Tentang Liberalisme Ekonomi (1): Sri Mulyani Itu Orang Baik Kok!

Bagikan artikel ini

Dina Y. Sulaeman

Kompas hari ini menurunkan tulisan Sindhunata yang memuji-muji Sri Mulyani. Kebetulan, saat browsing, saya ketemu grup facebook “Kami Percaya Integritas Sri Mulyani”. Di sana, banyak yang memuji-muji SMI dengan kata “Saya percaya pada integritas SMI”, “Saya percaya Bu Sri orang baik.”

Sebelum saya komentari, saya mau cerita dulu. Dalam sebuah diskusi di kelas, saya mengkritik liberalisme. Dosen saya, seorang profesor senior, membela liberalisme dan mengatakan bahwa kita tidak bisa lagi menghindar dari liberalisme yang sudah sedemikian mengglobal. Yang harus dilakukan Indonesia adalah menyiasati ‘hidup’ dalam liberalisme yang sudah menjadi keniscayaan. Diskusi kami baik-baik saja, tidak ada yang tersinggung. Kami berbeda pendapat, tapi tidak saling memaksakan. Tapi ada satu hal yang saya catat: pada sebagian orang, bahkan setingkat profesor sekalipun, memang sangat mungkin sedemikian yakinnya pada liberalisme. Bukan berarti orang yang yakin pada kebenaran liberalisme adalah orang jahat; justru saya sangat yakin dosen saya ini hatinya baik. Sikapnya yang santun dan tidak tersinggung saat saya kritik, membuktikan hal itu.

Jadi, melihat begitu banyak orang yang sedemikian percaya bahwa SMI orang baik, saya yang tidak kenal SMI, merasa perlu juga percaya bahwa dia memang baik, tidak korup, punya semangat membenahi Depkeu, dll (seperti kata orang-orang itu). Tapi teman, problemnya BUKAN pada kepribadian SMI, tapi pada keyakinannya (atau bahkan ‘keimanannya’) bahwa liberalisme adalah ideologi yang bisa menyejahterakan manusia. Melalui ekonomi liberal, kata para liberalis, dunia akan makmur dan manusia akan mencapai kemuliaannya. Kalaupun dalam proses liberalisasi ada banyak yang menjadi korban, kata liberalis, itu adalah resiko. Setiap keberhasilan perlu menerjang resiko. Biarlah segelintir orang mati kelaparan asal mayoritas orang bisa terselamatkan dan hidup makmur, begitu prinsip mereka. Percayalah, kata liberalis, setelah semua krisis terlalui, dunia akan mencapai kemakmuran dan perdamaian abadi.

[Sebentar..sebentar.. mungkin ada yang nanya, “Kata siapa SMI liberal?” Jawabannya rada panjang. Jadi, buat yang belum percaya bahwa SMI adalah pendukung ekonomi liberal, silahkan cari sendiri. Saya tidak tuliskan di sini karena terlalu panjang, nanti gak fokus.]

Lanjut. Masalahnya, ideologi liberalisme adalah alat bagi segelintir orang haus darah dan uang untuk menghisap darah dan uang umat manusia, demi menumpuk uang sebanyak-banyaknya (mungkin inilah representasi yang dikatakan Nabi Muhammad SAW, “Seandainya anak Adam memiliki satu lembah emas, niscaya ingin memiliki lembah emas kedua ; seandainya ia memiliki lembah emas kedua, ia ingin memiliki lembah emas yang ketiga. Baru puas nafsu anak Adam kalau sudah masuk tanah. Dan Allah akan menerima taubat orang yang mau kembali kepada-Nya.” –hadis riwayat Bukhori Muslim)

Orang-orang baik pembela liberalisme mungkin tidak menyadari bahwa sesungguhnya mereka diperalat para vampire ini. Mereka (mungkin) dengan keyakinan baik, menyebarkan ideologi liberalisme ke seantero dunia. Bahkan para ahli ekonomi yang (konon) baik hati seperti SMI, yang sudah digembleng habis-habisan dalam lembaga-lembaga pendidikan liberal, mempraktekkan liberalisme untuk menangani perekonomian negara masing-masing.

Ketika liberalisme mengglobal, negara-negara dunia ketiga (Indonesia dan teman-teman senasibnya) terpuruk, kekayaannya habis untuk membayar hutang kepada para renternir berbaju sinterklas (Bank Dunia, IMF, dan geng-nya), mungkin memang bukan orang-orang baik inilah yang mendapat keuntungan (selain gaji bulanan yang lumayan). Mungkin orang-orang baik ini memang tidak korup dan bahkan berusaha memberantas korupsi.

Lalu, kemana perginya uang dalam jumlah giga-raksasa yang dihisap dari negara-negara dunia ketiga itu? Tentu saja, masuk ke rekening para vampire itu.

Sekarang, soal integritas. Apa sih integritas itu sebenarnya? Kalau menurut saya, integritas artinya punya watak baik yang integral, menyatu, tidak setengah-setengah, tidak ambigu. Karena itu, menilai seorang pejabat itu memang harus dari sisi integritasnya. Dia harus baik secara integral. Kita tidak bisa menyebut seorang pejabat itu baik karena dia sederhana, low profile, atau rajin sholat SAJA. Dia harus punya kebaikan yang bisa dirasakan oleh mayoritas rakyat. Kasus SMI, mungkin dia baik, mungkin dia punya semangat memberantas korupsi di Depkeu. Tapi dia berusaha memperbaiki perekonomian di Indonesia dengan percaya pada keampuhan HUTANG dan resep-resep ekonomi liberal. That’s the problem. Analoginya, kayak seorang dokter di kampung saya, dia baik dan dermawan, tapi dia memberi antibiotika overdosis pada anak kecil yang hanya flu biasa. Akhirnya, anak itu masuk RS.

Pertanyaan selanjutnya, di manakah letak kesalahan liberalisme?

Insya Allah saya tulis lain waktu, mohon doanya.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com