Strategi Pembendungan AS dan NATO Terhadap Cina Lewat Persekutuan AUKUS dan QUAD

Bagikan artikel ini

Ada kekhawatiran yang kian meluas, bahwa skema persekutuan AS melalui Skema AUKUS pada era Presiden Joe Biden  maupun QUAD pada era Presiden Donald Trump, sejatinya merupakan upaya AS yang dimotori oleh Pentagon, untuk menghidupkan kembali Propaganda Perang Dingin Jilid 2. Dengan merujuk pada konsepsi yang pernah dicetuskan George F Kennan, the Containment Policy. Strategi Pembendungan terhadap Uni Soviet pada era Pasca Perang Dunia II.  AS bersama Inggris dan Australia, sepertinya sedang berupaya memundurkan kembali jarum jam sejarah. Akan berhasilkah?  

Sasaran strategis persekutuan empat negara yang tergabung dalam  QUAD (Amerika Serikat, Australia, Jepang dan India)  maupun kerjasama keamanan tiga negara (trilateral) Australia, United Kingdom (Inggris) dan United States of America (AUKUS), yang paling utama adalah untuk mengepung dan memblokade jalur pasokan minyak Cina di lintasan Jalur Sutra, yang mana Amerika Serikat (AS)  bermain dari belakang layar. Seraya meningkatkan soliditas kerjasama militer bersama  dengan dua sekutunya di kawasan Asia yang selama ini memandang Cina sebagai musuh, atau setidaknya ancaman. Yaitu Jepang, dan India.

Lebih konkretnya, sasaran strategis persekutuan AUKUS maupun QUAD  adalah untuk memblokade Selat Malaka seraya membelah Xinjiang dan Tibet sebagai salah satu konektivitas geografis paling vital Cina dari perspektif Silk Road Maritime Initiatives sejak 2014 dicanangkan oleh Presiden Xi Jinping sebagai Strategi Nasional Cina. Rute lintasan Jalur Sutra lainnya yang juga vital bagi Cina, adalah Xinjiang yang merupakan titik start (starting point) Jalur Sutra ke Eropa. Maka AS lewat persekutuan QUAD maupun AUKUS bermaksud memisahkan Pakistan dan Myanmar. Sehingga lewat rute lintasan Jalur Sutra via Selatan,  Selat Malaka dan Xinjiang mempunyai konektivitas geografis dengan Tibet, karena juga merupakan lintasan jalur Sutra menurut perspektif kepentingan strategis Cina.

(Untuk referensi pembanding, silahkan baca Murray Weidenbaum and Samuel Hughes, The Bamboo Network, Jaringan Pengusaha Tirai Bambu, terbitan 1996). 

Dalam perspektif Kebijakan Strategis Jalur Sutra yang diterapkan China sebagai strategi nasional sejak 2014, manuver geopolitik AS membelah Tibet dan Xinjiang memang masih akal. Dalam pemetaan lokasi geografis, Xinjiang terletak di Utara dalam wilayah Ciha paling Barat. Berbatasan di Utara dan Barat dengan lima negara Muslim di Asia Tengah yaitu KyrgyzstanKazakhstan, Tajikistan, Turkemistan, Afghanistan dan Pakistan. 

Dalam perspektif geopolitik China, Jalur Sutra memang bukan saja rute dagang dan rute keamanan, melainkan juga berpotensi jadi rute kontak budaya antarnegara jika menelisik kembali kerjasama antara Cina dan negara-negara Asia lainnya. Adapun Jalur Sutra tersebut mempunyai beberapa rute lintasan. Via Uatara membujur dari Perbatasan China-Rusia, KyrgyzstanKazakhstan, Tajikistan, Turkemestan, Iran, Irak, Suriah, Turki, lantas terus menuju Eropa. 

