Tragedi Dokter Abdul Rivai, Sosok Anomali Di Era Politik Etis Belanda

Bagikan artikel ini
Dokter Abdul Rivai, merupakan gambaran sosok lapis pertama orang Indonesia yang berhasil meraih gelar dokter dari Sekolah Dokter Jawa (STOVIA) di Batavia, pada 1895, enam tahun sebelum kerajaan Belanda menerapkan Politik Etis di wilayah jajahannya, Hindia Belanda.
Saat belajar di STOVIA maupun setelah lulus jadi dokter, putra asli Minangkabau ini belum memahami akar yang menyebabkan terjadinya kontradiksi sosial dan diskriminasi rasial antara orang Belanda dan orang Pribumi di bumi nusantara ini.
Sosok macam Rivai ini, seperti juga lapisan elit intelektual baru lulusan sekolah tinggi Belanda, belum kepikiran bahwa diskriminasi rasial dan kontradiksi sosial adalah akibat kolonialismme dan imperialisme Belanda. Bukan karena semata keterbelakangan bangsa kita sendiri.
Waktu itu sebagai pemuda yang dasarnya ambisius, Rivai memandang gelar kesarjanaan dari Eropa merupakan sarana kemajuan profesional dan sosial sehingga memungkinkannya naik dari status rakyat kolonial menjadi warga Belanda. Di sinilah aspek kontroversial dari gagasan Rivai yang meyakini bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi modern seperti bidang kedokteran akan membawa kemajuan dan kemakmuran bagi orang-orang Hindia Belanda.
Maka elit intelektual pribumi yang berpendidikan tinggi harus dibangun untuk menciptakan transformasi mengubah tradisi dengan pendidikan modern, dan mampu bersaing dengan dunia modern. Dengan kata lain, Rivai anti tradisi dan anti apa saja yang dipandang bagian dari masa silam.
Disinilah aspek krusial dari gagasan Rivai. Bahwa untuk membangun lapisan elit intelektual pribumi yang berpendidikan Barat, mengharuskan adanya pembaratan (westernisasi) penduduk Pribumi. Dengan kata lain, dalam konteks waktu itu, orang pribumi harus jadi orang Belanda. Alias kebarat-baratan. Harus jadi blandis.
Namun Rivai lupa, bahwa Belanda yang ada di Indonesia, bukan orang-orang progresif, berwawasan luas dan demokratis seperti para ilmuwan dan intelektual maupun kalangan terpelajar Belanda di negerinya sendiri.
Belanda yang bercokol di bumi nusantara adalah reaksioner, bodoh dan kasar. Bahkan kalau saya meminjam istilah Sutan Sjahrir dalam catatan hariannya selama masa pembuangannya di Digul, menggambarkan orang-orang Belanda kolonial di negeri kita, cuma mampu memandang tiga langkah ke depan, setelah itu buram.
Maka begitu lulus jadi dokter, mulailah kekecewaaannya yang pertama. Ternyata gajinya, hanya setengah dari gaji pada umumnya teman-teman sejawatnya sesama dokter yang asli Belanda. Lantas posisinya di badan kesehatan Hindia Belanda, juga ditempatkan dalam posisi rendahan.
Kesadaran awal adanya kontradiksi dan diskriminasi sosial ini, waktu itu belum menyadarkan Rivai adanya akar masalah yang jauh lebih mendasar daripada sekadar soal pilih kasih atau kalau istilah sekarang nepotisme.
Alhasil, karena belum menangkap adanya akar penyebab dari gejala diskriminasi sosial dan ekonomi tersebut, ibarat dokter maka Rivai memberi resep obat yang keliru. Karena merasa bahwa dirinya diberi status sosial dan gaji rendah karena tidak dianggap Belanda, maka dia memutuskan jadi “orang Belanda.” Sejak Maret 1895, Rivai mulai berpakaian model Barat setelan jas dan dasi. Supaya dipandang setara dengan Belanda.
Mungkin gambar 2 orang
Dengan menjadi bagian masyarakat kolonial modern dan kosmopolitan, serta tidak dibatasi oleh tradisi dan kepercayaan agama, maka akan terciptalah kesetaraan antara Pribumi dan Belanda. Memang Rivai sendiri pada dasarnya pribadi yang menarik dan mudah bergaul dengan orang-orang Eropa di Hindia Belanda kala itu. Sehingga dengan mudah bisa berbaur dengan aneka ragam orang-orang lapisan atas bukan saja Belanda, melainkan juga Arab dan Cina yang mukim di Batavia.
