ABSTRAKSI. Skenario Arab Spring yang sukses menggulingkan Presiden Ben Ali di Tunisia dan Presiden Hosni Mobarak di Mesir, pada 2011 lalu, namun di Libya ternyata Gagal total sebagai instrumen penggulingan Moammar Khadafi melalui mobilisasi massa. Dengan begitu, aliansi internasional AS, Inggris dan Prancis dengan segera mengubah skenario dan operandi-nya. Dari mobilisasi massa ala Arab Spring diubah jadi mobilisasi pasukan bersenjata untuk menyulut Perang Saudara antara pasukan pemerintahan Khadafi versus Pasukan Pemberontak yang dimotori National Transitional Council (NTC) pimpinan Mustafa Abdel Jalil, Mantan Menteri Keadilan yang membelot dari pemerintahan Khadafi. Di sinilah celah bagi aliansi AS-Inggris-Perancis melalui Payung Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, menggunakan dalih Intervensi Kemanusiaan untuk memasuki wilayah kedaulatan nasional Libya.
Inti Doktrin Global Amerika Serikat
Kisah seputar penggulingan Presiden Libya Moammar Khadafi pada Oktober 2011 lalu, membuktikan kebenaran dari penjelasan kritikus kebijakan luar negeri Amerika Serikat, William Blom, dalam bukunya bertajuk Demokrasi, Ekspor Amerika Paling Mematikan. Bahwa tujuan konstan dari kekuatan elit politik dan ekonomi Amerika, barang tentu terutama para pemimpinnya, adalah menerapkan Kebijakan Luar Negeri yang ditujukan untuk mencegah bangkitnya masyarakat atau negara-bangsa yang kiranya dapat menjadi sebuah teladan atau model alternatif di luar Skema Kapitalisme Global berbasis Korporasi.
Dengan demikian, Ada beberapa kata kunci penting ketika kita menggambarkan Strategi Global AS di pelbagai kawasan seperti Timur-Tengah, Amerika Latin, Pasifik, Afrika, dan Asia. Kapitalisme Global berbasis Korporasi, Neoliberalisme, dan Kebijakan Ekonomi berdasarkan Washington Consensus.
Noam Chomsky, juga seorang cendekiawan dan kritiikus konsistan kebijakan luar negeri AS, dalam bukunya yang bertajuk How the World Works, mengutip sebuah dokumen yang kelak kita kenal sebagai Policy Planning Study 23 yang ditulis oleh George F. Kennan pada 1948. Dokumen tersebut kiranya masih relevan hingga kini dalam menjelaskan agenda tersembunyi yang kelak jadi dasar penyusunan Strategi Global AS di pelbagai kawasan dunia.
Dalam Policy Planning 23 tersebut Kennan menekannya beberapa hal strategis. Bahwa AS menguasai sekitar 50 persen kekayaan dunia, tetapi hanya 6,3% dari total populasi. Berkaitan dengan itu maka Kennan mendesak agar otoritas politik Washington agar mempertahankan kesenjangan yang ada tersebut. Bilamana perlu dengan mengabaikan demokrasi dan hak-hak asasi manusia.
Merujuk pada rancangan Kennan yang kita kenal dengan Policy Planning Studu 23 pada 1948 yang dirilis mendahului National Security Memorandum 68 pada 1950, nampak jelas apa yang menjadi Inti Doktrin Global AS. Bahwa inti kebijakan luar negeri Amerika, tujuan abadinya adalah mencegah bangkitnya masyarakat apa pun yang mungkin dapat menjadi contoh yang baik atau role model suatu alternatif di luar model dan skema kapitalisme berbasis korporasi.
Inti Doktrin Global AS tersebut bukan saja berlaku pada saat Perang Dingin, ketika menghadapi dua pesaing ideologisnya yaitu Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina, melainkan masih tetap berlangsung dan diterapkan hingga kini. Bahwa dalam Strategi Global dan Kebijakan Luar Negeri-nya diabdikan untuk melayani kekuatan-kekuatan korporasi bisnis AS. Dengan begitu, penguasa sejati di AS adalah para pihak yang punya uang besar dan menguasai sumber-sumber daya perekonomian, yaitu korporasi bisnis.
