Surat Terbuka Kepada Presiden SBY

Bagikan artikel ini

AS Laksana

PAK Presiden:
Ini adalah surat pertama saya kepada Anda dan sesungguhnya saya ingin menulis surat kepada Anda setiap hari. Saya pernah membaca surat terbuka macam ini yang ditulis oleh kolumnis Art Buchwald yang jenaka ketika Richard Nixon menjadi Presiden Amerika Serikat. Waktu itu Buchwald mengatakan, ”Pak Presiden, dengan surat ini saya ingin menyampaikan kepada Anda bagaimana cara memimpin negara. Berbahagialah Anda karena saya tidak memungut biaya sama sekali untuk nasihat yang saya berikan, sebab saya merasa bahwa sudah menjadi tugas saya sebagai warga negara untuk membantu Presiden mengatasi pelbagai masalah yang muncul hari ini.”

Itu sikap yang baik dan, terus-terang, saya ingin menirunya. Karena itu, saya juga tidak akan memungut biaya atas apa yang saya sampaikan kepada Anda melalui surat ini.

Yang pertama, Pak Presiden, saya pikir sudah saatnya bagi Anda untuk berhenti memikirkan pencitraan diri. Sulitnya menjadi presiden yang terlalu menjaga citra adalah Anda bisa menjadi tampak lamban karenanya. Hal yang sama dialami oleh seorang perempuan yang terlalu menjaga penampilan. Ia bisa menghabiskan waktu berjam-jam di salon untuk menyasak rambut atau memotong kuku atau melentikkan bulu mata, hanya demi sebuah keputusan sepele: menghadiri kondangan.

Saya kira Anda perlu sedikit rileks, tetapi jangan pula terlalu guyon. Seorang presiden yang senang guyon akan menimbulkan masalah tersendiri, bagi dirinya dan bagi negeri yang dipimpinnya. Gus Dur pernah membuktikan itu. Saya kadang senang dengan guyonannya, tetapi para politisi di gedung DPR pada masa itu pastilah tidak suka dibilang sebagai sekumpulan anak TK (Sekarang banyak orang yang membenarkan pernyataan Gus Dur itu, terutama karena sampai hari ini perilaku anggota DPR masih membuat orang tidak bahagia.).

Namun, terlalu diam juga bisa merepotkan. Kita telah mengalami masa pemerintahan oleh presiden yang sepertinya mengamalkan petuah ”diam adalah emas” dan Anda sendiri pernah melakukan pembelotan pada presiden yang seperti itu. Peristiwa tersebut menyebabkan Ibu Mega sampai hari ini terus menampakkan ketidaksukaannya terhadap Anda, bahkan sampai pada sikap dan kekeraskepalaan politik yang terasa tidak masuk akal. Tapi itu urusan Ibu Mega sendiri, bukan urusan bangsa ini.

Yang lebih perlu Anda perhatikan, Pak Presiden, rakyat sudah memilih Anda untuk kali kedua. Saran saya, sungguh-sungguhlah menjadi sahabat mereka. Ini saran yang serius, sebab beberapa waktu sebelum kampanye pemilihan presiden, saya membaca kisah Pak Mayar, seorang petani kecil di daerah Gunung Putri, Bogor. Dua hal dalam kisah itu sangat mengesankan saya. Pertama, Pak Tani itu punya nama yang bagus, ”Mayar”. Dalam bahasa Jawa berarti mudah (meskipun hidupnya sama sekali tidak mudah). Kedua, di rumah Pak Mayar ini Anda pernah mengadakan pertemuan untuk menggalang dukungan semasa kampanye pemilihan presiden yang pertama dulu.

Menurut apa yang saya baca, di rumah itu Anda menjanjikan tiga hal jika Anda terpilih menjadi presiden. Yaitu pengaspalan jalan,
pembangunan sekolah, dan pengadaan saluran irigasi. Dan, akhirnya Anda menjadi presiden. Dua janji pertama terwujud, yang ketiga belum. Jalanan diaspal dan sebuah SMA dibangun, tetapi tak ada pembangunan saluran irigasi.

Dengan dua janji terpenuhi, setidaknya Anda bisa mengatakan bahwa Pak SBY tidak melupakan sama sekali janjinya. Namun, ada yang meleset di sini. Pemenuhan dua dari tiga janji itu ternyata nyaris tak ada manfaatnya bagi Pak Mayar dan orang-orang yang
selevel dengannya. Jalanan beraspal hanya berfungsi semakin memperlancar proses pencaplokan tanah warga kepada orang-orang kaya dari kota. Mereka membeli lahan para petani dan membangun perumahan di sana. Sedangkan gedung SMA tak pernah bisa dimasuki karena terlalu mahal. Bahkan cucu Pak Mayar pun tak pernah bisa bersekolah di sana. Dan, berapa uang masuk yang dianggap terlalu mahal itu? ”Satu setengah juta rupiah,” kata Pak Mayar. ”Saya tidak mampu menyediakan uang sebanyak itu.”