Via Selatan membentang antara China, India, Pakistan, Afghanistan, Iran, Iraq, Suriah, Mesir, terus menuju ke Afrika Utara hingga Maroko. Titik pisah antara jalur Utara dan Selatan adalah Suriah. Selain itu ada jalur tambahan atau jalur pengembangan yaitu melalui Laut China Selatan, Selat Malaka, lautan Hindia, Laut Merah dan Laut Mediterania.

(Silahkan baca artikel-artikel Hendrajit dan M Arief Pranoto terkait Jalur Sutra yang bertema Merobek Jalur Sutera, Menerkam Asia Tenggara, dalam The Global Review Quarterly terbitan Januari 2013). 

Dalam perhitungan strategi militer AS dan blok Barat, selama wilayah-wilayah yang tersebut di atas bisa diputus konektivitas geografisnya sehingga memutus  Cina untuk menguasai rute lintasan Jalur Sutra Maritim,  maka Amerika Serikat meyakini akan berhasil melumpuhkan kekuatan Jalur Sutra Maritim China melalui pengerahan kekuatan militer atau Hard Power.

Aukus: Mengapa pakta pertahanan Inggris, AS, Australia prioritaskan pembuatan kapal selam untuk tangkal China di Indo-Pasifik?

Untuk mengimplementasikan strategi dan rencana persekutuan QUAD maupun AUKUD, maka para pejabat senior pemerintah AS telah sejak beberapa bulan lalu secara intens melakukan serangkaian kunjungan kerja ke kawasan Asia dalam beberapa bulan terakhir ini.

Misal,  Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin berkunjung ke Singapura, Filipina, dan Vietnam pada akhir Juli 2021 lalu. Adapun pada 30 Juli 2021, Austin mengadakan pembicaraan khusus dengan Menteri Pertahanan Korea Selatan Xu Xu dan Menteri Pertahanan Jepang Nobuo Kishi.

Wakil Presiden AS Kamala Harris juga telah mengadakan kunjungan ke  Singapura dan Vietnam pada 22-26 Agustus lalu.

Bukan itu saja. Orang kedua Kementerian Luar Negeri AS, Wakil Menteri Luar Negeri Wendy Sherman mengunjungi Indonesia, Kamboja, dan Thailand sejak akhir Mei hingga awal Juni lalu. Juga mengunjungi Jepang, Korea Selatan, dan Mongolia Luar pada 22 Juli 2021, dan juga mengunjungi Cina pada tanggal 26 Juli 2021.

Untuk mengimplementasikan strategi dan rencana persekutuan QUAD maupun AUKUS, maka para pejabat senior pemerintah AS secara intensif melakukan serangkaian kunjungan kerja ke beberapa negara di  kawasan Asia dalam beberapa bulan terakhir ini.

Misal,  Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin berkunjung ke Singapura, Filipina, dan Vietnam pada akhir Juli 2021 lalu. Adapun pada 30 Juli 2021, Austin mengadakan pembicaraan khusus dengan Menteri Pertahanan Korea Selatan Xu Xu dan Menteri Pertahanan Jepang Nobuo Kishi. Wakil Presiden AS Kamala Harris juga telah mengadakan kunjungan ke  Singapura dan Vietnam pada 22-26 Agustus lalu.

Para pemain kunci pemerintahan di Washington tersebut secara intensif mengadakan lawatan ke semua negara di kawasan Asia yang bertetangga atau berbatasan dengan Cina, atau yang berlokasi di sekitar Cina

Sepertinya, Washington dan sekutu-sekutunya yang tergabung dalam QUAD maupun AUKUS, sedang menghidupkan kembali konsepsi lama Perang Dingin yang merujuk pada konsep George F Kennan, the Containment Policy, strategi pembendungan terhadap Uni Soviet, yang disampaikan Kennan  kepada para pejabat ring satu pemerintahan Presiden Harry S Truman  pada 1946, ketika masih bertugas sebagai pejabat diplomatik Kedubes AS di Moskow.