Berarti, dalam perspektif Strategi Global AS, adalah korporasi-korporasi bisnis di AS inilah yang punya kuasa merestruktrurisasi aturan dan institusi politik maupun ekonomi bukan saja di negerinya sendiri, melainkan juga di pelbagai kawasan dunia, sehingga cocok dan selaras dengan kepentingan-kepentingan strategis para kapitalis korporat tersebut.
Untuk mengamankan skema kapitalisme global berbasis korporasi tersebut, korporasi bisnis atau Multinational corporations (MNC) telah memainkan peran besar dalam proses politik di AS maupun di pelbagai kawasan dunia, termasuk di kawasan Asia.
Dalam mengimplementasikan hal tersebut, konsekwensi logisnya militer dan intelijen menjadi sarana vital yang harus didayagunakan. Tidak mengherankan jika dalam operasi-operasi politik yang dilancarkan AS untuk menggulingkan para penguasa di negara-negara berkembang yang tidak sejalan dengan Skema Kapitalisme Global berbasis Korporasi, maka serangkaian operasi-operasi politik terselubung tersebut selalu melibatkan bantuan badan intelijen AS CIA.
(Baca juga Hendrajit DKK, Tangan-Tangan Amerika, Operasi Siluman AS di Pelbagai Belahan Dunia. Jakarta: Global Future Institute Publishing, 2010)
Bahkan jika dirasa semakin kepepet dan menemui jalan buntu, maka dengan tanpa keraguan sedikitpun, Washington segera mengerahkan kekuatan militernya, untuk membantu penggulingan kepala pemerintahan yang dipandang merupakan ancaman bagi kepentingan strategis korporasi-korporasi bisnis AS.
Kasus tumbangnya kekuasaan Presiden Libya Moammar Khadafi pada Oktober 2011, merupakan ilustrasi yang cukup jelas, betapa ketika Skenario Perubahan Rejim atau Regime Change ala Arab Spring yang cukup sukses menggulingkan Presiden Ben Ali di Tunisia maupun Presiden Hosni Mobarak di Mesir, ternyata Skenario Arab Spring gagal total diterapkan untuk menggulingkan kekuasaan Khadafi.
AS, Inggris, Prancis, Memanipulasi Resolusi Dewan Keamanan PBB Sebagai Dalih Menginvasi Libya
Maka ketika AS dan Inggris, menyadari bahwa Skenario Arab Spring melalui mobilisasi massa Gerakan People Power gagal, maka skenario diubah dengan mendorong Skenario Perang Saudara/Civil War, melalui pengerahan kekuatan militer, yang mana merupakan kekuatan gabungan antara pasukan pemberontak yang dimotori oleh National Transitional Council/NTC sebagai aktor intelektual dan motor pemberontakan terhadap Presiden Khadafi, bersama-sama dengan aliansi internasional yang dimotori AS, Inggris dan Prancis.
Strategi Penggulingan kekuasaan Khadafi secara licik dimulai justru dengan mendesak Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan Resolusi 1970 yang memberlakukan embargo senjata, pembekuan semua aset Khadafi, dan melarang mereka melakukan perjalanan. Beberapa waktu kemudian, Dewan Keamanan PBB kembali mengeluarkan Resolusi 1973 atas desakan Liga Arab. Yang berisi tentang perlindungan terhaap warga sipil, no-fly zone (Zona larangan terbang) di wilayah Libya, dan pelaksanaan hal-hal yang disebutkan dalam Resolusi 1970.
(Silahkan mempelajari lebih rinci dalam buku karya Jerry Indrawan, Penjajahan Gaya Baru, Kontroversi Seputar Intervensi Kemanusiaan NATO di Libya. Yogyakarta: Sibuku Media dan Lembaga Studi Peradaban dan Perdamaian, 2015).
Masalahnya jadi krusial ketika kemudian AS, Inggris dan Prancis memanipulasi dua Resolusi Dewan Keamanan PBB tersebut sebagai “payung hukum’ untuk mendorong terciptanya prakondisi pemberontakan bersenjata untuk menggulingkan Presiden Khadafi. Dengan melancarkan Operation Odyssey Dawn, pasukan militer ketiga negara adikuasa tersbut yang secara kebetulan juga merupakan anggota tetap Dewan Keamanan PBB, mulai memasuki wilayah kedaulatan Libya dengan dalih untuk menegakkan Resolusi 1973.
