Seturut terbentuknya Pakta Militer Indo-Pasifik yang terdiri dari Amerika Serikat, Australia, Jepang dan India, maka ada indikasi kuat bahwa AS mulai memberi angin kepada Jepang untuk meningkatkan postur pertahanannya secara lebih agresif. Salah satu yang belakangan semakin mengkhawatirkan adalah, semakin meningkatnya jumlah persenjataan nuklir Jepang, utamanya kapal selam bertenaga nuklir.
Baca juga: Current Status of Japans Nuclear Power
Dari sebab itu masuk akal jika Tokyo menolak menandatangani Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons (NPT). Pemerintah Jepang secara aktif melakukan aksi-aksi diplomatic menolak adanya prinsip-prinsip anti-senjata nuklir dengan atas dasar dalih semakin meningkatnya ancaman dari Cina dan Korea Utara. Penolakan Jepang terhadap skema NPT semakin kondusif dengan adanya dukungan AS yang berkepentingan merangkul Jepang tergabung dalam blok persekutuan Indo-Pasifik atau The US Indo-Pacific Strategy.
Kalau bicara soal kemampuan Jepang dari segi industri pertahanan strategis maupun kemampuan ilmu dan teknologi, nampaknya sudah tidak perlu disangsikan lagi. Jepang bukan saja mampu memproduksi bahan bakar nuklir dan membuat kapal selam bertenaga nuklir. Bahkan Jepang mampu dalam dua hingga tiga tahun mendatang, memproduksi ratusan rudal-rudal bertenaga nuklir.
Jepang saat ini berpotensi memiliki 4 ton plutonium. Bukan hanya itu saja. Pabrik-pabrik industry bahan bakar nuklir di Kumatori dan Tokai, mampu memproduksi 300 dan 200 ton pengayaan uranium setiap tahunnya.
Baca juga : Is Japan likely to acquire nuclear powered submarines?
Trend global seperti gambaran di atas kiranya cukup beralasan bagi para Pemangku Kepentingan Politik-Keamanan maupun Pertahanan Nasional kita bahwa perkembangan tersebut bisa berbahaya bagi stabilitas dan keamanan kawasan di Asia-Pasifik. Meningkatnya postur pertahanan Jepang yang kian agresif terutama dengan meningkatnya pengembangan senjata nuklir utamanya kapal selam bertenaga nuklir, pada perkembangannya bisa meningkatkan eskalasi perlombaan senjata nuklir di Asia Timur maupun Asia Tenggara. Di kawasan mana Indonesia termasuk di dalamnya. Apalagi ketika pada gilirannya akan disusul dengan semakin intensifnya latihan militer bersama antara Jepang, AS maupun sekutu-sekutunya yang tergabung dalam Pakta Pertahanan Indo-Pasifik (QUAD) maupun yang tergabung dalam AUKUS seperti AS, Australia dan Inggris.
Baca juga :
Kishida cautious about Japan acquiring nuclear-powered subs
Saatnya bagi Indonesia untuk mulai memprakarsai serangkaian diskusi dan pembahasan isu krusial dan sensitif tersebut bersama negara-negara mitranya yang tergabung dalam ASEAN.
Bagi perspektif kepentingan nasional Indonesia di bidang pertahanan, isu proliferasi persenjataan nuklir yang semakin meningkat di Asia Pasifik bukan hanya ilusi belaka. Selain Jepang, Australia pun pada Februari lalu secara mengejutkan telah menandatangani kesepakatan dengan AS maupun Inggris terkait teknologi persenjataan nuklir dalam kerangka Pakta Pertahanan Indo-Pasifik (AUKUS).
Hal inilah yang kemudian pada September lalu mendorong Jepang mencanangkan rencananya untuk membuat kapal selam bertenaga nuklir. Di dalam konstelasi politik dalam negeri Jepang sendiri ada banyak pendukung rencana pengembangan senjata nuklir khususnya kapal selam bertenaga nuklir seperti yang disuarakan oleh mantan menteri pertahanan Jepang Taro Kono dan Ketua Dewan Pengkajian Kebijakan Partai Liberal Democratic Party (LDP) Sanae Takaichi. Meski pada akhirnya kedua tokoh sentral LDP yang pro peningkatan senjata nuklir dikalahkan oleh Fumio Kishida yang saat ini menjabat perdana menteri Jepang, namun gagasan peningkatan postur pertahanan Jepang yang lebih agresif tetap hidup di dalam ring satu pemerintahan maupun LDP.
Apalagi konteks semakin agresifnya AS menggalang dukungan kekuatan lewat Strategi Indo-Pasifik, Jepang sepertinya semakin mendapatkan momentum untuk membangkitkan kembali kekuatan militernya pada skala yang semakin agresif. Sehingga tidak lagi sekadar sebagai Self Defense Forces atau pasukan bela diri seturut kekalahan tentara Jepang terhadap tentara sekutu pada Perang Dunia II lalu.
Akankah hal ini menjadi isyarat proliferasi senjata nuklir dan militerisasi akan semakin meningkat di kawasan Asia-Pasifik? Semoga apa yang kita khawatirkan tidak akan terjadi.
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)