Namun ketika Rivai melanjutkan studi kedokteran di Universitas Utrecht, Belanda, sekitar 3 tahun setelah lulus dan bertugas di Medan, Rivai mulai melihat adanya perbedaan karakteristik antara orang Belanda di Hindia Belanda yang tanah jajahan, dan orang-orang Belanda yang ada di negerinya sendiri.
Apalagi ketika Rivai mulai merintis karir dibidang kewartawanan dengan merintis berdirinya Pewarta Wolanda yang terbit pada 1899 dan 1900, atau Bintang Hindia Belanda yang terbit pada 1902, wawasan sosial-politiknya semakin meluas. Bahwa ternyata orang-orang Belanda yang awalnya dia idealisasikan simbol orang-orang modern dan berpengetahuan luas dalam ilmu dan teknologi, ternyata sebagian besar yang ada di nusantara ini materalistik, eksploitatif dan diskriminatif.
Maka ketika Rivai menginjakkan kakinya di Belanda, yang ditemuinya adalah citra ideal orang Belanda yang dia bayangkan. Dia bertemu dengan para profesor, politisi dan intelektual Belanda yang memperlakukan Rivai dengan penuh hormat. Dengan para mahasiswa yang belajar di Belanda, Rivai melihat bahwa orang Belanda dan orang Indonesia berinteraksi bersama sebagai sesama mahasiswa, profesor dan intelektual, tanpa mengalami diskriminasi etnis atau ras, seperti di Hindia Belanda.
Dalam salah satu tulisannya tentang kesan-kesannya di Belanda: “Kepentingan pribumi dibahas di sini lebih sering daripada di Hindia Belanda.”
Namun ya itu tadi. Rivai sebagai salah satu lapis pertama kaum proto nasionalis Indonesia, ibarat orang baru bangun tidur tapi belum sepenuhnya terjaga. Dalam beberapa tulisannya baik di Pewarta Wolanda maupun Bintang Hindia, Rivai masih berangan-angan bahwa satu saat orang Belanda yang tercerahkan di negeri Belanda bisa menggantikan orang-orang Belanda yang picik, reaksioner, bodoh dan kasar yang ada di Hindia Belanda.
Dengan kata lain, Rivai masih yakin bahwa solusi terbaik adalah eratnya ikatan antara Hindia Belanda dan Belanda dalam kesetaraan, saling mengapresiasi dan saling respek satu sama lain.
Ditinjau dari sudut pandang para nasionalis era Sukarno dan Hatta pada pertengahan dekade 1920-an, tentu saja pandangan Rivai ini tergolong naif. Mana mungkin bumi nusantara yang sedang dijajah Belanda, akan mendatangkan orang-orang Belanda yang merupakan citra ideal Rivai di negeri Belanda seperti penuh toleransi, tidak membedakan warna kulit, dan berpikiran terbuka.
Tapi, kita harus membaca kegelisahan sosial Rivai dalam perspektif sebagai seorang cikal bakal (proto) nasionalis yang muncul sebagai kaum terpelajar buah dari penerapan Politik Etis yang digagas Conrad Theodor van Deventer dan secara resmi diberlakukan sejak 1901. Meski Rival lulus pada 1895, enam tahun sebelum politik etis diberlakukan secara resmi oleh Ratu Belanda pada 1901, namun kiprah Rivai ketika kembali ke Hindia Belanda di awal abad ke-20, justru ketika politik etis mulai diterapkan di Indonesia.
Gagasan pokok politik etis Belanda adalah, bahwa karena Belanda sudah menghisap habis-habisan kekayaan alam di bumi nusantara kita, maka Belanda berdalih bahwa perlu menerapkan politik balas budi dengan memberikan kesempatan orang-orang pribumi untuk menempuh pendidikan modern. Padahal agenda tersembunyi Belanda adalah menanamkan investasi kepada keluarga-keluarga aristokrasi dan priayi agar setelah meraih gelar kesarjanaan dari pendidikan modern yang diberikan Belanda, akan terbentuk lapisan kelas elit birokrasi yang mengabdi dan memihak pada kepentingan pemerintahan kolonial Belanda.
