Timur Tengah: Karena Gulanya, Semut Pun Berdatangan *)

Bagikan artikel ini
Minyak telah menjadi bahan yang teramat strategis. Bahkan beberapa kajian sejarah mengetengahkan bahwa salah satu penyebab terjadinya Perang Dunia ke-2 meletus, berawal dari perebutan bahan bakar minyak ini. Jerman yang kalah pada perang Dunia pertama, tidak mau ketinggalan dalam upaya menaklukkan tanah Arab. Jerman tak memiliki sumur minyak karena itu, ekonomi Jerman tidak akan berkembang. Hitler kemudian kemudian mengambil keputusan untuk melancarkan peperangan. Konon, setelah perang pecah, Hitler berusaha merampas telaga-telaga minyak di negara-negara Arab yang dimiliki oleh Inggris. Perang bergejolak. Bahan bakar minyak inilah yang menjadi hukum dan syarat yang menjadikan suasana di Timur Tengah terus hangat dan menggelegak semenjak 60 tahun lalu hingga sekarang.
Minyak dan gas disedot dari “tanah” Arab, uangnya digunakan untuk beli senjata – walau sebenarnya pasti banyak juga dialokasikan untuk kepentingan rakyat mereka, tapi tetap pembelian senjata yang sangat tidak proporsional, memperkuat asumsi ini. Dalih mempertahankan diri dari Israel yang di-“hantu”-kan itu, pembelian senjata terus di-update. Bila kepentingan terjaga, maka mereka dimasukkan dalam kategori “kawan”. Lalu lihatlah, kala praktek demokrasi dan hak asasi Manusia tak berjalan bagus di negara-negara, Amerika Serikat dan Inggris tetap tidak ambil peduli, karena memang itu tadi …. Kepentingan mereka akan lebih terjaga dengan kondisi demikian, walau untuk kasus-kasus yang lain, seumpama Iran, Amerika Serikat dan Inggris akan berteriak lantang tentang praktek demokrasi, HAM dan nuklir. Padahal dibawah “ketiak” mereka, tiga persoalan ini terlihat sebesar “gajah”.
Lalu mengapa para rezim Arab ini tunduk dan takut ? Jawabannya simple. Pakar Timur Tengah LIPI, Riza Sihbudi, mengatakan bahwa mayoritas semua rezim di tanah Arab tersebut tidak memiliki otoritas dari rakyat. Dari Maghribi hingga ke negera-negara Teluk, para pemimpin, Sheikh dan Malikul Negara-negara ini dinaikkan ke atas tahta bukan karena dukungan mayoritas rakyat mereka, tapi lebih karena dukungan Anglo-Amerika. Saudi Arabia dan Yordania, misalnya, Inggris yang meletakkan “tahta” mereka. 
Pemilu ataupun apalah namanya di bebeberapa negara teluk, lebih mirip dagelan. Itu bukan kata saya. Semua ilmuan politik yang intens pada kajian Timur Tengah mengatakan hal demikian. Yang pasti, kontradiksi utama adalah diantara warga Arab dengan rezim – rezim Arab yang telah menjadi “perkakas” Anglo-Amerika plus Israel. Penentangan warga Arab ini juga bermakna bahwa mereka juga menentang Anglo-Amerika dan regim zionis Israel. Melawan Mubarak (sekarang : As-Sisi), Bani Saud, Al-Makhtoum, Sultan Qabuus, sama seperti melawan pengaruh Anglo- Amerika dan zionis Isreal. Kita akan lihat satu kontradisi baru akan muncul. Pengaruh Anglo-Amerika akan memastikan rezim zionis Israel selamat. 
Dan kekuasaan “imperium” ini juga akan memastikan aliran minyak tidak terputus, tetap “mengalir”. Tidakkah Irak diminati Bush hanya karena sumur minyak mereka. Tidakkah Obama melancarkan serangan udara ke Libya hanya karena ingin memastikan minyak tetap mengalir normal ? Suriah, bagaimana ? Demikian juga. 
*) Dalam bentuk makalah lengkap, tulisan ini telah diterbitkan oleh Jurnal Graha Budaya, November 2012.
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com