Konsepsi Kennan kemudian diadopsi oleh Presiden Truman. Dan pada 1947, sebagai bentuk apresiasi dan persetujuan pemerintahan Gedung Putih pada konsep the Containment Policy membendung Soviet, maka Kennan diberi jabatan strategis dan cukup berpengaruh di kementerian luar negeri AS, sebagai Direktur Kebijakan dan Perencanaan.

Namun ketika sekarang lewat AUKUS dan QUAD AS mencoba memundurkan kembali jarum sejarah seakan era Perang Dingin antara era 1950an hingga akhir 1980an masih berlangsung, akankah berhasil dan efektif mencapai sasaran strategisnya untuk membendung Cina?

Sepertinya tidak akan berhasil dan tidak akan efektif. Ada dua kondisi obyektif yang tidak menguntungkan jika kali ini AS dan NATO bermaksud melancarkan Perang Dingin jilid kedua.  Bebeberapa negara Eropa Barat seperti Prancis dan Jerman telah secara terbuka menentang skema persekutuan tersebut atas dasar beberapa pertimbangan. Pertama, AUKUS dan QUAD bakal merugikan kepentingan nasional negara-negara Eropa Barat itu sendiri, mengingat fakta bahwa hubungan ekonomi dan perdagangan negara-negara tersebut telah menjalin kerjasama yang intens dalam bidang ekonomi dan perdagangan dengan Cina.

Dubes China untuk ASEAN, Deng Xijun, berharap negara anggota blok tersebut menolak kesepakatan kapal selam nuklir antara AS, Australia, dan Inggris atau AUKUS.

Kedua, seturut dengan terbentuknya AUKUS baru-baru ini, maka persekutuan AS dengan Inggris dan Australia di kawasan Asia Pasifik, maka akan dipandang oleh dunia internasional akan meningkatkan eskalasi konflik militer yang semakin tajam di Asia Pasifik. Bahkan muncul kekhawatiran bahwa AUKUS dan QUAD, akan memicu kembali meningkatnya proliferasi senjata nuklir di Asia Pasifik.

Kondisi obyektif yang kedua yang kiranya akan menghalangai efektifitas skema AUKUS maupun QUAD, beberapa negara di Asia di luar Jepang dan India, tidak terlalu antusias menyambut skema persekutuan AUKUS dan QUAD dalam membendung Cina di Laut Cina Selatan, meskipun ketegangan AS versus Cina di perairan Laut Cina Selatan semakin memanas. Salah satunya adalah forum Perhimpunan Negara-Negara Asia Tenggara (ASEAN).

Bahkan, justru karena semakin memanasnya ketetangan AS versus Cina di Asia Pasifik, utamanya Laut Cina Selatan, maka persekutuan AS-NATO atas dasar skema AUKUS dan QUAD berpotensi membahayakan stabiiitas politik dan keamanan di kawasan Asia-Pasifik, terutama Asia Tenggara yang mana Laut Cina Selatan berlokasi. Untuk itu, perlu dilancarkan gerakan advokasi berskala internasional menentang propaganda Perang Dingin seperti yang saat ini secara gencar dilancarkan oleh AS, Inggris dan Australia.

Indonesia sebagai negara terbesar di Asia Tenggara dan salah satu pendiri ASEAN, sudah sepantasnya memainkan peran pro aktif meredakan dan menetralasir memanasnya eskalasi konflik di Laut China Selatan dan Asia Tenggara pada umumnya. Seraya memprakarsai perdamaian dan resolusi konflik atas dasar semangat Zone of Peace, Freedom and Neutrality (ZOPFAN).

Pola Perang Dingin yang bertumpu pada Hard Power atau penggunaan kekuatan militer, saat ini sudah dianggap usang dan tidak efektif. Apalagi ketika AS dan NATO seperti terlihat melalui persekutuan berskema AUKUS dan QUAD, cenderung menerapkan pendekatan Unilateral bersifat sepihak. Padahal, tren global saat ini sudah mengarah pada kerjasama multilateral ketimbang Unilateral atau pengkutuban tunggal.

Hendrajit, pengkaji geopolitik, Global Future Institute. 

 

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com