militer membantu kelompok oposisi di Libya menggulingkan Presiden Moammar Gaddafi. Lagi-lagi, ratusan ribu warga sipil yang tidak ikut berperang, tewas terbunuh.

Dengan itu, kegagalan ICC dalam membentuk Peradilan Internasional menginvestigasi para pejabat tinggi Rusia, bukan saja karena ICC tidak punya juridiksi atau wewenang mengadili Rusia mengingat fakta bahwa hingga kini negara beruang merah tersebut bukan anggota ICC karena tidak menandatangani Statuta Roma, melainkan karena keberatan dari negara-negara yang tergabung dalam G-7 itu sendiri lantaran khawatir suatu saat nanti ini akan menjadi preseden hukum yang bisa menyeret para pejabat AS, Inggris dan Prancis, untuk diadili di Peradilan Internasional tersebut.

Baca juga:

Europe’s Human Rights Court Shines More Light on the CIA’s Black Site Torture Program

Ini memang sungguh ironis. Ukraina yang notabene sejak 2014 lalu merupakan perpanjangan tangan kebijakan luar negeri AS dan Uni Eropa, yang menggagalkan pembentukan Peradilan Internasional atas usulan Ukraina, justru negarqa-negara yang tergabung dalam blok AS dan Uni Eropa itu sendiri.

Padahal, semula ada 40 negara yang setuju dan bergabung mendukung prakarsa pembentukan Peradilan Internasional mengadili para pemimpin dunia yang didakwa terlibat kejahatan perang, kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran hak-hak asasi manusia berat. Namun sayangnya tidak ada konsensus diplomatik untuk menyepakati mengenai model peradilan internasional seperti apa yang tepat dan efektif. Namun hal itu sepertinya hanya sekadar alasan pembenaran untuk menggagalkan ide pembentukan Peradilan Internasional melalui ICC yang bermarkas di The Hague, Belanda.

Dengan begitu sangat masuk akal ketika Philipe Sands berkesimpulan bahwa kegagalan pembentukan Peradilan Internasional ICC justru menyingkap sebuah faktak penting: bahwa negara-negara blok Barat sejatinya tidak bersatu dan terpecah-belah, setidaknya dalam menyikapi desakan Ukraina untuk mengadili para pejabat tinggi Rusia, termasuk Presiden Vladimir Putin, dalam peradilan internasional/international tribunal.

Lagi-lagi usulan dan ide Philipe Sands sangat layak untuk dipertimbangkan. Bahwa semua pihak sebaiknya secara jernih perlu memisahkan secara jelas, antara perlunya membentuk Peradilan Internasional sebagai bagian integral dari Skema ICC, dan mana yang hanya sekadar kepentingan sesaat berdasarkan desakan Ukraina . Sebab menurut Philipe Sands, perlunya peran ICC melalui terbentuknya Peradilan Internasional yang bebas dari intervensi kepentingan negara-negara yang sedang terlibat dalam Perang Proksi/Turf War, memang sangat perlu diperkuat dan ditegaskan sebagai sesuatu yang penting dan strategis dalam rangka penegakan hukum internasional.

Sayangnya, visi Philipe Sands terkait penegakan hukum internasional yang bersifat impartial, dalam kenyataannya saat ini tersandera oleh persaingan politik global/global politics. Oleh sebab kemunafikan dan standar ganda yang diterapkan AS, Inggris dan Prancis.

Sepakat untuk mengadili Rusia dan Presiden Putin, namun menolak ketika keputusan pembentukan Peradilan Internasional Khusus untuk Rusia, pada perkembangan akan dijadikan sebagai preseden hukum menyeret para pemimpin dunia yang didakwa melakukan hal-hal yang serupa di masa depan.