Tentara Nasional Libya (LNA) ketika berjaga kota selatan Sebha Maret lalu.(AFP via BBC)
Lima hari kemudian, dengan dalih Intervensi Kemanusiaan atas arahan dari Resolusi 1973 Dewan Keamanan PBB, tongkat kendali Intervensi Kemanusiaan di Libya diambil alih oleh Pasukan Koalisi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) melalui Operation Unified Protector. Sehingga sejak 24 Maret 2011 NATO mengambil alih komando operasi laut dan komando operasi udara.
Kalau kita cermati serangkaian fakta-fakta tersebut tampak jelas bahwa AS, Inggris dan Prancis sejak 24 Maret 2011 secara cerdik berlindung di balik badan internasional PBB sehingga agenda tersembunyi AS dan Inggris untuk menata ulang sistem politik, ekonomi dan militer Libya Pasca Tumbangnya Khadafi, terkesan seolah-olah hanya dimaksudkan untuk melindungi nyawa warga sipil Libya dari pembantaian rejim Khadafi. Tentu saja itu cerita versi AS dan NATO.
Namun seperti terlihat lewat studi yang dilakukan Jerry Indrawan dalam buku yang saya sebut tadi, Intervensi Kemanusiaan yang dijadikan alas bagi NATO untuk melancarkan aksi militer di Libya antara Maret-Oktober 2011, pada perkembangannya justru semakin memperkeruh keadaan disamping semakin bertambahnya korban jiwa warga sipil akibat serangan rudal pasukan koalisi AS dan NATO.
Sehingga masuk akal jika pada perkembangannya kemudian, banyak analis politik internasional mengindikasikan keberadaan NATO di Libya sebagai bentuk perpanjangan tangan AS sebagai basis instrument untuk melakukan intervensi yang didasari motivasi yang tak ada pertautannya dengan kemanusiaan. Jerry Indrawan menulis: Dalam setiap peristiwa kekerasan atau konflik pada umumnya Amerika Serikat selalu mengambil peran. Jika konflik telah meluas menjadi perang terbuka, seperti di Libya, maka pemerintah Amerika Serikat akan terjun dan memainkan perang ganda (intervensi kemanusiaan atau minyak? Apalagi, jika konflik terjadi di wilayah atau kawasan yang strategis dan kaya dengan sumber-sumber daya alam, maka hampir dipastikan di situ Amerika Serikat mengambil peran untuk intervensi.”
(Baca Jerry Indrawan,Penjajahan Gaya Baru, Kontroversi Seputar Intervensi Kemanusiaan NATO di Libya, hal 84)
Setelah Perang Saudara antara pasukan militer Khadafi dan pasukan pemberontak yang dimotori oleh NTC dengan dukungan AS, Inggris dan Prancis berlangsung selama 7 bulan, akhirnya pada 31 Oktober 2011 pemerintahan Presiden Khadafi yang dimulai sejak 1 September 1969, usai sudah. Khadafi sebagai simpul dan simbol Revolusi sejak tumbangnya Raja Idris, dan berdirinya Republik Arab Libya, tewas terbunuh.
Seberapa Penting Libya Bagi AS dan Inggris?
Sebelum menjawab pertanyaan strategis tersebut, mari kita telisik sejenak lokasi geografis Libya. Sebagai negara yang berada di wilayah Mahgribi Afrika Utara, Libya sebenarnya seperti juga Mesir dan Sudan, masuk klasifikasi negara-negara di kawasan Afrika alih-alih Timur-Tengah. Secara lokasi geografis, Libya berbatasan dengan Laut Tengah di sebelah utara, Mesir di sebelah Timur, Sudan di sebelah tenggara, Chad dan Niger di sebelah selatan, serta Aljazair dan Tunisia di sebelah barat.
Jadi dari aspek lokasi geografis saja, Libya sudah bisa dibilang merupakan sumberdaya yang layak diasetkan. Jika anda sepakat bahwa geopolitik selain kemampuan suatu bangsa mengenali kondisi geografisnya, pada saat yang sama juga mampu mengenali kekuatan geografisnya. Dengan begitu, Libya punya nilai strategis dari sudut pandang letak atau lokasi geografisnya.