Maka dari skema pendidikan ala politik etis Belanda inilah, kemudian muncul lapisan menengah pribumi seperti Rivai yang sepertinya meyakini bahwa Belanda secara tulus bermaksud memajukan dan memakmurkan masyarakat pribumi di nusantara melalui pendidikan modern. Sehingga Rivai dan beberapa kalangan kaum terdidik lapisan pertama buah dari politik etis Belanda, berilusi bahwa pendidikan modern dan ilmu pengetahuan Barat dapat menaikkan derajat masyarakat jajahan pribumi menjadi setara dengan bangsa Belanda.
Tentu saja cara pandang model Rivai dan yang sehaluannnya,  ibarat dokter salah memberi resep obat kepada pasien.  karena salah dalam mendiagnisis  akar penyakit sosial bangsa nusantara kita saat itu. Namun niat baik Rivai, meskipun naif dan dilusif, nampaknya mendorong dirinya menjamah beberapa tea dan isu yang  erat kaitannya dengan masalah krusial bangsa jajahan, meski dirinya tak menyadari akar penyakit sosial yang sedang diderita bangsa nusantara.
Misalnya dorongannya yang kuat untuk aktif di jurnalisme saat dirinya meneruskan studi di Belanda pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, menyadarkan dirinya adanya ketidakadilan yang dialami orang-orang Pribumi dalam bersaing dengan orang-orang Eropa mencapai kesetaraan. Karena menurut amatan Rivai, orang-orang Eropa dalam bersaing dengan Pribumi, belum-belum sudah kalah dari segi pendidikan dan penguasaan teknologi.
Namun anehnya, Rivai dalam reportase-reportase tulisannya, tidak menyinggung atau menyorot praktik perburuhan yang eksploitatif yang era itu sangat intens dipraktikkan di beberapa wilayah perkebunan di Deli, Sumatra Utara. Pun juga tidak menyinggung kebrutalan militer kolonial Belanda di Aceh selama 40 tahun sebelumnya.
Namun ini bukan karena Rivai meniatkan begitu. Melainkan soal sudut pandangnya yang sehingga dua isu tersebut tidak dia pandang penting dan strategis dalam pandangan Rivai. Rivai berpendapat bahwa demoralisasi di Hindia Belanda bukan akibat kolonialisme, melainkan karena keterkebelakangan budaya. keterkebelakangan pikiran dan tradisi. Maka solusi buat menyembuhkan penyakitnya adalah pendidikan modern.
Maka Rivai, seperti digambarkan secara menarik oleh Hans Pols dalam bukunya bertajuk Nurturing Indonesia, Medicine dan Decolonisation in the Dutch East Indies, Rivai menyerang dua karakteristik dasar masyarakat kolonial: cengkeraman aritokrasi tradisional, dan ketidaksetaraan antara Eropa dan penduduk asli. Kedua karakteristik itu ada pada penduduk pribumi yang mendapatkan pendidikan.
Karena diagnosis Rivai yang tidak ke akar penyakiit tapi sekadar mengobati simptom/gejala, maka solusinya pun untuk kalangan para penerusnya kaum nasionalis pertengahan 1920-an, terdengar terlalu simpel. Pendidikan untuk membangun kaum aristokrasi intelektual menggantikan kaum aristokrasi tradisional.
Menariknya, pandangan-pandangan Rivai pada perkembangannya kemudian mengilhami Dokter Jawa yang sejaman dengannya, Dokter Wahidin Sudiro Husodo. Kelak bersama Dokter Sutomo, Dokter Wahidin merupakan perintis berdirinya organisasi sosial-kebudayaan Budi Utomo, yang sayangnya keanggotaannya sebatas buat orang-orang Jawa saja.
Meski awalnya di Universitas Utrecht, Rivai lulus kedokteran dari Universitas Amsterdam pada 1908(kelak pada 1950an juga tempat kuliah ayah saya buat meraih dokter spesialis paru-paru). Pada bulan berikutnya Rivai mendapat gelar doktor dari Universitas Ghent di Belgia. Juga di bidang kedokteran. Sempat bekerja di laboratorium Universitas Amsterdam bersama Proesor kesehatan masyarakat paling berpengaruh di Belanda, Rudolf Hendrik Saltet. Rivai juga pernah ke Inggris mempelajari penyakit mata dan menikahi isteri keduanya, Bertha Anne Rautenberg.
