Dina Y Sulaeman
Seperti saya duga, mencoba mengkritik liberalisme hanya dalam 1000 kata (untuk konsumsi blog) adalah tantangan yang berat. Rasanya jauh lebih mudah menulis makalah 3000 kata (seperti yang biasa diperintahkan oleh dosen saya:D). Spektrum liberalisme sangat luas dan masing-masing pemikir liberal mengemukakan pendapatnya yang kadang-kadang saling bertentangan. Karena itu, saya akan membatasi diri untuk membahas mengenai asumsi liberalisme. Dengan penuh kerendahan hati, saya mengakui bahwa saya masih pada tahap belajar. Karena itu, segala sumbang saran terkait perdebatan asumsi ini akan saya terima, demi memperbaiki kualitas tulisan ini (dan memperbaiki pemahaman saya sendiri). Terimakasih.
Pengetahuan dibangun atas dasar berbagai asumsi. Asumsi adalah sesuatu yang dijadikan landasan berpikir karena dianggap/diduga benar. Misalnya, Einstein membangun teori Relativitas dengan dilandasi asumsi bahwa kecepatan cahaya selalu tetap dalam kondisi apapun. Darimana datangnya asumsi itu? Bisa jadi dari pemikiran mendalam (berfilsafat), tapi seringkali juga sekedar berasal dari pengamatan singkat pada kenyataan di sekitar si pemikir sehingga sifatnya sangat terikat pada ruang dan waktu. Misalnya, saya sering kecopetan di biskota. Karena saat saya kecopetan selalu saja yang ada di sekitar saya adalah orang-orang berbaju kucel, saya berasumsi bahwa orang-orang berbaju kucel berpotensi menjadi pencopet dan saya akan selalu hati-hati bila berada di sekitar orang berbaju kucel. Contoh lain, ketika seorang Karl Marx melihat fenomena (pada zamannya) gereja yang berkolusi dengan kapitalis dengan cara memberi dogma-dogma agama sehingga para tertindas tetap pasrah menerima nasibnya dan berharap kelak di surga mereka akan bahagia, dia berasumsi bahwa agama adalah candu yang dijadikan tempat menghibur diri bagi orang-orang tertindas.
Begitupun liberalisme. Liberalisme lahir pada Abad Pertengahan sebagai reaksi atas penindasan yang dilakukan oleh kerajaan dan gereja (pada zaman itu). Para pemikir zaman itu membangun berbagai asumsi, dengan tujuan untuk membebaskan diri dari penindasan, antara lain: manusia memiliki hak kebebasan dan manusia adalah makhluk yang rasional, sehingga mampu melakukan pilihan-pilihan rasional demi kebaikannya sendiri. Karena itu, manusia tidak boleh ditindas oleh aturan agama atau aturan negara, kata mereka.
Liberalisme itu sendiri akhirnya menjadi asumsi yang melandasi berbagai ilmu pengetahuan. Misalnya, ketika asumsi liberalisme digunakan dalam ilmu agama, muncul teori bahwa manusia memiliki kebebasan untuk merevisi agama. Argumennya, toh agama dilahirkan untuk kebahagiaan manusia. Ketika aturan agama sudah tidak sejalan lagi dengan standar kebahagiaan zaman kini, manusia sah-sah saja melakukan revisi. Ketika liberalisme menjadi asumsi bagi politik, lahirlah teori demokrasi; semua warga berhak memilih sendiri pemimpinnya dan menentukan sendiri aturan hukum bagi diri mereka sendiri. Ketika liberalisme menjadi asumsi bagi ekonomi, maka lahirnya teori pasar bebas : biarkan semua orang beraktivitas dalam pasar, jangan ada intervensi pemerintah. Argumennya, manusia adalah makhluk rasional, dia akan mampu melakukan pilihan-pilihan rasional dalam bertransaksi sehingga mampu meraih keuntungan maksimal bagi dirinya. Ketika semua manusia rasional, pasar (proses jual-beli) akan berjalan dengan sendirinya dengan teratur. Jangan ada intervensi pemerintah untuk mengurusi pasar. Biarkan saja pasar beroperasi sendiri.
Kali ini saya hanya akan mengkritik asumsi liberalisme yang terkait dengan ekonomi, yaitu: demokrasi, perdagangan bebas, dan hak kepemilikan. Kaum liberal berasumsi bahwa perdamaian abadi dan kemakmuran manusia bisa dicapai melalui demokratisasi (dengan argumen bahwa negara demokrasi cenderung tidak akan berperang satu sama lain), perdagangan bebas (dengan argumen bahwa jika semua negara saling berhubungan dagang, akan muncul ketergantungan satu sama lain, sehingga negara-negara tidak akan saling berperang; selain itu, melalui perdagangan bebas, distribusi kemakmuran akan lebih merata karena negara-negara bisa saling menjual produknya), dan hak kepemilikan harus dilindungi (dengan argumen bahwa kegiatan ekonomi akan berjalan baik bila hak-hak kepemilikan para pelaku ekonomi dilindungi).
