Sastra Kalabendu
Volatility atau gejolak publik akibat pro kontra Omnibus Law sejatinya sifatnya fluktuatif bukan eskalatif. Unpredictable. Katanya, ini salah ketok di malam hari. Narasinya begini, berpura-pura ke kiri padahal ke kanan mentok. Atau, pura-pura ke kanan sedang tujuannya ke kiri plus. Sulit dibaca tetapi bisa dirasa. Menguntungkan pengusaha di satu sisi, tetapi menyimpan bara api pada jutaan tangan yang mengayun dalam kerja. Tik-tok game. Dua-duanya kena.
Hal ini memunculkan uncertainty alias ketidakpastian situasi. Sementara ketidakpastian selain berimplikasi negatif dari perubahan (peradaban) yang memang menggejala, lemah dalam prediksi, juga terlambat mengantisipasi apapun. Kenapa? Ada kompleksitas (complexity) permasalahan karena akar sudah jalin-berjalin sejak dulu, sedang pemecahan bersifat sektoral namun diklaim solutif. Sok tahu lagi sok kuasa. Gilirannya timbul apa yang disebut ambiguity atau ketidakjelasan. Realitas menjadi kabur, publik salah membaca, keliru memaknai, salah tafsir dan gagal fokus. Gejolak sosial pun tidak terelakkan karena keseimbangan hampir njomplang.
Apalagi kapal VUCA telah memasuki gelombang politik. ini semakin menebalkan permasalahan. Mengapa demikian, karena dalam politik —kata Bauldrillard— semua yang tampak nyata hanyalah semu belaka. Hanya sebuah ruang politik yang sarat dengan kebohongan terencana, kepalsuan citra, pemutarbalikan fakta dan disinformasi. Semuanya hanyalah hyperreality of politics.
Bagaimana jadinya, jika gejolak itu sendiri merupakan kebohongan terencana; kemana arahnya, apabila ketidakpastian hanya pemutarbalikan fakta; entah nanti seperti apa ketika kompleksitas cuma disinformasi; dan ketidakjelasan cuma kepalsuan citra.
Teringat quotes Mark Twain, penulis Amerika: “Ketika si kaya memeras si miskin itu bisnis; ketika si miskin melawan, katanya itu kejahatan”.
Jawabannya, “Kita telah memasuki lorong kalabendu …”
M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)