Sulitnya Membangun Indonesia Plural

Bagikan artikel ini

Datuak Alat Tjumano, peneliti senior di Forum Dialog (Fordial), Jakarta. Alumnus Universitas Krisnadwipayana

Ada beberapa fakta yang dikhawatirkan berbagai kalangan akan semakin sulit membuat upaya bangsa ini (mungkin masih dalam jumlah yang minoritas) untuk membangun sebuah Indonesia yang plural, karena diakui atau tidak beberapa kalangan menilai persoalan ideologi belum selesai di Indonesia. Kondisi ini diperparah dengan kelompok-kelompok yang masih memiliki fanatisme tersebut, kurang diuntungkan dengan perkembangan ekonomi nasional, sehingga mereka melakukan “perlawanan” dan berpotensi menimbulkan atau menumbuh kembangkan semangat radikal yang oleh beberapa kelompok tertentu tersebut disebut dengan jihad. Sebuah pengertian yang salah tentang jihad.

Fakta pertama adalah Jama’ah Anshorut Tauhid (JAT) mengeluarkan pernyataan sikap berisi “Pernyataan Fitnah Kapolri (Jenderal Sutarman) Adalah Bukti Kegalauan Aparat Terhadap Perkembangan Dakwah Ustadz Abu Bakar Ba’asyir”. Dalam pernyataannya disebutkan antara lain, JAT menolak keras pernyataan Ka Polri yang menuduh buku “Tadzkiroh” karya Ustadz Abu Bakar Ba’asyir merupakan salah satu penyebab maraknya aksi perampokan untuk mendanai aksi terorisme di Indonesia. Pernyataan tersebut sebagai black propaganda terhadap dakwah Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, serta untuk menutupi kebobrokan sistem negara. Selain itu, black propaganda yang dilakukan beberapa pejabat negara merupakan upaya agar masyarakat apriori terhadap JAT dan dakwah Ustadz Abu Bakar Ba’asyir.
Menurut JAT, buku “Tadzkiroh” merupakan nasihat dan peringatan kepada penguasa untuk menjalankan roda pemerintahan dengan cara Syari’at Islam. Untuk itu, guna menghadapi black propaganda tersebut, seluruh instrumen JAT akan terus aktif menyebarluaskan dakwah Ustadz Abu Bakar Ba’asyir ke seluruh lapisan masyarakat, dan menyerukan kaum muslimin tidak mudah tertipu dengan hasutan yang menyudutkan dakwah Ustadz Abu Bakar Ba’asyir dan JAT, karena hal tersebut merupakan manajemen konflik yang dilakukan negara untuk mempertahankan kekuasaannya. Menyerukan kepada tokoh umat Islam memberikan pencerahan kepada umat tentang kerusakan sistem demokrasi serta wajib menegakkan Syari’at Islam dalam institusi negara.
Penulis menilai pernyataan Kapolri yang menilai fatwa-fatwa Abu Bakar Baasyir dalam buku Tadzkiroh sebagai fatwa yang menghalalkan perampokan, mestinya perlu dilegkapi fatwa Abu Bakar Baasyir yang mana yang dimaksud oleh Kapolri yang bisa ditafsirkan semacam itu. Dalam hubungan itu tentunya, Kapolri  harus bisa menjelaskan bahwa pernyataannya bukanlah black campaign, propaganda dan fitnah bagi Abu Bakar Baasyir, tetapi sebuah kesimpulan yang nalar.
Kecuali dalam masalah ini adalah apabila KAPOLRI hanya berlogika secara umum, bahwa fatwa Abu Bakar Baasyir dalam buku Tadzkiroh adalah bagian dari perjuangan politik Abu Bakar Baasyir yang mendukung  semua aksi apapun, termasuk perampokan demi suksesnya perjuagan politik kelompok Abu Bakar Baasyir.
Notabene Kapolri harus benar-benar telah membaca buku Tadzkiroh secara lengkap dan memahami isinya, bukan sekedar pernyataan politis untuk secara umum mengharamkan semua aktivitas JAT.