Bagi AS dan Inggris, dalam kasus invasi militer mereka ke Afghanitan pada 2001 lalu, dengan dalih untuk menumpas Al-Qaeda dan Osama bin Laden, memang cukup mengkhawatirkan. Sabina Grigore dari Just Access Representative to the UNODC, dalam artikelnya bertajuk Victim-Oriented Justice: The International Criminal Court and its Influence on the Situation in Afghanitan,  mengatakan bahwa salah satu kasus yang mendapat perhatian ICC dan publik internasional adalah konflik Afghanistan, mengingat besarnya penderitaan warga sipil dan korban perang yang penderitaannya sangat besar. Sehingg dalam konteks itulah   Office of the Prosecutor (OTP) ICC mendesak untuk melakukan investigasi awal mengenai situasi di Afghanistan pada 2007 lalu.

Investigasi tersebut, tulis Sabina Grigore, ditujukan untuk menutup-nutupi  tindak kejahatan kemanusiaan dan kejahatan perang yang dilakukan oleh tentara AS dan sekutu-sekutunya menyusul agresi militer mereka ke Afghanistan. Namun hasil investigasi tersebut berhasil dibekukan karena sejak 2003 Afghanistan diberi wewenang atau juridiksi untuk mengusut atau menutup kasus-kasus yang terjadi di Afghanistan. Namun lima belas tahun kemudian, setahun setelah pasukan AS ditarik mundur dari Afghanistan, pada 2022 OTP akhirnya memperoleh wewenang untuk membuka kembali investigasi yang mereka tangani pada 2007 lalu. Sehingga saat ini ICC punya momentum untuk memberikan keadilan hukum kepada para korban dalam konflik Afghanistan.

Pertanyaannya, mengingat fakta bahwa negara-negara yang tergabung dalam ICC sebagian besar adalah negara-negara pro AS dan blok Barat, mungkinkah ICC mampu menegakkan keadilan dan penegakan hukum internasional yang bersifat independent dan tidak berat-sebelah? Yaitu penegakan keadilan yang berpihak kepada para korban?

Ini memang masih tanda-tanya besar. Namun penemuan dari hasil riset Sabina Grigore, mengarah pada pembuktian adanya keterlibatan militer dan badan intelijen CIA menyusul invasi militer AS ke Afghanistan.

Sabina Grigore menulis: Initially, the investigation into the alleged crimes that occurred during the war were meant to also include the so-called “black sites” -clandestine facilities used for covert military operations, including detainment and interrogation of suspected terrorists, operated by the US Central Intelligence Agency (CIA) in various NATO partner countries.”

Namun demikian, adanya indikasi kuat keterlibatan CIA dalam tindak pelanggaran hak-hak asasi manusia berat tersebut, diabaikan oleh jaksa penuntut umum dari OTP. Dalam investigasi yang dilakukan OTP pada 2021 menyusul kuatnya desakan membuka kembali investigasi dan pengusutan OTP lima belas tahun sebelumnya, ternyata OTP hanya memprioritaskan pada investigasi kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran hak-hak asasi manusia berat yang dilakukan oleh Taliban dan Islamic State of Khorasan Province yang terafiliasi dengan The Islamic State of Iraq and Levant atau Suriah (ISIL). Adapun investigasi dugaan kuat keterlibatan CIA dalam pelanggaran hak-hak asasi manusia berat dan kejahatan kemanusiaan berupa penyiksaaan terhadap para korban yang diduga sebagai teroris, dikesampingkan atau kalau tidak mau disebut  dihalang-halangi.

Hadi's situation highlights the US government's problem with dealing with the medical conditions of aging and disabled detainees at the prison.

Guantanamo Bay, (AFP/File photo)

Pembatasan lingkup investigasi untuk membongkar keterlibatan CIA yang tentunya atas arahan para pejabat tinggi di Washington, nampaknya merupakan akibat dari keputusan pemerintah Amerika untuk mengenakan tindakan balasan terhadap mantan jaksa ICC Fatou Bensouda dan para jaksa senior lainnya atas prakarsanya untuk memulai pengusutan dan investigasi atas apa yang sesungguhnya terjadi di Afghanistan.

Sanksi yang dikenakan terhadap mantan Jaksa Fatou Bensoud dan para jaksa senior lainnya, memang akhirnya dicabut oleh Presiden Joe Biden pada 2021 lalu. Namun atas dasar kesepahaman yang disepakati bersama bahwa segala pengusutan maupun investigasi yang akan melibatkan para pelasana operasi militer AS di Afghanistan, harus dihentikan dan tidak boleh dibuka kembali.