Lantas kalau kita memetakan sumberdaya alam atau geoekonominya, sejak ditemukannya cadangan minyak yang besar pada 1959, sejatinya Libya merupakan salah satu negara kaya minyak di kawasan Afrika dan Timur-Tengah. Hanya sayangnya, saat Libya masih dikuasai oleh Raja Idris sebelum kemenangan Revolusi yang dipimpin Moammar Khadafi pada akhirnya berhasil mengubah Libya jadi republik pada 1 September 1969, keuntungan perolehan pendapatan dari minyak, pada prakteknya penguasaan kekayaan negara terlalu didominasi oleh Raja Idris dan kroni-kroninya.
Frederick Muscat dalam bukunya yang bertajuk Muammar Khadafi, Anakku, Presidenku, Khadafi sejak usia yang masih sangat belia sudah menyadari lewat buku-buku sejarah yang ia baca, bahwa sejak berakhirnya Perang Dunia II, Libya praktis berada dalam genggaman pengaruh dan kekuasaan dari AS dan Inggris. Pada 1949, PBB mengeluarkan sebuah resolusi, menyerukan segera dibentuk apa yang kelak dinamakan Negara Libya yang bebas dan berdaulat. Namun menurut pengamatan Frederick Muscat, resolusi tersebut berfungsi sebagai kedok bagi kehadiran AS dan Inggris untuk memainkan peran mempengaruhi pemerintahan di Libya.
Ketika PBB membentuk Komisi beranggotakan 21 orang yang yang mana Adrian Pelt dari Belanda memainkan perang sebagai penasehat komisi 21 tersebut, maka terbentuklah Libya yang terdiri dari beberapa propinsi seperti Fezzan, Cyrenaika dan Tripolitania. Lantas ketika Komisi 21 membentuk Majelis Nasional dan pada akhir 1952 memilih 60 orang anggota, dan membuat konstitusi negara berbentuk monarki konstitusional, seturut dengan itu, bekas Emir Idris El Sanusi, diproklamirkan sebagai Raja pertama Kerajaan Libya.
Khadafi menghadiri pertemuan puncak Arab di Libya pada tahun 1969, tidak lama seusai Revolusi September yang berhasil menumbangkan Raja Idris I. Khadafi duduk dengan pakaian militer di tengah dan dikelilingi oleh Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser (kiri) dan Presiden Suriah Nureddin al-Atassi (kanan). Tak diketahui – The Online Museum of Syrian History
Tapi ya tadi. Meski terbentuknya Libya lewat PBB, namun sejak awal ada tangan-tangan tersembunyi AS di Libya ikut memainkan peran dari belakang layar. Terbukti bahwa AS punya pangkalan militer di Tripoli dan Inggris punya pangkalan militer di Torbuk.
Fakta tersebut ketika diketahui Khadafi sejak masih sekolah menengah, jiwa nasionalismenya mulai bergolak. Menurut pikiran Khadafi, Libya sebagai negara-bangsa seharusnya milik rakyat, yaitu orang-orang desa dan suku badui yang terkebelakang dengan kehidupan mereka nasibnya belum berubah. Dari situlah Khadafi mulai bertanya-tanya eksplorasi minyak yang sudah dimulai sejak 1959 itu, kemana mengalirnya kekayaah minyak tersebut? Lantas untuk apa adanya kehadiran militer AS dan Inggris di Tripoli dan Tobruk?
Baca:
Libya Sejak 1969
Pertanyaan-pertanyaan yang mengusik pikiran tersebut semakin menggelisahkan Khadafi, terutama sejak mulai tertarik bidang politik pada 1957. Keberhasilan Revolusi Mesir yang dimotori oleh Jenderal Gamal Abdel Nasser 1952, telah menginspirasi Khadafi dan kawan-kawannya di Libya saat masih mengikuti pendidikan sebagai kadet perwira militer. Seturut dengan semakin koruptifnya sistem politik dan ekonomi Libya di bawah kolaborasi antara Raja Idris dan dua kekuatan negara asing, AS dan Inggris, maka disusunlah skema revolusi dan rencana strategis serta penggulingan Raja Idris, seraya menata ulang sistem politik-ekonomi-budaya di Libya. Pada 1 September 1969, Revolusi pimpinan Khadafi yang berhaluan Islam, Sosialisme dan Nasionalisme, berhasil dengan gilang-gemilang dan mengagetkan dunia internasional. Kalau hanya sekadar kudeta milter sih hal biasa di negara-negara berkembang. Namun aksi militer Khadafi yang dipandu Skema Revolusi, sangat mengejutkan dunia internasional. Dan gilanya lagi, berhasil jadi kenyataan.