Fakta kedua adalah aksi penembakan 6 orang terduga teroris oleh Tim Densus 88 Anti Teror Mabes Polri di Ciputat mendapat reaksi dari sejumlah kelompok. Beberapa tokoh informal dari kalangan tertentu di Kabupaten Lombok Timur, NTB misalnya menilai tim Densus 88 semakin sadis terhadap terduga teroris yang belum tentu bersalah, karena Tim Densus 88 tidak pernah melakukan penangkapan secara persuasif, melainkan secara represif atau kekerasan. Padahal jihad yang dilakukan para terduga teroris adalah untuk membela agama Allah, bukan untuk meneror kaum muslimin seperti kasus menembak mati aparat kepolisian dan kasus perampokan yang dituduhkan pihak keamanan terhadap mereka. Sementara itu, tokoh yang lain mengecam tindakan Tim Densus 88 yang telah menembak mati 6 orang yang diduga teroris. Menurutnya tindakan Tim Densus 88 tersebut tidak akan mematikan aksi dan gerakan untuk terus menegakkan jihad di Indonesia, karena diyakini gerakan yang dibangun JAT terkonsep pada pribahasa “hilang satu tumbuh seribu” dan upaya pengkaderan menjadi penting untuk dilakukan oleh kelompok yang memiliki garis ideologi yang sama.
Berdasarkan catatan penulis, hampir semua penggerebegan terhadap kelompok teroris oleh Satuan Anti Teror, dinegara manapun, tentu akan berakhir dengan matinya semua teroris. Hal ini disebabkan semua individu teroris di negara manapun adalah orang-orang yang meyakini sebuah perjuangan politik, fanatik, militan, radikal dan siap mati. Sejak dikenalnya bom bunuh diri, maka teroris yang menyerah berkecenderungan  merupakan oknum teroris bom bunuh  diri. Langkah kemanusiaan dalam pertempuran melawan teroris yang berakibat matinya seluruh teroris sebaiknya diimbangi dengan langkah evakuasi, penanganan jenazah dan pemakamannya sesuai dengan ajaran agama, adat dan tradisi yang berlaku.
Fakta ketiga adalah beredarnya VCD dengan judul “Syari’at Islam Harga Mati”. Dalam VCD tersebut, Dinul Islam (Agama Islam) adalah satu-satunya konsep hidup yang diciptakan Allah, sehingga merupakan konsep hidup yang paling benar dan menjamin terwujudnya kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Demokrasi di Indonesia dinilai sebagai ajaran jahil murokat, karena demokrasi meletakkan kedaulatan di tangan rakyat.
Menurut penulis, dialog antara Pemerintah dengan kelompok radikal yang menganut sesuatu keyakinan politik tidak dapat dilakukan setelah aksi terorisme terjadi dan penggerebegan terhadap kelompok teroris dilakukan, karena norma hukum yang digunakan sudah bukan hukum biasa.
Dialog hanya bisa dilakukan pra terjadinya bentrok bersenjata, dimana upaya de-fanatisasi terhadap sesuatu aliran sesat, demilitansi sikap, deradikalisasi bahkan disengagement kemungkinan masih dapat dilakukan. Oleh sebab itu, program, upaya dan melaksanakan dialog dengan masyarakat agar tidak sesat menjadi fanatik, militan, radikal dan siap untuk berjihad perlu segera diupayakan. Berbicara untuk dialog setelah konflik bersenjata dan semua teroris mati terjadi, jelas sangat terlambat dan omong kosong.
Untuk itu baik BNPT dan Wapres yang pernah berjanji akan menggalakkan program dialog dalam rangka defanatisasi ajaran, demilitansi, deradikalisasi dan aksi jihad perlu diingatkan untuk mewukudkan janjinya.
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com