Terpilihnya Indonesia Sebagai Auditor Eksternal, Momentum Mendorong OPCW Lebih Independen, Netral dan Obyektif

Bagikan artikel ini

Ada berita menggembirakan bagi Indonesia pada saat mengikuti pertemuan negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Penghapusan Senjata Kimia atau Organization for the Prohibition of Chemical Weapons (OPCW) di Den Haag, Belanda, 25-29 November 2024 lalu. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terpilih menjadi pemeriksa eksternal pada OPCW. Berarti, sebagai auditor eksternal OPCWl, BPK akan mengaudit operasional keuangan dan administrasi OPCW untuk tahun anggaran 2027-2029.

Bagi Indonesia, terpilihnya BPK sangat membanggakan bukan sekadar mendapat apresiasi dalam kinerja BPK dalam audit internasional. Melainkan juga karena mendapat kehormatan ikut serta dalam OPCW. OPCW merupakan organisasi yang dibentuk pada 1997 berdasarkan konvensi internasional untuk pelarangan penggunaan senjata kimia. OPCW bermarkas di Den Haag dan punya kewenangan untuk mengawasi pelaksanaan konvensi tersebut dan memastikan bahwa negara-negara pihak mematuhi komitmen mereka dalam menghapus senjata kimia.

Ini merupakan isu strategis penting yang harus menjadi fokus perhatian pemerintah Indonesia, utamanya BPK yang mana Indonesia telah  terpilih menjadi pemeriksa eksternal pada OPCW. Apalagi pada 14 Februari 2025 lalu, OPCW telah  telah mengirimkan kepada Ukraina laporan mengenai Kunjungan Bantuan Teknis (TAV) kedua menyusul tiga insiden terpisah yang diduga terkait penggunaan bahan kimia beracun sebagai senjata. Ini merupakan laporan OPCW yang kali kedua. Laporan pertama dirilis pada November 2024.

Baca juga:

OPCW issues report on second Technical Assistance Visit to Ukraine following three incidents of alleged use of toxic chemicals as a weapon

Sayangnya, laporan OPCW sarat motivasi politik, padahal baik Rusia maupun Ukraina sebagai para pihak yang bersengketa telah saling menuduh dan saling melaporkan telah menggunakan senjata-senjata kimia kepada OPCW. Akar penyebabnya para ahli yang dalam misi kunjungan ke Ukraina sebagai Tim Bantuan Teknis (TAV) dinilai tidak netral dan independent dalam melakukan proses pengumpulan dokumentasi dan berkas digital, maupun ketika menerima sembilan sampel lingkungan yang dikumpulkan oleh Ukraina.

Terlepas dari kontroversi terkait laporan OPCW, Direktur Jenderal OPCW Arias menyatakan keprihatinan yang mendalam atas temuan tersebut, dengan menyatakan: “Laporan ini menandai kasus kedua yang dikonfirmasi tentang granat pengendali huru-hara yang ditemukan di garis konfrontasi di wilayah Dnipropetrovsk, yang selanjutnya menggarisbawahi urgensi untuk mempertahankan dan menegakkan prinsip-prinsip Konvensi Senjata Kimia. Sehingga  dari sebelumnya, saat ini sangatlah penting untuk menegakkan norma global terhadap senjata kimia dan perlu tindakan yang lebih keras dan tegas dalam menegakkan larangan penggunaan senjata-senjata kimia tersebut.

Sekadar informasi latarbelakang, Sekretariat Teknis OPCW telah memantau situasi di wilayah Ukraina sejak dimulainya perang pada Februari 2022 terkait dengan tuduhan penggunaan bahan kimia beracun sebagai senjata.

Sebagai badan pelaksana Konvensi Senjata Kimia, OPCW, dengan 193 Negara Anggota, mengawasi upaya global untuk melenyapkan senjata kimia secara permanen. Sejak Konvensi mulai berlaku pada tahun 1997, ini adalah perjanjian pelucutan senjata paling sukses yang melenyapkan seluruh kelas senjata pemusnah massal.

Dengan itu, sudah seharusnya OPCW bersikap lebih independent, netral dan obyektif. Maka terkait hal tersebut, terpilihya Indonesia sebagai auditor eksternal OPCW diharapkan dapat menciptakan atmosfer dan suasana baru yang kondusif untuk terciptanya OPCW yang independent, netral dan obyektif. Apalagi ketika harus menghadapi baku tuduh dan baku tuding antara Rusia dan Ukraina yang kebetulan hingga kini masih terlibat dalam konflik bersenjata.

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com