The Longer Telegram Menyingkap Fantasi AS Membelah China Dari Dalam

Bagikan artikel ini

Artikel Alastair Crook terbitan 8 Oktober 2021 lalu, secara gamblang menggambarkan kenaifan pemerintah Amerika Serikat (AS) dalam perang diplomasi menghadapi pemerintah Republik Rakyat China (RRC). Seperti ditulis oleh Alastair Crook di awal artikelnya, salah satunya adalah soal isu Taiwan. Taiwan atau Pulau Formosa, dalam perspektif strategi nasional China, merupakan wilayah yang masuk dalam kedaulatan nasional China yang saat ini dipandang sebagai wilayah yang hilang dan harus direbut kembali melalu satu dan lain cara.

Baca: The U.S. ‘Longer Telegram’ Is Hostile Interventionism in China, Posing as Competition

Kebijakan Presiden Donald Trump menduduki Gedung Putih lalu menggulirkan isu anti-China yang berskala luas di dalam dan luar negeri, membawa implikasi yang menguntungkan bagi Taiwan pada dua hal. Eratnya kerjasama pada level pejabat tinggi AS dan Taiwan.

Kedua, meningkatnya penjualan senjata AS kepada Taiwan. Bagi RRC tentu saja kebijakan Trump dipandang sebagai isyarat sikap permusuhan. Apalagi ketika strategi keamanan nasional semasa Trump semakin dekat dengan Taiwan, sepertinya dengan sengaja mengikis wacana/discourse ihwal kemungkinan Taiwan bergabung kembali ke dalam kedaulatan nasional RRC. Bahkan ada kesan kuat, Washington mendesak Teipei agar jangan mau menyerah terhadap RRC.

Meski demikian, seturut peralihan kekuasaan dari Trump ke Joe Biden, Taiwan merasa kuatir bahwa di bawah kebijakan luar negeri AS yang baru, pemerintahan Joe Biden akan menerapkan soft power dalam menghadapi pemerintah China. Dengan kata lain, dengan dalih bahwa AS harus lebih mengutamakan untuk membendung pengaruh China yang kiatn kuat  di kawasan Asia Pasifik. Sehingga pendekatan soft power dan penggalangan kerjasama multilateral untuk membendung China, merupakan prioritas utama ketimbang mengusung isu otonomi Taiwan terhadap China.

Untuk lebih sederhananya, Biden lebih mementingkan untuk membangun poros pembendungan terhadap China di Asia Pasifik melalui forum multilateral, ketimbang pendekatgan hard power yang bertumpu pada pengerahan dan penggalangan kekuatan militer. Dengan begitu, peran NATO dan Uni Eropa sama sekali tidak penting dalam perspektif kebijakan strategis keamanan nasional Washington.

Dan dalam memandang NATO dan Uni Eropa sebagai kekuatan yang tidak lagi penting dalam konstelasi global saat ini, baik Trump maupun Biden sepertinya satu pandangan dan sikap.  Seperti dinyatakan oleh Anthony Blinken, menteri luar AS yang sekarang, menggambarkan Uni Eropa dan NATO sebagai aktor yang tidak lagi penting di pentas global. Ketika AS bermetamorfosis ke dalam tema baru: China First. Senyatanya, Trump dan Biden hanya beda gaya tapi substansi tetap sama.

Pada 3 Oktober lalu, juru bicara kementerian luar negeri AS Ned Price membuat pernyataan bahwa bahwa AS sangat prihatin dengan aktivitas pesawat-pesawat tempur China di dekat wilayah Taiwan. Menyebut tindakan angkatan udara China tersebut sebagai provokatif. Bukan itu saja. Price juga menggambarkan Taiwan merupakan negara yang demokratis, sekutu AS, serta negara yang menganut nilai-nilai yang sama dengan Amerika.

Maka itu, tegas Ned Price, sebagai sekutu Taiwan, AS akan berdiri di sisi Taiwan atas dasar komitmen untuk memajukan kemakmuran, keamanan, dan nilai-nilai bersama antara AS dan Taiwan. Maka AS akan semakin mempererat ikatan dengan Taiwan sebagai negara demokratis.

Seperti sudah diduga, pemerintah China memandang pernyataan Price sebagai sikap permusuhan, dan memandang pernyataan Price sebagai bentuk campurtangan dalam urusan dalam negeri China. Apalagi memandang Taiwan yang demokratis, sama saja dengan mengakui Taiwan sebagai negara-bangsa yang terpisah dari China.

Pemerintah China memandang pelanggaran terhadap kesepakatan One China Policy pada 1972 antara Presiden Nixon dan Mao Zhedong berdasarkan Kesepakatan Shanghai 1972, sama saja dengan melintasi garis merah paling merah China (trespassing across China’s reddest of red lines).

Seturut pernyataan provokatif Ned Price, China segera mengerahkan 52 pesawat tempurnya ke dekat Taiwan, hanya dalam waktu sehari. Seraya memperingatkan lewat editorialnya di Global Times, bahwa inilah saatnya untuk memperingatkan para kelompok separatis Taiwan dan para pendukungnya, bahwa perang untuk menumpas mereka, merupakan sesuatu yang nyata, bukan Cuma gertak sambal belaka.

Meskipun Biden secara resmi mengatakan tidak ada niat untuk berperang melawan China, namun di para pejabat Washington pada level di bawahnya, melakukan langkah-langkah kecil yang sepertinya tidak ditujukan untuk melanggar komitmen One China Policy, namun pada prakteknya justru seperti itu. Misal dengan mengusulkan mengubah kantor kebudayaan dan ekonomi Teipei menjadi Kantor Perwakilan Taiwan yang semi kantor diplomatik. Yang diikuti dengan aktivitas-aktivitas layaknya kerjasama antar negara seperti penjualan senjata maupun serangkaian kunjungan para pejabat senior tingkat tinggi Washington maupun sekutu-sekutu AS.

Seperti misal kunjungan mantan perdana menteri Australia Tony Abbot ke Teipei. Yang mana dalam kunjungan tersebut Abbot secara provokatif mengatakan bahwa setiap upaya paksa terhadap Taiwan akan membawa konsekwensi-konsekwensi yang tak terduga bagi China. Dan mendesak dengan sangat agar AS dan Australia segera memberikan bantuan secara militer kepada Taiwan. “Saya tidak percaya kalau AS hanya akan berpangku tangan dan melihat Taiwan tenggelam dicaplok China,” begitu tandas Tony Abbot.

Bahkan pada Agustus 2021 lalu, seperti dilansir oleh Washington Examiner, senior fellow dari American Enterprise Institute, Michael Rubin, menyerukan agar Taiwan meningkatkan persenjataan nuklirnya apalagi setelah penarikan mundur pasukan AS dari Afghanistan, seturut dengan peralihan kekuasaan dari pemerintahan Ashraf Ghani kepada Taliban.

Pada 1975 memang sempat ada laporan dari CIA bahwa Taiwan sedang mengembangkan program nuklirnya. Namun batal karena Taiwan tidak diizinkan untuk mengembangkan program nuklirnya. Dan CIA menghentikannya pada 1987.

Presiden China Xi Jinping nampaknya sadar betul manuver diam-diam beberapa pejabat teras Gedung Putih untuk mendukung kemerdekaan penuh Taiwan lepas dari China. Alhasil, Presiden Jinping dengan tak ayal semakin bertekad untuk menyatukan kembali Taiwan dengan China. Menurut Jinping, kalau pernyataan Price bisa dibaca sebagai bentuk dukungan AS kemerdekaan sepihak Taiwan, maka itu sama saja AS menyatakan perang terhadap China.

Memang Taiwan merupakan bidak utama dalam papan catur, namun bukanlah satu-satunya. Ada sebuah dokumen yang dikutip dan diulas oleh Alastair Crook dalam artikel ini. Sebuah dokumen yang disebut The Longer Telegram yang diterbitkan oleh the Atlantic Council. Pada intinya dokumen yang ditulis secara anonym itu, tetap merupakan narasi untuk mendorong intervensi AS dengan cara penetrasi dan inflitrasi ke dalam tubuh Partai Komunis China (PKC), sehingga di internal PKC terjadi perpecahan. Sehingga pada perkembagannya akan melemahkan kekuatan Presiden Xi Jinping. Dan berkontribusi terhadap kejatuhannya dari tampuk kekuasaan.

Seperti analisis Alastair Crook dalam artikel ini, sepertinya AS tidak belajar dari kegagalan upaya yang kurang lebih sama yang pernah dilancarkan terhadap Iran. Sepertinya AS tidak pernah belajar dan menyerap pelajaran dari pengalaman pahit sebelumnya.

Delegates applaud as President Xi Jinping arrives for the opening session of China's National People's Congress (NPC) at the Great Hall of the People in Beijing.

Dokumen The Longer Telegram tersebut, nampaknya menginspirasi seorang senator partai republik Dan Sullivan, anggota Komite Angkatan Bersenjata. Dengan merujuk pada dokumen tersebut, senator Sullivan kontan menyerukan kepada pemerintah Biden menaruh perhatian pada masalah yang sangat penting dan merupakan perkembangan besar tersebut. Dengan lain kata, Sullivan mendesak pemerintahan Biden agar melancarkan hal yang sama seperti ketika George F Keenan mengusulkan agar AS menerapkan Strategi Pembendungan atau Containment Policy terhadap Uni Soviet pada 1946. Semangat dokumen The Longer Telegram tersebut, sepertinya dimaksudkan agar Presiden Biden melancarkan Strategi Pembendungan terhadap China pada saat ini.

Baca:

Opinion | To Counter China’s Rise, the U.S. Should Focus on Xi

Seruan senator Sullivan maupun The Longer Telegram sejatinya berdasarkan pada semangat yang sama, yaitu ingin melestarikan supremasi Amerika Serikat pada abad-abad mendatang. Kedua, bertumpu pada fantasi atau halusinasi bahwa AS bisa mengubah arah kebijakan strategis China para pejabat tinggi China. Padahal AS sama sekali tidak memahami dan mengenali budaya politik yang berkembang di China selama ini.

Terlepas dari titiklemah yang melekat pada dokumen The Longer Telegram maupun pemikiran dan gagasan senator Sullivan, Alastair Crook mengingatkan agar jangan menganggap enteng daya tarik yang terkandung dalam isi dokumen The Longer Telegram.

Sebab ada pandangan yang sepertinya dianut oleh para pejabat Gedung Putih yang sedang mencari terbaik bagaimana mempertahankan dominasi AS di dunia internasional sekaligus sebagai sesuatu yang identik dengan kepentingan nasional AS. Dan merupakan satu-satunya cara mengatur dunia.

Yang setuju dan mendukung gagasan semacam ini di ring satu pemerintahan Biden di Gedung Putih adalah: Ely Ratner, Mira Rapp-Hooper, Kelly Magsamen, Melanie Hart, Tarun Chhabra, dan Lindsey Ford. Yang didukung oleh seorang teoritikus, Rush Doshi. Merekalah generasi baru pembuat kebijakan luar negeri yang berusaha mengarahkan kebijakan luar negeri AS terkait persaingan AS versus China. Saat ini mereka dapat momentum untuk mengju ide-idenya.

Hendrajit, pengkaji geopolitik, Global Future Institute.

 

 

 

 

 

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com