Maka komplit lah sudah capaian dirinya sebagai seorang profesional Eropa kosmopolitan. Pada 1910 Rivai dapat kewarganegaraan Belanda. Namun begitu dirinya balik ke tanah air, Hindia Belanda yang tanah jajahan, dia jadi orang pribumi yang tidak biasa. Secara hukum dia orang Eropa, namun watak negeri jajahan tetap menyadarkan dirinya bahwa orang Belanda tetap memandang dia pribumi.
Maka justru pas balik lagi ke Hindia Belanda, impian Rivai tak sesuai harapan. Meski kemudian jadi dokter praktek pribadi dengan penghasilan yang bikin dia kaya raya, berbaur dengan kalangan pedagang Cina, pedagang Arab dan Eropa, bahkan sempat terpilih angggota Dewan Kota ketika di Surabaya, namun Rivai merasa ada yang kurang. Karena sontak dirinya menyadari, semua bayangan idealnya selama di Eropa cuma khayalan belaka. Di Hindia Belanda, tanah jajahan Belanda, asal-usul dan reputasi Rivai tiada guna sama sekali.
Sedemikian rupa Rivai memendam kekecewaan pada Belanda, sehingga sama sekali tidak menolong banyak ketika dirinya bergabung dengan Volksraad, parlemen bikinan Belanda yang mengakomodasi 15 kursi buat pribumi, disamping orang-orang Belanda dan Timur Asing(Arab dan Cina).
Meski Volksraad memberi jalan dirinya buat berkirah di politik, namun kekecewaannya pada Belanda lebih kuat daripada hasratnya menggugah rasa nasionalisme, atau menelorkan ide-ide perlawanan terhadap belanda secara lebih sistemik. Justru sejak kiprahnya di Volksraad inilah, Rivai malah jadi sering sakit-sakitan. Dan sering berobat ke luar negeri. Pada 16 Oktober 1934, Rivai meninggal dunia di Bandung akibat komplikasi aneka penyakit.
Apa pelajaran yang bisa dipetik dari cerita ihwal Abdul Rivai ini? Buat saya pribadi yang kelak pernah jadi wartawan, pengalaman Rivai sebagai jurnalis pada paruh akhir abad ke 19 dan awal abad ke-20 menggugah saya sebagai seorang penulis selain Tirto Adi Suryo dan Adi Negoro. Tanpa dia sadari, Rivai menjadikan dirinya dalam jajaran wartawan Indonesia generasi perintis pers nasional. Khususnya dalam penerbit pers berbahasa Melayu.
Tapi bagaimana menilai pandangan ideologis maupun program politiknya? Ungkapan Dokter Amir yang merupakan seorang dokter psikiatri sesama orang Sumatra tentang diri Abdul Rivai kiranya cukup menarik:
“Rivai selalu mabuk oleh hal-hal baru, hal-hal yang modis. Dan berpikir bahwa segala sesuatu yang mewujudkan kemajuan patut mendapat pujian.”
Lebih tajam lagi Dr Amir menggambarkan Rivai: “Satu Jiwa Melayu yang kena hipnotis Barat dan mencoba untuk lebih Barat daripada Barat.”
Sungguh sebuah hikmah penting dari kehidupan Dokter Abdul Rivai. Bahkan bagi orang-orang yang hidup di era digital seperti sekarang ini. Ada banyak orang dalam mengobati penyakit, tidak mendiagnosis dulu akar penyakitnya, tapi hanya mengobati simptom/gejala permukaan penyakitnya.
Bukan itu saja. Cerita tragis Abdul Rivai menyadarkan kita betapa ilmu pengetahuan modern dari luar memang amat diperlukan jika hanya sebatas sebagai katalisator untuk memupuk lahirnya pandangan dan pikiran-pikiran baru kita sendiri yang orisinal. Bukannya dipuja-puji sebagai tujuan itu sendiri. Apalagi diyakini sebagai obat penyembuh satu-satunya untuk memulihkan penyakit sosial bangsa kita.
Hendrajit, pengkaji geopolitik, Global Future Institute. 
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com