Sejak era Khadafi, kekayaan dari perolehan minyak, sepenuhnya dikuasai negara, dan perusahaan-perusahaan minyak asing yang beroperasi sejak era Raja Idris, semuanya dinasionalisasi. Setidaknya, perusahaan minyak milik negara harus menguasai minimal 51 persen saham.
Khadafi di Yugoslavia pada 1970. Dokumentasi foto diambil dari Wikipedia
Bagi AS, minyak memang masalah yang bukan semata urusan ekonomi, melainkan mempertaruhkan dimensi keamanan nasionalnya juga. Bertautan dengan itu, Libya memang tercatat sebagai penyedia pasokan minyak untuk negara maju seperti AS.
Jadi Supplya minyak Libya bagi AS memang sangat vital. Beberapa perusahaan minyak yang beroperasi di Libya antara lain Waha Oil Company (WOC), Arabian Gulf Oil Company (Agoco), dan Sirte Oil Company (SOC). Ketiga perusahaan minyak AS tersebut punya kaitan erat terhadap ketersediaan minyak global khususnya terhadap Supplya ke AS maupun negara-negara maju di Eropa Barat.
Semenjak Khadafi berkuasa, masa jaya perusahaan-perusahaan multinasional AS tersebut berakhir sudah. Khadafi begitu berkuasa mulai memaksakan adanya negosiasi ulang jatah perusahaan-perusahaan tersebut. Pembagian jatah minyak dari masing-masing ladang yang semula mencapai 50 persen, yang artinya buat keuntungan asing, oleh Khadafi diubah jadi hanya 12 persen. Alasan Khadafi, pemerintah harus lebih mengalirkan keuntungan minyak itu buat rakyat Libya, bukan untuk asing dan segelintir elit lokal kroni pejabat pemerintahan.
Gagasan dasar Khadafi sederhana. Mengubah kontrol bisnis minyak yang selama ini berada di tangan korporasi-korporasi bisnis minyak, sejak kekuasaan Khadafi maka rakyat Libya-lah yang harus mendapat keuntungan dari minyak mereka sendiri.
Melalui konstruksi cerita mengenai Khadafi, maka aksi militer AS dan NATO ke Libya dengan dalih untuk melaksanakan Resolusi 1970 dan 1973, sejatinya hanya tedeng aling-aling untuk menyamarkan agenda tersembunyinya yaitu menata ulang kembali sistem politik dan ekonomi Libya yang menguntungkan skema korporasi bisnis AS dan Uni Eropa.
Dengan itu, lantaran penggusuran Khadafi melalui Skenario Arab Spring di Tunisia dan Mesir gagal total untuk digunakan sebagai instrument politik menggulingkan Khadafi, maka skenario diubah jadi Skenario Menyulut Perang Saudara. Malangnya, para elit strategis di ring satu Khadafi tidak solid dan mudah dipecah. Pihak AS, Inggris dan Prancis melihat titik-lemah tersebut.
Maka dbentuklah pada awalnya, Libyan National Council, yang kemudian dikembang-luaskan menjadi National Transitional Council pada 21 Februari 2011. Sebagai dasar menyusun gerakan pemberontakan berskala nasional terhadap Khadafi melalui konflik bersenjata. Dan ironisnya, Benghazi, salah satu kota besar kedua di Libya setelah Tripoli, menjadi basis tentara pemberontakan terhadap pemerintahan Khadafi. Ironisnya, di Benghazi ini pula, Khadafi menjadikan kota itu sebagai basis gerakan revolusi menumbangkan monarki konstitusional di bawah kepemimpinan Raja Idris. Dan mengubahnya menjadi Negara Arab Libya pada 1 September 1969.
Merenungkan kembali cerita tragis Khadafi, maka benar-lah kiranya ungkapan dari filsuf Spanyol George Santayana: Kalau kita tidak belajar dari sejarah, maka sejarah ditakdirkan untuk terulang kembali.
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)