Terjebak Perdebatan Kaum Sofis

Bagikan artikel ini
Kontemplasi di Era Babat Alas
Dinamika politik hari-hari ini, sepertinya tidak ada lagi ruang untuk isu pengalihan dan/atau pengalihan isu melainkan becik ketitik olo ketoro (perbuatan baik akan terlihat pada waktunya, begitu pula perbuatan buruk akan terlihat pada waktunya). Hampir semua ‘bau busuk’ tercium, lalu segala sesuatu kang olo (hal buruk) baik isu masa lalu apalagi di era kini bermunculan satu per/satu. Metungul. Itu bukan kebetulan, tapi telah menjadi ketetapan zaman. Dalam khazanah Ghoibul Ghuyyub rancangan para sufi — tahap ini dinamai Babat Alas (2025 – 2029). Wayah e resik-resik alias karmapala. Siapa menebar bakal menuai.
Sekali lagi, tidak ada lagi pengalihan isu. Hampir semua isu jalin-berjalin justru saling melengkapi antara satu dan lainnya terutama isu kebusukan rezim (sistem dan aturan) di era reformasi tatkala UUD 1945 karya the Founding Fathers diamandemen —diganti— (1999 – 2002) oleh kaum reformis gadungan. Itulah ‘kudeta konstitusi’. Salah satu tokoh penting negeri ini menyebut isu penggantian UUD 1945 empat kali itu sebagai Silent Revolution alias Revolusi Senyap. Inilah prolog dalam kontemplasi kecil ini.
Maraknya korupsi misalnya, dari perspektif hulu — itu bukan sekadar bobroknya mental, hancurnya moral atau karena tipisnya iman para penyelenggara negara, bukan! Di beberapa diskusi intelektual menyatakan bahwa penyebab marak korupsi lebih mengerucut kepada dominannya sistem politik yang cenderung korup. Atau faktor high cost politics; ataupun berkembangnya dinasti politik; liberalisasi konstitusi dan lain-lain. Sekali lagi, hampir semua isu negatif di era reformasi ini lebih didominasi karena sistem politik, selain faktor moral dan iman di atas.
Memang. Usai UUD diamandemen, selain konstitusi berubah individualis, liberal dan kapitalistik, juga sangat dominannya partai politik dalam praktik tata negara, kedaulatan rakyat menghilang dan yang paling memprihatinkan bahwa sistem yang kini dianut (UUD 2002) telah meninggalkan Pancasila sebagai norma hukum tertinggi.
Jadi, janganlah kegaduhan di publik dalam rangka merespon dinamika politik hulu dikecilkan dengan olok-olok bahwa ini kelompok kalah pilpres belum move on, atau ini ulah kelompok pembenci, dan lain-lain. Gilirannya kita menjadi tak netral. Kurang objektif. Tidak jujur kepada diri sendiri. Lupakah kita dengan kebenaran yang kerap dikhianati? Atau, banyak fakta dikaburkan, atraksi manipulasi data, rekayasa isu, orkestrasi kebohongan dan kebodohan secara berkala?
Dalam kondisi seperti ini, kekuasaan yang terus menerus memutarbalikkan fakta dan kebenaran niscaya akan memunculkan ketidakpercayaan publik (public distrust), kemudian timbul penolakan serta perlawanan rakyat. Kebenaran memang akan mencari jalannya sendiri. Sebab, ia (kebenaran) hanya dapat disalahkan tetapi tak bisa dikalahkan. Itu sunatullah.
Perlawanan publik terhadap ketidakbenaran tidak berarti selalu angkat senjata. Bukan! Kredo di atas sudah menggelincir menjadi masa lalu. Justru perlawanan kerap hadir dalam ‘diam’. Pengungkapan fakta, misalnya, atau menolak ikut arus, atau menjaga integritas disaat semua nyaris menjual moral dan menggadai prinsip. Istilahnya: “Menukar petunjuk dengan kesesatan.” Retorika sederhananya begini, bagaimana dikatakan benar sedang langkahmu tidak sesuai petunjuk?
Nah, sesuai judul kini membahas sekilas perihal kaum Sofis. Ya. Kaum Sofis adalah sekelompok filsuf profesional Yunani Kuno di abad ke-5 dan ke-4 SM. Mereka terkenal karena mengajarkan berbagai mata pelajaran, termasuk retorika dan dinilai sebagai guru-guru terampil dalam berpidato dan berargumentasi. Kendati tidak membentuk mazhab filosofis yang kohesif, mereka memiliki pandangan relativis tentang kebenaran dan etika.
Kaum Sofis berpendapat bahwa kebenaran dan nilai-nilai moral adalah relatif, bukan absolut, dan bahwa apa yang dianggap benar atau baik tergantung pada sudut pandang individu atau kelompok.
Singkat kata, kaum Sofis merupakan guru-guru yang mengkhususkan diri dalam retorika serta mengajarkan relativisme yang memiliki dampak signifikan pada pemikiran Yunani Kuno, meskipun menuai kritik.
Menurut Hegel (1995 – 1840), kaum Sofis adalah kaum subjektivis yang reaksi skeptisnya terhadap dogmatisme objektif kaum pra-Socrates disintesiskan dalam karya Plato dan Aristoteles.
Tampaknya, dinamika politik pasca Pilpres 2024 kemarin, mengarah pada pola dan modus perdebatan kaum Sofis. Unik. Masing-masing kelompok melihat sesuatu menurut ukurannya. Tidak ada kebenaran absolut melainkan relatif. Nisbi. Kebenaran bergerak sesuai tuntutan (masing-masing), misalnya, apabila kelompok sini menyatakan angka 6 (enam), maka kelompok sebelah sana menyebutnya angka 9 (sembilan). Karepe dewe. Bingung. Bener e dewe-dewe. Topik apa saja selalu berhadap-hadapan dan dihadapkan menurut cara pandang masing-masing.
Entah sampai kapan.
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com