Mari kita akui bersama bahwa uang sejumlah itu memang sangat besar bagi sebagian besar rakyat di negeri ini. Sejumlah orang bahkan rela mati demi berebut uang derma Rp 20 ribu. Selanjutnya, mudah-mudahan tidak ada kemelesetan semacam itu lagi dalam upaya Anda memenuhi janji, dalam skala luas, bagi rakyat yang telah memilih Anda.

Terakhir, saya berharap Anda sigap merespons orang-orang yang saat ini menuntut Anda membuktikan jargon kampanye Anda ”menegakkan hukum tanpa pandang bulu”. Mereka sekarang meminta Anda bersikap tegas untuk mengamankan KPK, institusi yang telah memberikan kredit tersendiri pada citra positif pemerintahan Anda, dari upaya-upaya untuk melemahkan fungsinya.

Tentang hal-hal yang menyangkut upaya pelemahan KPK, saya ingin mengingatkan bahwa Anda harus mewaspadai omongan-omongan di belakang Anda. Ketika besan Anda, Aulia Pohan, dijadikan tersangka oleh KPK karena kasus korupsi, saya ingat pernah mendengar guyonan dari seorang teman, yang dekat dengan lingkaran Anda, bahwa tak boleh ada kejadian seperti ini. Katanya, kalau besan saja dijadikan tersangka, ”moral pasukan” bisa runtuh, dong. Yang dimaksudkan pasukan di sini, Anda pasti tahu, adalah orang-orang yang berjejalan mendukung Anda –dengan dana, tenaga, maupun manuver politik. ”Harus dikasih peringatan KPK ini,” kata teman saya itu.

Sekarang, dengan KPK dibikin sempoyongan seperti ini, saya tidak heran jika ada anggapan bahwa ”pasukan” yang cemas itu sudah bergerak. Dan saya harus menyampaikan bahwa sikap diam Anda justru akan menguatkan anggapan itu. Apalagi kabarnya ada rekaman lain, saya baca di The Jakarta Post minggu lalu, yakni antara Susno Duadji, para jaksa, dan pejabat-pejabat lain yang menyebut-nyebut ”Blue Sky” –konon itu nama sandi untuk Ibu Negara– dalam percakapan telepon mereka mengenai Bank Century.

Saya tidak melarang anda menjadi orang yang pemaaf. Tetapi jangan sering-sering memberi maaf untuk hal-hal yang tidak mendidik. Pemberian maaf kepada Ong Juliana Gunawan dan Anggodo Widjojo dalam kasus yang Anda sebut sendiri sebagai ”pencatutan nama” sungguh merupakan tindakan yang bisa membuat pikiran semakin gelap. Kasus lain, saya tetap tidak habis pikir
bagaimana Zaenal Maarif, yang membuat Anda marah dua atau tiga tahun lalu karena mengumbar omongan bahwa Anda sudah menikah dan punya anak ketika menjadi taruna Akabri, pada pemilu terakhir bisa banting setir menjadi kader dan caleg Partai Demokrat.

Sungguh saya tidak paham model rekrutmen politik di negeri ini. Terlalu banyak kutu di tubuh partai-partai dan mereka bisa meloncat-loncat dari satu partai ke partai lain dengan keringanan yang tak tertahankan. Kalau para kader partai saja tidak peduli dengan konten politik partai-partai mereka, sebetulnya rakyat disuruh memilih apa dalam pemilu?

Pak SBY, saya akan mengakhiri surat ini dengan kalimat menghibur yang menunjukkan bagaimana orang Amerika memandang kualitas presiden-presiden mereka. Penuturan anonim itu berbunyi begini: ”Roosevelt memberi bukti bahwa orang bisa menjadi presiden seumur hidup; Truman memberi bukti bahwa semua orang bisa menjadi presiden; dan Eisenhower memberi bukti bahwa kita tidak memerlukan presiden.”

Saya tidak ingin mengkopi frase terakhir dan mengganti nama Eisenhower dengan siapa pun nama presiden kita. Sesungguhnya yang saya inginkan adalah sebuah frase lain yang memberi bukti bahwa seorang presiden bisa benar-benar menjadi sahabat orang miskin.

Salam dari saya, A.S. Laksana

*) A.S. Laksana, cerpenis, aslaksana@yahoo.com

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com