Sepertinya, inilah yang mendasari ketakutan dan kekhawatiran AS, Inggris dan Prancis, ketika Ukraina mendesak ICC untuk membentuk Peradilan Internasional yang berwenang mengusut dan mengadili tindak kejahatan perang, kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran hak-hak asasi manusia berat, pada perkembangannya tidak hanya berhenti pada Rusia. Melainkan akan jadi preseden hukum yang juga akan menyeret para pejabat tinggi AS, Inggris dan Prancis, baik dalam kasus Afghanistan dan Irak, maupun dalam intervensi militer AS dan NATO dalam penggulingan Moammar Gadaffi pada 2011, dan usaha pengulingan Presiden Bashar al-Assad di Suriah sejak 2011 dan masih berlarut-larut hingga sekarang.

Khususnya Afghanistan, sebagai akibat dari invasi militer AS, bukan saja menghancurkan kehidupan ekonomi negara tersebut, bahkan menghancurkan infrastruktur dan fasilitas umum masyarakat. CIA mempersenjatai kelompok milisi Afghanistan untuk memerangi militan Islam dan milisi ini bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia yang serius, termasuk pembunuhan di luar hukum terhadap warga sipil.

Gaza di Palestina, juga merupakan bukti nyata standar ganda AS dan negara-negara Barat. Ketika Perserikatan Bangsa-bangsa secara tegas mengutuk dan mengenakan sanksi dan embargo kepada Rusia karena dianggap melancarkan agresi terhadap Ukraina, namun AS dan negara-negara Eropa Barat sama sekali tidak mengutuk dan mengenakan sanksi ekonomi dan embargo kepada Israel. Padahal kenyataannya, ribuan warga sipil Gaza telah tewas akibat serangan militer Israel. Namun AS dan Uni Eropa sama sekali tidak memberlakukan sanksi dan embargo kepada Israel. Mengapa Rusia dan Israel harus ada perbedaan perlakuan dalam penegakakan hukum internasional?

Bahkan AS dan sekutu-sekutu-nya yang tergabung dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) malah membantu memasok persenjataan militer dan bantuan dana kepada Israel, yang berarti secara langsung atau tidak lansung mendukung dan membantu  agresi militer Israel ke Gaza, Palestina. Apalagi AS sebagai salah satu negara anggota Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, berulangkali menggunakan hak vetonya untuk menggagalkan Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengutuk agresi militer Israel dan genosida terhadap warga sipil Palestina di Gaza.

Dengan begitu nampak jelas standar ganda yang diperlakukan AS dan negara-negara Barat terhadap Israel dan Rusia terkait Ukraina. Padahal Israel dengan kasat mata secara brutal telah melancarkan genosida terhadap warga sipil Palestina, sehingga kiranya tidak berlebihan ketika Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres menggambarkan agresi militer Israel ke Gaza bukan sekadar humanitarian crisis atau krisis kemanusiaan. Melainkan merupakan Crisis of Humanity, Dengan kata lain, rasa kemanusiaan itu sendiri sedang berada dalam keadaan kritis.

Sebaliknya tindakan Rusia terhadap Ukaina jauh lebih kontroversial mengingat ada prakondisi sebelumnya ketika AS dan NATO secara provokatif berupaya membujuk Ukraina bergabung ke dalam NATO, sehingga Rusia merasa terancam di wilayah perbatasannya.

Maka itu, gagalnya prakarsa Ukraina membentuk Peradilan Internasional ICC yang didorong oleh tujuan berlingkup sempit untuk menyudutkan Rusia, ternyata justru menjadi bumerang alias senjata makan tuan. Bahwa AS dan sekutu-sekutu Barat-nya ternyata juga punya catatan sejarah hitam dalam tindak kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan. Seperti dalam kasus invasi militer ke Afghanistan, invasi ke Irak, Libya dan Suriah, dan yang paling belakangan ini, mendukung aksi militer Israel ke Gaza, yang mengakibatkan ratusan ribu korban jiwa warga sipil Palestina di Gaza.

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com