Sekarang, benarkah ketiga asumsi di atas? Kenyataan justru menunjukkan ketiga asumsi itu saling bertabrakan satu sama lain. Pertama, demokrasi. Indonesia pada rezim Soeharto dianggap tidak demokratis dan perlu reformasi supaya kemakmuran lebih merata. Tapi kini, setelah terjadi reformasi dan kita menganut demokrasi liberal (sampai-sampai, kita sekarang bebas-bebas saja mencaci-maki presiden dan para elit; para artis yang selama ini mengandalkan keseksian tubuh dianggap sah-sah saja mencalonkan diri jadi bupati), yang terjadi justru adalah Indonesia terjun bebas ke pasar bebas tanpa punya pengaman. Demokrasi liberal menciptakan situasi bahwa pemilik uanglah yang menang dalam pemilu. Ketika pemimpin negara sangat bergantung pada sumber uang (=pengusaha), sudah pasti kebijakan negara akan memihak kepada pemilik uang. Jadi, janji liberal bahwa demokrasi dan pasar bebas akan membawa kemakmuran tidak terbukti.
Sebaliknya, kaum liberal juga berasumsi bahwa bila sebuah negara bergabung dalam pasar bebas, maka di dalam negara itu akan terjadi proses demokratisasi, karena dalam pasar bebas, peran negara tidak sentral lagi. Akan ada banyak ‘pemain’ yang terlibat, terutama para pelaku pasar. Tapi kenyataan menunjukkan, pemerintah Burma tetap otoriter meski perusahaan-perusahaan transnasional berebutan berinvestasi di sana dan menghasilkan uang banyak. Jadi, asumsi liberal bahwa ‘perdagangan akan melahirkan demokrasi dan perdamaian’ tidak terbukti. Menyikapi fenomena seperti ini, sebagian pejuang demokrasi menyebut bahwa “pasar bebas adalah ilusi kaum liberal”. Di sini saja sudah terlihat, bahwa sesama ‘anak’ liberalisme malah saling menyalahkan.
Pasar juga harus dibiarkan bebas tanpa intervensi negara sama sekali (kata Hayek, pemikir neo-liberal) atau pasar bebas tapi negara juga berperan dalam penciptaan lapangan kerja dan pendidikan supaya rakyat tetap bisa punya uang dan terlibat dalam pasar (kata Keynes, pemikir liberal lainnya). Tapi, kebebasan pasar ini kontradiktif juga dengan asumsi tentang ‘hak kepemilikan’. Jika benar-benar mau dibebaskan, seharusnya negara tidak berperan dalam perlindungan harta para kapitalis. Realitanya, saat perusahaan-perusahaan besar (yang punya channel di pemerintahan) dilanda kebangkrutan, negara turun tangan untuk melakukan bail out (dengan uang pajak yang diambil rakyat). Di sini, hak kepemilikan sebenarnya bermakna: “negara wajib melindungi kekayaan para kapitalis.”
Lanjut. Pendukung pasar bebas, saat dihadapkan pada kenyataan bahwa negara-negara berkembang yang ternyata malah semakin miskin setelah terjun bebas di pasar bebas, menyalahkan pemerintah yang korup dan tidak efisien sehingga perlu lebih didemokratisasi lagi. Sebaliknya, fakta menunjukkan semakin demokratis (artinya, semakin para kapitalis berkesempatan merajalela dalam tubuh pemerintahan), sebuah negara akan semakin terjun ke pasar bebas; dan pasar bebaslah yang justru malah menyeret berbagai bangsa ke jurang kemiskinan. Penyebabnya adalah karena sesungguhnya tidak ada pasar yang benar-benar bebas. Yang ada hanyalah kebebasan bagi si kuat untuk bertindak semaunya. Dalam tulisan saya yang ini, diuraikan betapa kejamnya konsep liberalisme ekonomi/pasar bebas.
Lalu hak kepemilikan. Sekilas memang benar, hak kepemilikan memang harus dilindungi. Namun, ketika asumsi hak kepemilikan ini dibangun atas asumsi liberalisme lainnya, yaitu ‘kebebasan’, maka yang terjadi adalah kebebasan bagi segelintir orang untuk menumpuk harta sebanyak-banyaknya, tanpa bisa diganggu-gugat. Bahkan negara pun diwajibkan untuk melindungi kekayaan mereka dan menutup kerugian saat mereka bangkrut. Karena itu muncul fenomena aneh: ada orang Indonesia yang bisa masuk dalam daftar “10 Ten Orang Terkaya di Dunia” sementara ada 30 juta orang Indonesia lainnya harus hidup di bawah garis kemiskinan.
Dari uraian di atas, kita bisa melihat betapa rapuhnya asumsi-asumsi yang dipakai oleh kaum liberal. Sayangnya, tanpa menghiraukan kerancuan asumsi dasarnya, liberalisme disebarluaskan dan merasuk ke dalam berbagai sisi kehidupan manusia: politik, ekonomi, agama, seni-budaya, pendidikan, dll. Liberalisme sedemikian merasuknya di pemikiran kebanyakan orang sampai-sampai, asumsi liberalisme dianggap sebagai sebuah postulat (sesuatu yang sudah pasti benar), dan bahkan menjadi ideologi (keyakinan). Inilah mengapa (menjawab pertanyaan seorang komentator di blog saya), orang-orang pintar macam SMI dan para profesor ekonomi mati-matian berkeyakinan sedang ‘berbuat yang terbaik untuk Indonesia’, meski berbagai data dan argumen sudah disodorkan oleh sebagian pakar ekonomi lainnya mengenai betapa resep liberalisme hanya akan membawa Indonesia kepada kehancuran.