Catatan Kecil Geopolitik
Dulu. Tatkala invasi militer Barat (NATO) pimpinan Amerika Serikat (AS) di Afghanistan tahun 2001-2021, termasuk keroyokan militer (NATO dan ISAF) juga pimpinan AS menyerbu Irak (2003-2021), namun pada kedua invasi tersebut berakhir dengan ‘kekalahan militer’ AS dan sekutu, seketika merebak tiga fenomena tidak lumrah di panggung geopolitik global, antara lain:
Pertama, publik global tidak lagi percaya dengan teknologi Barat, khususnya teknologi perangnya;
Kedua, runtuhnya hegemoni AS dan sekutu di kedua negara (Afghanistan dan Irak) lalu isu tersebut menjalar ke belahan bumi lain; dan
Ketiga, kebangkitan Islam.
Secara insight, beberapa poin pokok yang melatarbelakangi kemunculan tiga fenomena di atas, yaitu:
Patahnya Teori Militer dan Perang Modern
Barang siapa kalah jumlah (pasukan) dan kalah canggih dalam peralatan perang, maka identik kalah perang. Silakan break down, Taliban itu bukan tentara profesional. Kalau di Indonesia, ia hanya sekelas Banser. Tentu, jumlah personel, profesionalitas dan peralatan tempurnya sangat terbatas bila dibanding kekuatan AS dan sekutu. Akan tetapi, Taliban mampu bertempur sampai 20-an tahun, bahkan bisa memukul mundur militer profesional dan modern sekelas NATO dan ISAF pimpinan AS.
Hebatnya Perang Gerilya dan Faktor Militansi Pasukan
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa perang gerilya plus militansi pasukan merupakan resep perang yang paling handal dalam pertempuran yang tidak seimbang, contoh, pertempuran 10 Nopember 1945 di Surabaya tempo doeloe di mana pemenang Perang Dunia II pun dipaksa meninggalkan ‘Neraka Surabaya’ ketika menghadapi arek-arek Suroboyo. Ya, pasukan sekutu ‘balik kucing’ menanggung malu; atau, kekalahan AS pada peperangan di Vietnam (1955-1975), dan lainnya.
Kerap Terjadi Peristiwa Fenomenal yang Bersifat Transendental
Transendental itu suatu peristiwa yang melampaui pengalaman dan pemahaman lazim, dan kerap ia merujuk pada konsep yang bersifat spiritual, filosofi, atau matematis yang berada di luar batas pengetahuan yang dapat diketahui melalui pengalaman empiris, misalnya, tiba-tiba seluruh kendaraan serta peralatan perang milik AS tak bisa dihidupkan (mati mesin) ketika hendak dibawa pulang; atau, di suatu medan tempur tertentu muncul ‘pasukan lain’ —kalau di Gaza fenomena ini disebut Pasukan Putih, entah dari mana— yang memiliki kemampuan sangat luar biasa. Tak bisa dikalahkan. Ini yang kerap membuat pasukan IDF panik dan stress.
Dan lain-lain.
Itulah beberapa fenomena unik dan tidak lazim dalam pertempuran secara hard power di Afghanistan dan Irak yang tak tercatat sejarah dunia serta diabaikan oleh media mainstream, namun kemungkinan besar sangat membekas di benak personel militer AS dan sekutu yang mengalaminya secara langsung karena ditandai banyak yang stress sepulang dari medan laga.
Pertanyaan menarik menyeruak, “Apa dampak kekalahan AS dan sekutu secara hard power, padahal keroyokan militer merupakan metode unggulan. Lantas, adakah perubahan metode kolonialis AS dan sekutu di muka bumi pasca kekalahannya di Afghanistan?”

2,112 U.S. Military Deaths in Afghanistan Since 2001
Tak pelak. Memang tidak serta merta berubah metodenya. Bahwa antara hard power dan smart power (nirmiliter alias asimetris), kini dikerjakan secara simultan dengan intensitas berbeda. Di Ukraina, misalnya, keroyokan militer masih mendominasi meskipun diikuti modus asimetris semacam embargo, sanksi ekonomi dan seterusnya, atau show of force secara militer di Teluk Taiwan, dan lain-lain. Namun, manuver kolonial yang berubah total dari hard power menjadi smart/soft power ketika digelar Arab Spring di Jalur Sutra (Timur Tengah dan Afrika Utara) pada 2010-2011 lalu. Inilah peperangan asimetris yang kali pertama digelar oleh AS di abad 21 dalam rangka ganti rezim di Jalur Sutra melalui gerakan massa. Tanpa asap mesiu.
Gilirannya semakin ke sini, model peperangan nirmiliter (asimetris) seperti perang dagang, misalnya, atau currency war, neocortex war, perang sanksi, perang narasi, proxy war dan lain-lain kian menggejala dalam konstelasi geopolitik abad 21.
Simpulan prematurnya, pasca kekalahan dalam perang militer di Afghanistan, kendati tidak serta merta — AS dan sekutu mulai menggeser metode kolonialismenya dari hard power menjadi smart power atau peperangan asimetris alias nirmiliter, terutama bila Presidennya berasal dari Partai Demokrat. Itu poin yang bisa dipetik.
Kita balik ke peperangan Iran versus Israel sesuai judul catatan ini.
Tampaknya, tiga fenomena (yang tidak lumrah) di atas, kembali muncul pada perang terbuka antara Iran – Israel. Ini menarik. Israel itu bukan saja representasi Barat, tetapi simbol kepentingan AS dan sekutu di Jalur Sutra. Bahkan ada yang menyatakan bahwa Israel itu Amerika Kecil, dan Amerika adalah Israel Besar.
Secara geopolitik dan kawasan, perang 12 hari antara Iran-Israel, selain menjatuhkan hegemoni dan daya tawar Israel di mata global, karena kecanggihan teknologi (perang)-nya cuma mitos, ia juga mengalami tsunami geopolitik terbesar sepanjang sejarah berdirinya. Serbuan rudal-rudal Iran tidak bisa dibendung oleh Iron Dome yang katanya super canggih. Tel-Aviv tak sekadar luluh-lantak, tetapi hancur pula rencana strategis, road map, bahkan hidden agenda terutama remuknya psikologis warga tentang cita-cita Israel Raya. Hal ini ditandai dengan gelombang protes di internal negeri atas kebijakan para elit politik, atau puluhan ribu pengungsi menuju Prancis, Siprus, dan tempat-tempat lain yang dianggap aman.

Gencatan senjata yang diajukan oleh Israel melalui AS memang disetujui oleh Iran tanpa syarat. Pun demikian dengan AS dan Israel, tidak boleh ada syarat yang diajukannya. Perang belum usai. Siapa kelak yang duluan melanggar gencatan senjata yang diteken 24 Juni 2025?
Dalam jeda, para pihak mulai mengkalkulasi diri terutama bagaimana langkah ke depan. Israel misalnya, mulai menghitung bahwa ia tidak akan menang melawan Iran tanpa bantuan aliansi khususnya AS. Biaya perang per/hari sekitar $ 725 Juta atau Rp 11,83 Triliun, bahkan melonjak $ 1,45 Miliar atau Rp 23,67 Triliun. Belum termasuk korban jiwa, infrastruktur dan properti porak poranda, rusaknya psikologis warga dan luka-luka sosial. Konon, diprakirakan sekitar 46.000 perusahaan bisa mati perlahan jika muncul boikot dunia.
Iran mungkin menghitung dampak penutupan Selat Hormuz jika Dewan Keamanan Tertinggi menyetujui. Karena draft penutupan selat sudah diajukan oleh Parlemen Iran. Tinggal diketok oleh Dewan Tertinggi. Ya, harga energi bakal melangit diiringi kenaikan harga-harga barang dan jasa lainnya. Bagaimana reaksi publik global atas keputusannya?
Sedangkan Donald Trump barangkali menimbang jika timbul kelangkaan minyak di dalam negeri akibat penutupan Selat Hormuz, bagaimana antisipasi gejolak politik baik di eksternal khususnya di internal negeri. Tanpa antisipasi konseptual dan strategis bisa berujung pemakzulan dirinya/Trump.
Demikian catatan kecil tentang tiga fenomena tak lazim di Afghanistan yang terulang kembali dalam perang Iran-Israel, termasuk prakiraan kalkulasi para pihak ketika berlangsung gencatan senjata. Tidak ada maksud menggurui siapapun, terutama senior dan para pihak berkompeten, hanya sekadar sharing wawasan terkait fluktuatif geopolitik serta perkembangannya yang unpredictable.
Demikian adanya. Terima kasih.
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments